Monday 12 March 2012

Buku teh yang menginspirasi

Teman-teman pecinta teh,
Saya dan komunitas pecinta teh berencana membuat kompilasi kisah-kisah menarik pengalaman kita dengan teh yang munngkin akan bermanfaat dan menarik jika di share. Pengalaman boleh pengalaman sendiri atau orang lain, dan boleh ditambahkan sedikit fiksi sebagai bumbu sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik.

Kami mengundang semua pihak untuk menyumbangkan cerita. Jangan ragu, kalau merasa tidak dapat menulis. Nanti kami akan bekerja sama dengan tim editor yang akan mengolah cerita anda. Bisa saja anda hanya mengirimkan ide cerita, berdasarkan pengalaman anda, nanti tim kami yang akan mengolahnya.

Berikut adalah salah satu contoh cerita yang saya olah kembali berdasarkan kisah nyata dari tulisan My Special Guest. Hayo buruan, dead line penerimaan naskah terakhir bulan Mei.


PESTA TEH PERTAMAKU

Bangunan itu mengingatkan Saya kepada rumah nenek. Semuanya sama, dinding bambu,

atap ilalang, bedanya kalau rumah

nenek seperti panggung, sedangkan bangunan ini menempel di tanah. Saya tidak

tahu persis, apa yg ada di dalam saung tersebut. Letaknya di bawah pohon besar

yang rindang, dan taman yg asri, dugaan saya saung tersebut adalah sebuah kedai.

Hal ini diperkuat bukti dengan tampaknya beberapa orang sedang duduk2 disekitar

saung tersebut. Beberapa malahan masih pakai seragam putih hijau dan putih biru.

Tidak ada yg berseragam putih merah seperti Saya.

Saya selalu melewati saung tersebut ketika berangkat dan pulang sekolah. Dari

kejauhan saung tersebut tampak anggun, seakan mengundang orang untuk datang.

Sebenarnya jarak rumah dan sekolahan lumayan jauh. Tapi berhubung emak hanya

memberi uang saku yang pas-pasan, membuat Saya harus memilih, jajan atau jalan

kaki. kalau naik angkot Saya tidak bisa jajan.

"kalau pulang sekolah jangan mampir2 ya. pokoknya langsung pulang ke rumah",

kata2 sakti emak inilah yang membuat Saya enggan memastikan, bangunan apakah

gerangan itu.

Tapi bagaimanapun Saya tidak bisa memungkiri, bahwa saung itu begitu menggoda

rasa keingintahuan saya. Diam2 Saya mulai mencari informasi, dari tetangga yang

kebetulan kelas 1 SMA.

"Teh, tahu gak saung di Taman Kencana yang sering kita lewati ketika kita ke

sekolah?" Kebetulan SMA tempat sekolah teh Chacha, berdekatan dengam SD tempat

sekolah Saya.

"Tahu dong, Teteh khan sering minum disitu. Itu kedai teh. Enak deh, beda dengan

teh2 yang lainnya"

Emak memang hampir tidak pernah menyediakan teh. Seingat Saya, emak akan

membuatkan segelas teh, kalau Saya sedang sakit.

Saya jajan es teh manis hanya ketika habis berolah raga. Uang saku sebesar Rp.

2000 cukup untuk membeli 1 cup es teh manis yang dijual di gerobak pinggir

jalan sekolah.

Hari ini, Saya membawa bekal air minum dari rumah. Saya bertekad, sepulang

sekolah mau mampir ke kedai tersebut, untuk mencoba teh yang dikatakan teh

Chacha enak banget.

pelajaran terakhir, pelajaran bahasa Indonesia yang biasanya saya suka terasa

sangat membosankan. Rasa penasaran yang amat sangat membuat saya kehilangan

konsentrasi. Bel tanda usai sekolah adalah satu hal yang paling saya nantikan.

Siang itu, kedai tampak kelihatan sepi. Suatu kebetulan yang saya harapkan,

karena saya agak segan bersua dengan seragam putih hijau.

Di kedai, sengaja saya menuju pintu belakang. Saya tidak hendak melihat menu,

karena pastinya saya hanya ingin membeli teh yang paling murah. Saya diterima

oleh wanita, yang kira2 3 tahun diatas teh Chaha.

"mbak, teh yang paling murah berapa", dengam setengah berb isik saya bertanya

kepada wanita tersebut. Agak malu memang.

"lima ribu dik", jawab wanita tersebut dengan ramah.

Aduh betapa malunya saya. Berbekal uang dua ribu berani-beraninya jajan di

kedai. Dengan muka tertunduk malu, saya berjalan meninggalkan kedai sambil

berkata:

"Maaf mbak, gak jadi uangnya gak cukup"

Perlahan saya berjalan meninggalkan kedai sambil menahan rasa malu. Beberapa

langkah dari kedai, terdengar suara yang agak berat, memanggilku?

"Sini Dik"

Langkahku tertahan diantara dua pilihan, lari atau balik ke belakang; Saya tidak

akan mampu menjawab kalau ditanya lagi mau beli apa.

"Sini sebentar", suara itu terdengar lagi.

Saya beranikan diri membalikkan bada dan tampak laki-laki Dewasa seumuran bapak

saya, sekitar 40-an sedang melambaikan tangannya dengan senyum mengembang.

"Saya gak jadi beli om", jawabku membela diri.

"Gak papa, kesini saja cobain teh saya"

"Saya mau cepat-cepatpulang om, emak saya sudah menunggu", jawab saya beralasan.

"Ini saya tuang di cup plastik ya, nanti adik bisa bawa pulang". Tatwaran yang

menggoyahkan hati saya.

"Tapi uangnya kurang om"

"Gak usah bayar. Ini hadiah buat kamu"

Perasaan malu saya sedikit terurai. Saya mendekat ke saung tersebut. Tampak

berjajar kaleng-kaleng dng tulisan nama-nama yang terasa asing bagi saya; Ada

Fruit Paradise, After Dark, White tea, Mint Green tea, dsb. Mungkin ini

jenis-jenis teh yang dijual disini.

Di sisi kanan tampak beberapa teko untuk menyeduh teh. Bentuknya dan ukurannya

macam2. Ada yang dari kaca, tanah liat dan keramik. kayaknya memang asyik banget

minum teh disini;

"Ini namanya lychee tea.Silahkan dibawa", kata Om penjual teh tersebut.

"Makasih ya Om", saya terima teh tersebut dengan gembira. Sambil berjalan pulang

tak sabar saya seruput teh dalam cup tersebut. Terasa buah lechy yang manis dan

agak sedikit sepat. Enak banget. Belum pernah saya minum-minuman seperti ini.

Kalau di kantin ada juga minuman rasa buah dengan harga seribuan, tapi rasanya

tajam banget. Kata pak Guru itu namanya rasa buatan atau apa gitu, saya gak

terlalu paham. Di dalam cup tampak dua buah berwarna putih, sebesar buah

rambutan yg sudah dikupas. Singkat cerita, ini teh terenak yang pernah saya

minum. Temtu saja pengalaman saya ini saya ceritakan kepada teman2 sekolah saya,

Lia, Murti, dan Susi.

"Ayuk-ayuk," seru Susi bersemangat sekali mendengar cerita saya.

"Ayuk kemana? Emang mau traktir kita?"

"Kita patungan saja", sela saya menengahi;

"Iya, ide bagus tu kita patungan"

"Gimana kalau lusa hari Sabtu, sepulang sekolah kita mampir

Akhirnya kami sepakat, hari Sabtu sepulang sekolah saya mampir. Tetapi siang

itu, kami hanya merasakaan kekecewwan, ketika pintu kedai tampak tertutup, dan

tampak 1 lembar karton dengan tulisan besar :

MOHON MAAF, KAMI HARI INI TUTUP, KARENA SEDANG MENGIKUTI BAZAR DI JAKARTA. BESOK

KAMI BUKA SEPERTI BIASA.

"Yah!", kayak janjian saja, kata2 tersebut meluncur berbarengan dari mulut kami.

"Besok pagi2 kita coba kesini lagi", kata saya dengan nada menghibur.

Keesokan harinya, pagi2 sekali kami sudah duduk di saung yang belum dibuka

pemiliknya. Tentu saja, kami sedikit khawatir, kalau2 kedai ini masih blm buka.

Untung kekhawatiran kami tidak berlangsng lama. Bunyi derit pintu bambu

menandakan bahwa kedai ini mulai buka.

"Silahkan dik", Om yang ngasih saya teh yang menerima kami, sambil memberikan

menu. Tentu saja kami tidak terlalu lama ambil keputusan, karena kami memang mau

minum teh yang paling murah yang disajikan dalam teko.

"Kami mau BOP kulit lemon Om", saya dengan penuh gaya order untuk teman2.

"panas atau dingin dik?"

"Dingin Om"

Kami merasa bangga juga, merasa seperti teteh Chacha, nongkrong di kedai. Dengan

terampil si Om, mengupas kulit lemon dengan pisau khusus.

Hmm...aroma lemon langsung menyeruak, ketika lemon mulai dikulitin. Kemudian

kulit lemon yang panjang melingkar dimasukkan ke dalam teko yang sudah diberi

gula, dituang air panas setengah teko, lalu daun teh kering dimasukkan ke dalam

saringan berbentuk silinder, baru di masukkan ke dalam teko.

Setelah di diamkan beberapa saat, saringan diangkat, baru dimasukkan batu es.

"Silahkan", kata si Om, selalu dengan senyum mengembang.

Walaupun masih pagi, tetapi karena sudah beberapa hari tidak hujan, udara Bogor

terasa panas. Teh dingin tersebut benar2 menyejukkan. Aroma lemonnya benar2

terasa, tetapi tidak ada rasa asam sama sekali. Wangi dan rasa teh malahan masih

sangat kentara;

"Ini teman minum tehnya, gratis", kata si Om sambil meletakkan sepiring singkong

rebus. Diatas singkong tampak siraman berwarna putih yang tenyata santan, dengan

taburan kacang wijen. Rasanya manis gurih dan krunchy. Belum pernah saya makan

singkong rebus seperti ini.

Enak banget.

Dalam sekejap, singkong di piring tandas, begitu juga teh di teko.

"Mau teh lagi gak?", kata Susi

"Emang masih punya uang"

"Ada deh"

Teko berikutnya kosong dengan segera. Kami benar-benar seperti terpuaskan dari

dahaga. Wah, hari itu benar-benar menjadi pesta teh pertamaku.

Cerita ini didasarkan dari kisah nyata yang diadaptasi dari kisah My special

guest

http://kedai-teh-laresolo.blogspot.com/2010/07/my-special-guest.html