Seringkali saya mendapatkan pertanyaan, kira-kira ada nggak sih, budaya minum
teh ala Indonesia?
Sebagai seorang pecinta teh, dan khususnya tertarik untuk mendalami seni dan
budaya teh, pertanyaan tersebut sangat menggelitik rasa ingin tahu saya. Kalau
di China punya Gong Fu cha, di Jepang ada Chanoyu, di Korea memiliki Panyaro, di
Inggris tempat lahir Afternoon tea, High tea dan tea break, Indonesia punya apa?
Bagi keluarga saya, minum teh menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan tiap pagi
dan sore. Walau sekilas kegiatasan ini mirip-mirip dengan afternoon tea di
Inggris, tetapi sifatnya lebih personal dan terbatas pada lingkungan keluarga
saja.
Untuk kegiatan yang bersifat lebih luas, teh juga menjadi minuman yang selalu
disajikan disetiap acara hajatan. Bahkan hingga kini, ketika di perkotaan
menyediakan air putih dalam kemasan gelas karena kepraktisan, kami masih tetap
menyajikan teh. Walaupun sebenarnya kegiatan ini juga sifatnya regional, yang
mungkin saja memiliki tata cara yang berbeda diantara masing-masing daerah.
Di daerah saya, khususnya di desa Nambangan, kabupaten Wonogiri, dalam setiap
hajatan, ada seseorang yang bertugas untuk menyeduh teh, jabatannya disebut
Jayeng. Ruang kerjanya disebut Jayengan. Jayeng dibantu Sinoman yang bertugas
untuk mengantarkan teh untuk para tamu dengan nampan.
Tugas seorang Jayeng mulai dari memasak air, menyeduh teh, dan menyiapkan teh ke
dalam gelas belimbing. Uniknya, proses penggulaan dilakukan tiap gelas. Jadi
semisal ada 100 tamu, gula akan dituang sendok demi sendok ke dalam 100 gelas,
dan diaduk satu persatu.
Kebiasaan ini, juga berlaku bagi keluarga saya. Ibu saya kalau menyeduh tiap
buat keluarga, selalu menuang gula ke masing-masing gelas. Dan hingga sekarang,
kebiasaan ini selalu saya bawa ketika saya menyeduh teh buat keluarga.
Berbeda dengan keluarga saya, keluarga istri yang kebetulan anggota keluarganya
juga banyak memiliki cara menyeduh yang berbeda. Karena mereka hidup
diperkotaan, tentu saja teh yang mereka gunakan adalah teh celup. Teh diseduh
dalam pitcher, dan kemudian langsung diberi gula ke dalam pitcher tersebut.
Lain keluarga, lain kebiasaannya. Apalagi daerah. Kalau di daerah Jawa tengah
dan sebagian Jawa Timur, teh yang diminum adalah teh hijau wangi melati. Banyak
diantara mereka yang fanatik terhadap merk-merk tertentu seperti teh cap Sepeda
Balam, Sintren, Dandang , Nyapu, Tong Tji, 66, dsb Ada pula sebagian yang
melakukan blend, yaitu mencampur teh dengan beberapa merk yang berbeda. Teh-teh
tertentu aroma wanginya yang diambil, sedangkan teh merk lain, diambil warnanya
yang lebih merah.
Sedangkan di daerah Jawa Barat, peminum teh hijau dan sebagian teh hitam.
Berbeda dengan dengan jawa tengah yang hampir selalu minum teh manis, di daerah
jawa barat seduhan tehnya sangat bening, dan diminum tanpa gula. Di daerah
Garut, bukan bunga melati yang dicampurkan melainkan Chamomile, yang mereka
sebut sebagai kembang teh. Berbeda dengan proses pewangian teh wangi melati,
yang dilakukan proses khusus, pencampuran chamomile mirip dengan proses tea
blending. Bunga Chamomile langsung ditabur disatukan dengan daun teh kering.
Uniknya, di Garut, teh dijualnya layaknya tea house, hanya dengan penampilan
yang lebih sederhana. Beberapa penjual teh menjual teh dengan berbagai varian
grade yang berbeda-beda, dan dijual kiloan. Jadi kita bisa memilih sendiri,
apakah mau batang saja, daun saja, atau mau dicampur.
Di daerah Sumatera, familiar dengan teh hitam rasa Vanilla. Itu sebabnya teh
merk Bendera dan Prenjak cukup populer disana. Beberapa kebiasaan minum teh juga
cukup unik. Di Medan teh dicampur susu, dituang ke cangkir lain secara
berulang-ulang sehingga menyebabkan susu menjadi berbusa. Proses ini mirip
sekali dengan teh tarik yang ada di Malaysia. Entah Malaysia atau Medan yang
duluan, tetapi tampaknya budaya ini dipengaruhi oleh kebiasaan minum teh susu di
India. Bedanya kalau di India, teh dan susu langsung direbus bersama dengan
rempah-rempah seperti cengkeh, kapulaga, jahe dan Kayu Manis. Teh ini terkenal
dengan nama Masala Chai.
Di padang lain lagi. Disini teh dicampur dengan telur, yang terkenal dengan
sebutan teh talua.
Satu lagi kebiasaan minum teh yang cukup terkenal dan memiliki nilai filosofi
adalah teh poci. Kebiasaan ini berlaku di daerah tegal dan sekitarnya, dan
menyebar ke beberapa daerah lainnya. Di sini, teko yang digunakan adalah teko
tanah liat, dengan ukuran personal. Satu teko, hanya untuk 2 cangkir saja,
karena menyeduh teh disini merupakan sesuatu yang personal. Entah bagaimana
sejarahnya, tampaknya kebiasaan ini merupakan adapatasi dari Kebudayaan Gong Fu
cha di China. Gong fu cha, juga dilakukan secara personal, bahkan ukuran tekonya
jauh lebih kecil lagi. Teko yang digunakan juga teko tanah liat, hanya memang
teh Poci tidak sedetail dan seribet cara-cara Gong Fu cha, yang memerlukan
pengetahuan teh dan cara-cara penyeduhan khusus, karena masing-masing jenis teh
mempunyai treatment yang berbeda. Teh yang digunakan juga sebagian besar adalah
teh Oolong.
Sedang teh poci, walau teh yang digunakan sebenarnya teh hijau wangi melati,
tetapi treatment yang dilakukan mirip dengan penyeduh hitam. Kalau di China, teh
hijau digunakan air yang tidak terlalu panas (sekitar 70-80 ºC), teh hijau wangi
melati digunakan air mendidih (sekitar 100 ºC). Keunikan lain adalah pemanis
yang digunakan adalah gula batu, dan tidak boleh di aduk, melainkan cukup
digoyang sedikit cangkirnya. Dan hal ini memiliki nilai filosofi tersendiri,
yaitu hidup ini awalnya pahit. Kita mesti bersabar, sehingga di akhir nanti kita
akan mendapatkan manisnya.
Dengan keanekaragaman budaya kita, mestinya masih banyak lagi yang digali seni
dan budaya minum teh khas Indonesia.
Ada yang menambahkan, budaya minum teh di daerah masing-masing?