Friday 19 August 2011

Cinta dalam segelas teh


Coba anda putar kenangan lama anda. Bangun pagi2, apa yang anda lihat di meja makan? Segelas teh. Ya Segelas, bukan secangkir. Siapa yang telah rela mengorbankan waktunya dipagi2 buta untuk menyiapkan segelas teh? Siapa lagi kalau bukan ibu anda.

Kenapa? Tak lain tak bukan itu adalah ekpresi kecintaan seorang ibu untuk keluarganya. Cinta dalam segelas teh.

Kenapa segelas, bukan secangkir?

Belum jelas bagaimana sejarahnya. Berdasarkan pengamatan seadanya, menurut saya perkembangan produksi kaca di Indonesia, lebih baik dibanding dengan perkembangan industri keramik. Mungkin berhubungan dengan cost produksi. Gelas dari kaca, harganya jauh lebih murah dibanding cangkir keramik.

Coba perhatikan diwarung-warung teh atau kopi selalu disajikan dengan gelas bukan? malahan seringkali bukan gelas berrgagang. paling sering adalah gelas belimbing.

Lalu apa hubungannya dengan cinta?

Kalau ada pepatah yang mengatakan katakanlah dengan bunga untuk mengekpresikan cinta, saya ganti katakanlah dengan segelas teh.

Bunga memang cantik, tapi begitu layu langsung dibuang. Teh, kalau tidak diminum baru basi dan dibuang.
Lho bukannya setelah diminum juga akan habis, tidak berkesan dong

Jangan samakan teh dengan minuman lain yang berfungsi sebagai pelepas dahaga saja. Teh memiliki nilai spritual yang tinggi. Bukan sekedar menyegarkan pikiran, tapi teh juga mampu memberikan efek penenangan yang membahagiakan.

Dari pengalaman, para ibu mengerti, bahwa setelah minum teh para suami akan berangkat kerja dengan hati tenang. Anak2 berangkat sekolah dengan rasa senang.
Tentu aja para ibu tersebut tidak kenal apa itu Theanin. Sama halnya para Samurai di Jepang, yang menggunakan teh untuk sarana meditasi.

Secara ilmiah, Theanin dapat berfungsi sebagai neotransminter dopamin di otak. Dengan itu produksi gelombang Alpha meningkat, yang berefek menenangkan.

Para ibu menambahkan tugasnya sebagai penyedia teh, sebagai kewajiban yang merupakan bagian dari pengabdiannya kepada keluarga. Ini lebih dari sekedar host, seperti halnya Anne Bedford, yang menjadi pelopor dan host afternoon tea di Inggris. Ini jabatan yang disandang seumur hidup.

Di daerah tertentu, jabatan sebagai pembuat teh bukan di dominasi oleh para ibu.

Jayeng adalah sebuah jabatan non formal sebagai pembuat teh untuk warga. Dalam setiap hajatan, Hanya Jayenglah yang menyiapkan puluhan gelas teh untuk para tamu. Mulai dari merebus air, menyeduh teh, menuangkan ke gelas blimbing lalu menambahkan gula ke dalam gelas satu persatu. Ya satu persatu. Bayangkan kalau ada 50 gelas, 50 kali menuang dan mengaduk-aduk gula.

Padahal kalau mau, bisa saja dia bikin teh dalam satu panci dan langsung di gulain, baru dituang dalam gelas.

"Saya membuatnya dengan hati", begitu ungkap Soblah, salah satu Jayeng yang telah memegang jabatan ini selama puluhan tahun.
"Satu gelas, satu penghormatan saya kepada satu tamu."

Mungkin dalam bahasa modernnya, dapat saya katakan, Soblah bukan membuat produk komoditas. Produk dia adalah produk spesial. Sekalipun tidak dapat dikatakan produk premium, karena teh yang digunakan bukan teh premium.

Beberapa Jayeng, mengembangkan ilmunya sebagai tea blender. Tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan tea blender dari Inggris. Tea blender lokal hanya mencampur teh dari beberapa merk untuk mendapatkan cita rasa yang pas.

Mereka tahu betul, kalau yang wangi teh anu, sedangkan merk anu lebih sepet.
Agar warnanya bisa lebih pekat, ditambahkan teh anu.

Jabatan lain pembuat teh adalah abdi dalem kraton yang bekerja di dalem patehan, tempat menyeduh teh di kalangan kraton Yogyakarta.

Dengan ritual tertentu, dia menyiapkan teh untuk Raja. Sekalipun sang Raja sedang tidak ada di tempat, dia tetap menyiapkan teh. Dia percaya, dengan tetap menyiapkan teh, selama di luar istana, sang Raja akan selalu merasa tenang.

Belakangan ini, sejalan dengan naiknya popularitas teh, khususnya teh premium, minat belajar menyeduh teh tidak lagi didominasi kaum wanita. Ini dapat terlihat, disetiap acara gathering komunitas pecinta teh, hampir separuh peserta adalah kaum pria. Mereka bukan sekedar belajar saja, tetapi selangkah lebih jauh mereka telah tertular apa yang dinamakan virus cinta teh.

Dan berbeda dengan kecintaan terhadap benda lain, yang terkadang menjadikan kecemburuan pasangannya, karena perhatiannya yang terpecah, kecintaan akan teh direflekskan dengan kecintaan kepada keluarga atau pasangan.

Tak jarang para pria ini mengambil alih tugas istri sebagai Jayeng keluarga. Mereka percaya, bahwa kenikmatan minum teh adalah ketika berbagi dan dinikmati bersama-sama.


Jadi, teh sebagai sarana pengungkapan akan cinta bukanlah mengada-ada. Kalau memang anda merasa kontemplasi cinta anda berlebih, siapapun anda, apapun gender anda, tidak ada salahnya anda coba ungkapkan dengan teh. Segelas teh penuh cinta.

Thursday 21 July 2011

Virus Cinta teh


Awas, virus cinta teh sudah menyebar. Berhati-hatilah"


Demikian, salah satu postingan saya di FB. Salah seorang teman saya komplain..

"Kesannya negatif mbang", demikian komentarnya.

Kenapa saya memilih kata virus, karena sifat penularanya yang cukup cepat. Bahkan sifatnya mirip seperti virus komputer, yang seolah-olah mampu memduplikasikan diri sendiri dan memerintah dirinya sendiri untuk mencari object baru untuk ditulari. Pada level berikutnya, sifatnya akan lebih kuat.

Beberapa perilaku yang saya amati dari para pelanggan kedai teh saya, menguatkan teori saya, betapa cinta teh dapat menjadi virus strain baru.

Mungkin untuk lebih jelasnya saya akan bagi beberapa level seperti berikut:

Common virus.

Pada level ini masih tergolong ringan. Efeknya merasa seperti ada yang kurang kalau belum minum teh. Kalau sudah mencoba teh kualitas baik, merasa tidak cocok lagi dengan teh yang biasa didapatkan di warung. Di kedai saya, level-level ini sedang menjangkit anak-anak SMA. Terkadang mereka patungan, untuk sekedar memuaskan rasa ketagihan mereka dengan teh-teh baru.

Strain I.

Pada level ini, biasanya sudah mulai mencari teman untuk ditulari. Di ajak temannya untuk mencoba minum teh yang enak di kedai teh saya.

Strain II.

Level ini lebih ganas dari level sebelumnya. Bukan cuma sekedar ngajak, tapi rela "mbayari" alias mentraktir mangsa baru yang akan ditulari.

Level Akut.

Level ini sudah tidak lagi melihat biaya, bahkan jarak dan waktu rela dikorbankan demi menikmati secangkir teh atau sekedar berbagi kebahagiaan dengan teh koleksinya.

Banyak contoh yang sudah pada level ini. Misalnya Indri salah satu member komunitas pecinta teh dan pelanggan setia saya, yang rela jauh2 dari Pondok Gedhe, ke Bogor, hanya sekedar berbagi rasa teh koleksinya. Dia mulai berburu bukan hanya sekedar teh dan peralatannya, tetapi juga buku2 tentang teh.

Atau pak Arif, juga member komunitas pecinta teh yang aktif, yang rela sampai mencari penginapan di luar kota hanya karena ada event teh dan ingin mencari lebih banyak info tentang teh. Kalau sudah suka, teh harga berapa saja dia akan borong semua.

Atau Farid, yang rela naik motor hujan2an dari Jakarta ke Bogor, hanya untuk ngeteh di kedai saya.

Tentu saja, jangan lupakan Ratna Somantri, Owner dari Komunitas pecinta teh. Boleh dibilang dia nenek moyang atau ratu virus cinta teh di Indonesia. Disetiap gathering, dia selalu membawa dan menyeduhkan teh-teh yang sangat memungkinkan terciptanya virus-virus baru.

Kalau saya? Hi..hi.. saya tidak tahu mau digolongkan dimana. Yang jelas, saya turut mengambil keuntungan dengan terciptanya virus-virus baru, yang tentunya menambah keramaian di kedai tehku he…he…

Walau dibilang virus cinta teh ini bermanfaat positif, karena minum teh memang bermanfaat buat kesehatan. Tetapi, perlu diingat, virus ini juga memiliki efek negatif, yaitu bertambahnya budget pengeluaran anda untuk mendapatkan teh dan peralatannya he..he..he...



Monday 7 March 2011

Pito-pito, teh herbal dari Phililipina


Salah seorang pelanggan kedai teh saya memberikan saya oleh-oleh Philiphina,
yaitu Pito-pito.

Dalam arti literal, pito-pito artinya Seven-seven. Itu dikarenakan herbal ini
dibuat dari 7 macam daun dan biji, yaitu
1. Alagao (Premna Odoreta Blanco)
2. Anise (Pimpinella ANisum), sering disebut bunga lawang
3. Banaba (Lagerstroemia Speciosa)
4. Biji Ketumbar
5. Daun Jambu Kelutuk
6. Daun Mangga
7. Daun Pandan

Rasanya lucu. Karena masing-masing herbal timbul tenggelam. Pertama-tama yang
mencuat adalah pandan, kemudian baru muncul ketumbar. Tak lama kemudian, mangga
muncul, lalu secara sama disapu oleh jambu.

Saturday 19 February 2011

Liputan Indah dari Jakarta Post

Satu liputan yang membuat saya sangat tersanjung. Tulisan ini ditulis oleh Arif Suryo, seorang kontributor Jakarta Post yang begitu serius dalam hal ekploring data, begitu cerewet dan detail ketika minta data, dan terlebih dia juga seorang pecinta teh yang rela mengorbankan waktu, uang, jarak dan waktu hanya untuk memburu kenikmatan secangkir teh.

Selain itu, pak Arif juga seorang translator. Tidak heran, kalau akhirnya artikel yang dia tulis menjadi sangat indah. Pemilihan kata-katanya sangat tidak biasa, tetapi memberikan arti yang begitu dalam. Appresiasi setinggi-tingginya untuk pak Arif dan terima kasih untuk Jakarta Post yang telah memuat artikel tersebut. Sebuah kehormatan yang sangat berarti buat saya.

Dibawah ini saya share tulisan tersebut yang saya copy paste dari http://www.thejakartapost.com/news/2011/02/13/tea-treasures-unassuming-stall.html


Tea treasures in an unassuming stall

Drinking tea is a pleasure for the senses as well as the mind.


A leisurely discussion, sharing information about tea with like-minded fellows is one of the best experiences and times spent in life. For me and many others, one particular venue for such good times is the Laresolo tea stall.

Designed in the style of a thatched bar at the Agripark Complex in Bogor, the simple, rustic and humble-but-cozy tea bar, operational since July 11, 2010, offers an excellent, intriguing and unusual selection of teas including blended and herbal teas, and at times, unique teas such as the early spring ya bao (bud treasure) which is a white pu-erh tea made of wild white camellia variety from Dehong, Western Yunnan, China.

Owned by Bambang Muhtar Rusdianto, a meticulous tea lover who is also co-founder and moderator of the Pecinta Teh (Tea Lover) club, the stall is basically a gourmet tea establishment disguised as an unassuming tea stall.

It may still have in its stock Indonesia’s finest, export-bound, top-quality teas. Some of them were recently introduced, such as the highly fragrant Bengkulu oolong tea and the organic, complex Banten oolong tea.

Some others have existed since long ago, such as the Tambi tea (from Wonosobo) and the full-bodied, strong-tasting Kajoe Aro tea (of the “dust” type) from the foot of Mt. Kerinci in Jambi.

Both teas have been exported to Europe since Dutch colonial times, with the latter being used extensively for blending and having reportedly filled the teacup of the late Queen Wilhelmina of the Netherlands and Queen Elizabeth II of Britain (as English breakfast tea). In general, these fine teas are not available in supermarkets throughout the country due to their extremely high prices and export status. Many Indonesians are not even cognizant of them.

So, by offering these teas as well as a selection of other excellent foreign teas at prices that senior high school and university students can swallow, the stall makes them affordable luxuries.

For example, a pot of chamomile tea (containing one Twinnings tea bag), which can be found in any major supermarket in Jakarta, cost me around Rp 40,000 (US$4.46) plus tax and service at a French “fine dining” restaurant in Kebayoran Baru, South Jakarta, a few years ago.

By contrast, a pot of chamomile tea I drank at the stall set me back just Rp 10,000 and what’s more, the chamo-mile is not in a tea bag, but dried, whole-flower chamomile whose flavors are much more wonderful than their bagged counterparts — which true tea connoisseurs normally despise.

However, availability is a luxury.

What is available today may no longer be available tomorrow. And what is no
longer available may never be available again.

This is especially true for teas that are not included on the menu such as a particular Qing Xin oolong tea with a delicate taste which Bambang refers to as “the last oolong tea in the world” because the plantation from which it comes, probably in the township of Guangxi, is no more to be found due to landslides from the 2008 Sichuan earthquake.

Another tea the stall used to have is a Mariage Frères tea named Wedding Imperial. It ran out quickly, which is not surprising because it coasts on the popular flavors with some sweet sensations loved by many: chocolate, toffee and caramel.

In spite of this, the teas that are listed on the stall’s menu are available most of the time, although changes in their sources, and thus their tastes, are inevitable as Bambang gets more advanced in sourcing his teas and creating his own blends.

The stall’s four best sellers, however, are teas that true tea connoisseurs often look down on because they are coasting on enhanced flavors and do not really bring out the best of the real tea (Camellia sinensis).

The four are a kuwini fragrant mango (Mangifera odorata)-flavored tea, After Dark (a blend of dried blackberry leaves, balm, peppermint, chamomile flowers, orange flowers, rose flowers, lemon grass and bilberry flowers), Red Berries (raspberry-cherry flavored herbal mixture of dried Hibiscus blossoms, elderberries, grapes, billberries and citrus peel), and Dream of Fruit (black tea, dried strawberries and raspberries).

They may occasionally be out of stock due to popular demand, which is indicative of where the taste of the public is going.

The stall’s signature teas are cold teas, notably green mint lemon tea, slowly brewed for 12 hours. It is a simple but great combination of flavors: a green tea and mint tea blend mixed with freshly peeled skins of deliciously fragrant imported lemons from a certain source which, unfortunately, is not always available on the market.

Another tea that tastes great when brewed cold is Banten oolong tea, arguably one of the country’s finest oolong teas. The cold brew of this tea gave me an uplifting, emotionally and intellectually stimulating and relaxing experience with its delightful encounter with carefully arranged rose, honeysuckle, nutty and lychee flavors and beyond.

A cold brew of the Tambi black tea (of the “Broken Orange Pekoe” type) whose taste hints at complex honey is another great-tasting tea.

Bambang aspires to set up a center of the world’s tea culture. But that would require a lot of investment. On Nov. 22 of last year, he managed to open another tea bar in a more modern setting at the food court of a shopping mall, Yogya Bogor Junction.

I wish him a lot of success with his venture. However, should his business grow by leaps and bounds, chances are that the stall would be relocated to a luxurious building or mall, transformed into a modern-day tea house, commercialized and franchised, and accessible only to upscale clientele.

This may set the law of effect in motion, thus making this type of business too crowded. And yet, before my thoughts ramble too far into the stereotypical predictability of the unpredictable future,
let’s have a cup of tea…