Tuesday 18 November 2008

The Way of Tea (3)

Sensei

Kelas Chanoyu di Japan Foundation adalah hasil kerja sama dengan Urasenke, salah satu aliran Chanoyu yang cukup terkenal di Jepang, yang memiliki cabang di beberapa negara.

Cabang urasenke di Indonesia bernama Urasenke Tankokai Indonesia Association (UTIA). Founder adalah ibu Sany Soendoro, sedangkan ketuanya adalah ibu Kumiko Pohan. Ibu Suwarni, pemiliki Siang Ming Tea house berlaku sebagai secretaris UTIA. Merekalah pengajar-pengajar utama kami, disamping pengajar lain seperti Ibu Sitanggang, Uchida San, Sugihara San, dan lain-lain.

Dalam setiap pelajaran, biasanya dibagi menjadi dua group. Saya lebih sering diajar oleh ibu Sanny, Ibu Sitanggang dan Uchida San. Sedangkan group lain diajar oleh Ibu Kumiko Pohan, ibu Suwarni dan pengajar lain secara bergantian.















Beberapa pengajar atau biasa kami memanggilnya sensei memiliki karakter yang berbeda-beda. Ibu Sanny orangnya lembut dan sangat sabar. Ibu Suwarni tegas, tetapi banyak sekali filosophy yang diajarkan oleh beliau. Uchida san, sangat santun dan rendah hati, khas wanita-wanita Jepang.

Tanpa bermaksud mengecilkan peranan sensei yang lainnya, saya memang sangat terkesan dengan Uchida San. Gerakan-gerakan ketika menyiapkan dan menyajikan teh sangat indah seperti halnya seorang penari, dan penuh presisi. Dan yang pailng mengesankan adalah kocokan tehnya. Dari beberapa kali mencoba minum teh, kocokan Uchida Sanlah yang paling lembut dan menawan.





Peralatan yang dibutuhkan dalam Usucha

Secara harafiah, Chanoyu artinya hot water for tea. Dalam pengertian luas, Chanoyu adalah serangkaian upacara untuk mempersiapkan, menyajikan dan minum teh.

Dalam penyajian ini, selain dibutuhkan peralatan khusus, juga keahlian khusus untuk menggunakannya

Dalam chanoyu ada dua macam, yaitu Usucha atau teh encer dan Koicha atau teh kenthal.

Perbedaan utama adalah selain dari jumlah penggunaan teh, dalam Koicha teh disajikan dalam satu chawan dan diminum bersama-sama secara bergantian. Sedangkan dalam Usucha, teh disajikan percawan.

Untuk penyajian Usucha, digunakan dua macam cara, yaitu menggunakan Ketel , dan menggunakan Hishaku (gayung) dan Kama semacam kuali tempat merebus air.























Tata caranya sedikit berbeda. Kami baru mempelajari Usucha dengan menggunakan Ketel..

Beberapa peralatan lain yang wajib digunakan adalah, Chawan (mangkok teh), Chasaku (sendok teh), Natsume (tempat bubuk teh), Matcha (teh hijau bubuk), Chasen (alat pengocok teh), Chakin (linen untuk membersihkan chawan), fukusa (sapu tangan untuk membersihkan peralatan teh), Daisu (nampan) dan Kensui (tempat pembuangan air kotor), dan tentu saja kompor untuk merebus air.

Beberapa peralatanan tambahan lainnya adalah Kobukusa (kain untuk tatakan chawan), Kaishi (semacam tisu), Tatami (tikar), dan masih banyak lagi peralatan lainnya.

Secara garis besar cara penyajian Usucha dengan ketel adalah kita siapkan Chawan, Natsume, Chakin dan Cashaku dalam sebuah nampan. Pertama-tama tuan rumah, dengan fukusa tergantung disamping obinya (semacam stagen untuk mengikat kimono, yang juga berfungsi sebagai ikat pinggang), akan mengantarkan kue untuk dimakan sebelum minum teh.. Setelah itu, Tuan rumah akan kembali ketempat awal sebelum naik tatami untuk mengambil nampan berisi peralatan untuk membuat teh, untuk diletakkan di dekat kompor.

Setelah itu, tuan rumah akan kembali ke belakang untuk mengambil kensui. Setelah itu Tuan rumah mengambil Fukusa, dan mulai membersihkan peralatan mulai dari Natsume dilanjutkan dengan membersihkan chasaku. Setelah itu Tuan rumah akan Chasen dengan air, dan dilanjutkan dengan membersihkan chasen dengan chakin.

Sambil memegang chasaku, tuan rumah akan mempersilahkan tamu untuk makan kuenya.

Setelah itu, tuan rumah akan mengambil Matcha dari natsume kira-kira 2,5 sendok, tuang air panas kemudian di kocok dengan chasen. Mengocok teh kelihatan mudah dan sederhana, tetapi ternyata membutuhkan tehnik khusus untuk dapat menghasilkan hasil kocokan yang halus dan lembut, dan tentu saja tidak mematahkan ujung dari Chasen.

Setelah mengocok sekitar 50 kali atau ketika dirasa hasil kocokannya sudah bagus, Tuan rumah memutar chawan dua kali, agar supaya gambar dalam chawan menghadap kepada tamu.

Kalau ada assisten, tugas asistenlah yang menyajikan teh tersebut kepada tamu. Kalau tidak ada asisten pihak tamu akan mengambil sendiri

Setelah selesai, tamu akan mengembalikan teh kepada tuan rumah, dan mulai dibersihkan.

Sudah barang tentu kesemua tata cara tersebut menggunakan gerakan-gerakan khusus yang khidmat dan terukur. Untuk dapat mengingat urut-urutan gerakan, membutuhkan latihan ektra dan memerlukan waktu yang tidak pendek.Bahkan untuk mencapai kesempurnaan, dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk melatihnya.

Sunday 16 November 2008

The Way of Tea (2)


Pada awalnya, ketertarikan saya dengan Chanoyu hanyalah sebatas ingin ikut dalam Ceremonynya saja. Di dukung oleh minat teman-teman dari milist pecinta teh untuk dapat mengikuti acara ini, salah satunya adalah Frisca Saputra, saya direkomendasikan untuk menghubungi ibu Nurul Japan Foundation

Gayung bersambut. Atas usulan saya, Japan Foundation malah berniat membuka kelas Kursus Chanoyu. Kelas ini untuk umum, dan sudah barang tentunya tempatnya terbatas. Untuk hal itu, karena saya yang mengusulkan, saya mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan informasi lebih awal, tetapi prosedur pendaftaran tetap sama berlaku seperti umum, yaitu kita mesti datang sendiri dengan ketentuan siapa cepat dia dapat.

Benar saja, ketika saya datang 1 jam setelah jam pendaftaran dibuka, saya sudah mendapatkan nomor 10, dari 15 tempat yang tersedia.

Hari pertama pelajaran, kami melihat dulu demo yang dilakukan oleh Uchida San. Dan karena saya duduk di paling depan, saya mendapatkan kehormatan untuk menjadi tamu. Sungguh menyenangkan, tetapi sangat menyakitkan. Betapa tidak, karena sebagai tamu mau gak mau harus duduk secara formal ala Jepang, dan itu membuat kaki bukan hanya pegal dan kesemutan, tetapi benar-benar menjadi mati rasa.


Seiza sitting style

Pelajaran pertama Chanoyu adalah cara menghormat dan cara berjalan.Cara menghormat ada 3 macam, yaitu Sin, Gyo dan So. Masing-masing cara menghormat digunakan sesuai kondisinya. Dari ketika cara menghormat tersebut, Sin merupakan cara penghormatan tertinggi yang paling formal.

Setelah belajar cara menghormat, kami diajari cara berjalan, cara duduk dan cara bangkit dari duduk. Hal terberat, bahkan dari semua pelajaran Chanoyu adalah cara duduk.

Ketika dilakukan upacara minum teh, baik Tuan rumah maupun tamu harus duduk dengan Seiza style. Ini adalah cara duduk paling formal, yang memang digunakan dalam agama zen untuk meditasi. Kita duduk bertumpu pada dua kaki, posisi pantat di atas tumit kaki, dimana telapak kaki kanan diletakkan di atas telapak kaki kiri. Dengan duduk seperti ini, kita lebih mudah mengontrol pikiran dan konsentrasi.

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan cara duduk Seiza, cara duduk seperti ini sangat menyakitkan. Kaki bukan hanya kesemutan, tetapi menjadi mati rasa. Ketika mencoba bangkit, kaki amat susah digerakkan dan sakit sekali. Perlu latihan yang inten dan continue untuk dapat duduk dengan cara seiza. Bahkan tidak semua orang Jepang juga mampu duduk Seiza dalam waktu yang lama.

Saya sendiri melakukan latihan duduk seiza dengan cara mengaplikasikannya dalam ibadah agama saya, yaitu sholat, berdoa, membaca quran dan mendengarkan kutbah jumat.Mulai dari tahan 1 menit, 5 menit, ½ jam, hingga akhirnya saya bisa tahan duduk seiza hingga kutbah jumat selesai.Dan satu hal yang saya rasakan manfaat nyata dari duduk seiza ini, yaitu konsentrasi. Kalau biasanya saya duduk bersila, sementara Khotib berkotbah dengan penuh semangat, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi kepala saya untuk terkulai ke depan dan terbang ke alam mimpi maya Kesadaran baru tergugah ketika kotib membaca doa, atau bahkan ketika qomat sudah dikumandangkan.
Dengan duduk seiza, konsentrasi lebih terjaga, dan nyatanya saya bisa terjaga hingga kotbah usai.

Semula saya sempat khawatir, cara duduk seiza yang saya aplikasikan dalam ibadah saya ini melanggar aturan dan dikatakan bid’ah. Untuk memastikannya, saya berdiskusi dengan kakak saya, yang nota bene ilmu agamanya sudah cukup tinggi, sehingga dapat saya percaya untuk menjadi tempat bertanya.
Jawaban kakak saya membuat saya terkesima. Ternyata duduk seiza juga ada dalam ajaran agama islam. “Namanya iftiros”, begitu penjelasan kakak saya.
“Bahkan dalam suatu riwayat, diceritakan pada pernah pada waktu Nabi Muhammad menerima wahyu dari Jibril, mereka duduk berhadapan, duduk iftiros dan lutut saling menempel. Duduk iftiros juga dilakukan ketika kita duduk di antara dua sujud ketika sembahyang”, lanjutnya.”Saya sendiri, ketika berdoa juga lebih suka dengan duduk iftiros, daripada bersila. Lebih konsentrasi”

Alhamdulillah. Ternyata aplikasi latihan yang saya lakukan memberikan manfaat, bahkan menyadarkan saya dari beberapa kekeliruan. Seperti duduk di antara dua sujud, biasanya saya lakukan seperti halnya duduk tahiyat awal, padahal seharusnya duduk iftiros.

Photo-photo lengkap klik
Chanoyu Demo & Farewel
dan
Chanoyu: Ujian di Japan Foundation

The Way of Tea (1)


Sejarah Chanoyu

Chado atau the way of tea adalah suatu jalan atau cara memahami upacara minum teh dan segala estetikanya untuk dapat diaplikasikan dalam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Chado sering juga disebut sebagai Chanoyu.

Chanoyu sendiri, kalau diartikan secara harafiah artinya adalah air panas untuk teh. Tradisi ini berkembang seiring dengan sejarah panjang masuknya teh ke Jepang.

Sejarah perkembangan teh di Jepang tidak bisa dipisahkan dari peranan para biksu Jepang. Para biksu ini, sepulangnya mereka dari belajar agama Budha di China, mereka juga membawa bibit pohon teh berikut juga budayanya yang dikembangkan untuk keperluan meditasi agama zen dengan membawa adat istiadat Jepang.

Salah seorang Biksu yang dikenal sebagai pendiri Zen Budha Jepang adalah Myōan Eisei. Dialah yang telah membawa dan membudiyakan teh di Jepang, sekembalinya dari China pada tahun 1911. Kalau sebelumnya, teh dibudidayakan untuk pengobatan, Eisei membudidayakan untuk upacara keagamaan. Apakah Eisei budi daya teh ini dilakukan oleh Eisei sendiri memang masih menjadi perdebatan. Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa Eiseilah yang telah membawa budaya teh bubuk ke Jepang. Dia mengajarkan bagaimana cara menggiling teh menjadi bubuk yang halus,

Pada perkembangan berikutnya Chanoyu menjadi suatu kebiasaan dan kegemaran yang biasa dilakukan para Daimyo di Jepang. Acara minum teh juga menjadi acara tebak-tebakan tempat asal air, yang pada akhirnya berkembang menjadi sarana perjudian. Selain itu Chanoyu juga menjadi ajang pamer kekayaan, karena menggunakan peralatan yang mewah dan mahal yang didatangkan dari China dari dinasti Tang.

Kebiasaan ini ditentang oleh Murata Juko. Menurut dia, acara minum teh tidak boleh ada minuman keras dan perjudian. Acara minum haruslah menjadi ajang pertukaran pengalaman spiritual kedua belah pihak. Acara teh yang diperkenalkan oleh Juko akhirnya berkembang menjadi aliran Wabicha.

Wabi secara literal artinya kesunyian, dan ini disimpulkan dalam sebuah kesederhanaan dan keheningan. Oleh Takeno Shoo dan kemudian diteruskan oleh muridnya Sen No Rikyu, Wabicha makin berkembang dan populer di kalangan samurai. Wabicha berkembang menjadi upacara minum teh yang sederhana, tetapi penuh kekhidmatan dan filosofi yang tinggi. Beberapa peralatan dibuat dari bahan sederhana. Seperti sendok teh, pengocok teh, dibuat dari bambu.

Sen No Rikyulah yang meletakkan dasar-dasar filosofi Chado,yaitu Wa, Kei, Sei dan Jaku, yang artinya adalah Harmoni atau keselarasan, Penghormatan, Kemurnian dan Ketenangan. Dasar pijakan Chanoyu adalah keselarasan dengan alam. Rumah teh dan taman dibuat selaras dengan alam sekitarnya. Rumah teh bisa dibuat dari balok kayu berikut kulit kayu yang masih menempel, atau pilar kayu tanpa diserut dan dicat. Dinding dipoles dengan acian tanah liat. Untuk jalan-jalan setapak di taman menuju rumah teh digunakan batu-batu alam.

Kei atau penghormatan adalah dasar pijakan kedua. Dalam chanoyu, manusia tidak ada lagi kelas-kelas. Tidak ada perbedaan status sosial, agama, strata, karena semuanya adalah setara. Ketika mereka duduk dalam satu ruang teh, mereka harus saling menghormati. Tuan rumah menghormati tamunya, begitu juga sebaliknya, apapun status sosial dan perbedaan lainnya. Penghormatan juga ditunjukan terhadap keindahan karya seni manusia. Chawan-chawan yang sekalipun tampak sederhana, tetapi tampak begitu indah karena dibuat oleh seorang ahli tembikar sejati. Dalam buku Novel Musashi, Eiji Yoshikawa bahkan menggambarkan bahwa seorang ahli tembikar tak ubahnya seorang ahli pedang. Goresan kape di Chawan yang tergurat, sama dengan potongan bunga peoni yang dilakukan oleh seorang ahli pedang.

Sei adalah kemurnian yang muncul dari ketulusan hati. Kesungguhan tuan rumah dalam menyiapkan teh, adalah inti sari kemurnian dari Chanoyu. Tanpa ketulusan dan kesungguhan, mustahil tuan rumah mau melakukan suatu ritual yang begitu detail dan ribet Cuma sekedar menyiapkan semangkok teh.

Dan diantara kesemua dasar tersebut dilakukan dengan ketenangan dan sangat khusuk. Itu sebabnya dalam sebuah upacara, hampir dikatakan tidak ada suara sama sekali. Tak ada alunan musik, tak ada suara obrolan riuh rendah yang tidak perlu.Itu sebabnya dalam aliran wabicha, digunakan ruang teh yang kecil dengan jumlah tamu yang tidak terlalu banyak.

Sepeninggal Rikyu, ajarannya berkembang menjadi beberapa aliran. Sansenke adalah aliran yang dimulai oleh Shen No Soan , yang merupakan anak dari istri muda Rikyu dan diteruskan oleh garis keturunannya, hingga sekarang. Urasenke adalah sebuah nama sekolah dari Upacara minum teh Jepang. Ini merupakan aliran dari San Senke, salah seorang dua saudara keturunan Sasenke lainnya, Omotesenke dan Mushanokejisenke.

Dimulai dari Sen No Rikyu, generasi keturunannya sudah mencapai generasi ke 16, yaitu Genmoku Shositsu.

Urasenke selain di negara asalnya, juga berkembang di negara lain, termasuk Indonesia.

Pada awalnya, Urasenke di Indonesia bernama Urasenke Dookookai Indoneisia, yang didirikan pada tahun 1987. Pada tahun 1997, namanya berubah menjadi Urasenke Indoneisa Shibu, dan terakhir berubah menjadi Urasenke Tankokai Indonesia Association. Tujuan dari pendirian assosiasi ini adalah untuk memperkenalkan Chado menurut tradisi Urasenke kepada masyarakat luas di Indonesia, termasuk warga asing yang berdiam di Indonesia. Selain itu tujuan lain adalah untuk merintis pemakaian peralatan buatan Indonesia yang dapat mendukung seni tersebut, sehingga tercapai suatu keterpaduan yang baik kebudayaan Jepang dan Indonesia.

Salah satu contoh yang sudah dipraktekkan secara nyata adalah penggunaan batik sebagai bahan kimono wanita. Selain itu urasenke juga memperkenalkan tradisi Chanoyu ke kampus-kampus dan pesantren. Menurut ibu Suwarni, secretaris Urasenke Tankokai Indonesia Association, karena tujuan memperkenalkan chanoyu bukan sekedar budaya dan tata caranya, tetapi juga kandungan filosofi yang dibawanya, lebih mudah kalau diperkenalkan kepada pelajar.

Dalam kesempatan lain Urasenke juga diperkenalkan kepada masyarakat luas lewat beberapa demo di beberapa tempat, seperti di hotel Nikko bulan beberapa waktu yang lalu, bertepatan dengan ulang tahun Urasenke. Sungguh suatu kesempatan yang langka, karena saya bisa langsung menyaksikan Genshitsu Sen, Grand Master Urasenke generasi ke 15 menyajikan teh.



Photo lengkap klik Chanoyu di Hotel Nikko