Monday 26 July 2010

My Special guest

Para pelanggan di kedai teh Laresolo terdiri dari berbagai usia dan
kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, mahasiswa hingga keluarga. Tentu
saja, teh kesukaan mereka juga berbeda-beda. Untuk kalangan remaja hingga
mahasiswa, Madzabnya masih madhab teh manis. Senchapun mereka tambahkan
gula.

Adalah salah satu calon pelanggan yang membuat saya terkesan. Dia adalah
seorang gadis kecil, kira-kira kelas 4 SD. Dia datang bersama temannya.
Bukannya di depan kedai, tetapi langsung ke belakang, dibagian dapur kami,
dan diterima oleh salah satu staff kedai teh Laresolo, Yulia.
Si gadis, menanyakan teh paling murah berapa? Di Jawab Yulia, 5000 dik,
tambah pajak, jadi 5,500.
"Oh ya udah, gak jadi uangnya kurang"

Saya sedang meracik komposisi Lechy tea yang pas, ketika itu. Dari dalam
kedai saya lihat si gadis tampak murung meninggalkan kedai. Dalam hati saya
mengatakan, dia adalah tamu special saya. Butuh suatu keberanian dan
passionate, ketika tidak punya uang dan memaksakan diri untuk bertanya,
apakah uangnya akan mencukupi untuk mencicipi teh di Kedai Teh Laresolo.
Saya panggil dia.
"Dik, kesini".
"Uangnya kurang pak"
"Gak papa, sini aja"
"Tapi saya mau dibawa pulang"
"Baik, saya akan bungkuskan"

Saya tuangkan lechy tea yang baru selesai diracik, kedalam kantong plastik.
"Uangnya pak?"
"Ambil saja"

Lalu dia pergi sambil mengucapkan terima kasih.

Kejadian tersebut, terjadi pada hari Jumat. Hari Sabtu, saya libur, karena
ikut acara Bazar Jalan sutra.
Hari minggu, saya datang sekitar jam 8 untuk buka warung. Saya lihat si
Gadis kecil, sudah duduk menunggu disamping kedai saya sambil mengajak 4
temannya. Awalnya saya pikir, dia cuma sekedar main saja disitu, karena
kebetulan kedai saya terletak di taman umum Agripark.

Ketika warung saya sudah siap, si Gadis kecil seperti biasa, dia bertanya
lewat pintu belakang.
"Pak, teh yang paling murah berapa?, saya lihat ditangannya ada beberapa
lembar ribuan. Rupanya dia ajak temannya untuk patungan beli teh.
Saya hargai effort mereka, dengan menerima mereka sebagai paying customer.
"Lima ribu dik, tapi bisa kok untuk berempat"
Saya persilahkan mereka duduk di depan, sama seperti pelanggan tetap
lainnya. Saya layani mereka dengan sebaiknya-baiknya. Kalau standar saya
satu teko hanya saya isi 400cc air, sengaja saya penuhi menjadi 600cc agar
cukup untuk berempat. Mereka tampak antusias duduk di depan sambil menikmati
tehnya. Saya berikan mereka kompliment 1 piring Singkong Manis ala Thai.
Makin bersemangat mereka. Ketika satu teko tampaknya belum cukup, saya
tawarkan refill lagi.

Ketika refill habis, salah satu teman si gadis kecil ternyata masih punya
uang, dan dia memesan satu teko lagi untuk mentraktir teman-temannya.

Oh, what a wonderful kids. I Love their effor & passion.

Wednesday 21 July 2010

SAYA TEH JALANSUTRA

Dengan intonasi yang berbeda, judul di atas dapat memiliki dua arti. Kalau kita baca dengan logat dan intonasi Sunda, mungkin dapat dibaca begini, Saya teh, Jalansutra ...

Artinya bisa menjadi semacam pengakuan atau kebanggaan telah menjadi salah satu bagian dari milist jalansutra. Nama jalansutra, memang sering saya gunakan ketika meminta izin melakukan pemotretan entah tempat atau makanan kepada pemilik restaurant. Bukan bermaksud untuk mendapatkan servis lebih atau Discount, tetapi lebih kepada kemudahan memberikan alasan kenapa saya harus motret tempat mereka.
Hal tersebut saya lakukan, karena iasanya, ketika meminta izin, pasti akan ditanya, “Bapak dari mana?”.

Saya tidak mungkin menjawab dari sebuah media, karena memang bukan wartawan. Satu jawaban yang masuk akal, adalah saya jawab, dari klub jalansutra, sebuah klub pencinta jalan-jalan dan makan-makan. Kebutuhan saya untuk memotret adalah untuk sharing kepada teman-teman lain.

Nama jalan sutra secara tidak sengaja juga saya gunakan sebagai kartu pers. Ceritanya dalam rangka ulang tahun Urasanke Indonesia, diadakanlah sebuah CHANOYU, yaitu upacara minum teh ala Jepang yang diselenggarakan di Hotel Nikko. Kebetulan salah satu panitia acara ini adalah ibu Suwarni yang saya kenal lewat kegiatan jalansutra. Lewat ibu Diah, dari teh Malino (yang saya kenal berkat tulisan saya di jalansutra juga), saya diundang dan ditanya mau duduk di kursi tamu atau pers? Karena saya ingin bebas memotret, saya pilih duduk di kursi Pers. Oleh karena itu, ketika saya datang, saya mendapatkan kartu pers dengan tulisan JALANSUTRA.

Tentu saja tidak semua orang kenal dengan nama jalansutra. Untuk menghadapi situasi seperti ini, untuk mempermudah biasanya memang saya pinjam nama pak Bondan Winarno, yang memang jauh lebih dikenal. Saya katakan klub jalansutra adalah asuhan pak Bondan Winarno, pengasuh acara wisata Kuliner. Banyak dari mereka yang langsung memahaminya.

Faktanya memang alasan pertama saya masuk klub ini karena kesukaan saya membaca tulisan pak Bondan Winarno. Saya menyukai tulisan pak Bondan, bahkan jauh sebelum beliau menulis tentang jalan-jalan dan makan. Saya mengikuti tulisan beliau semenjak beliau menulis KIAT, yang membahas tentang manajemen dengan gaya yang ringan tetapi sangat menarik (kalau gak salah sekitar tahun 80-an). Kebetulan, saat masih kuliah, saya ikut aktif dalam Bulletin Kampus, dimana saya sering menulis tentang pemasaran dan periklanan dalam buletin tersebut. Tulisan KIAT pak Bondan, banyak memberi inspirasi saya.

Semenjak tulisan KIAT menghilang dari majalah Tempo, (dan walaupun saya telah mengkoleksi 2 buah buku kumpulannya), saya merasa kehilangan tulisan beliau. Baru pada tahun 2005, saya menemukan kembali tulisan beliau di Kompas On-line di kolom jalansutra. Hanya kali ini memang apa yang ditulis jauh berbeda dengan sebelumnya.Beliau tidak lagi menulis tentang manajement, tetapi menulis tentang makanan dan tempat makan, tetap dengan gaya yang sama menariknya. Dalam kolom ini, di pokok kanan atas ada satu banner kecil bertuliskan Milist Jalansutra. Banner itulah yang menjadi titik awal saya bergabung dengan milist jalansutra.


Arti kedua dari judul di atas dapat dibaca SAYA, TEH dan JALANSUTRA. Faktanya, lewat jalansutra akhirnya saya menemukan passion khusus mengenai teh, yang pada akhirnya membuat saya banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan teh. Walaupun belum merubah jalan hidup saya, tetapi paling tidak telah memberi arah, mimpi dan cita-cita saya.

Berkenaan dengan ulang tahun jalan sutra pada tanggal 22 besok, saya coba merenungi dan menelusuri perjalanan saya di milist ini.

Satu hal yang sempat membuat saya terkejut adalah pertanyaan tentang teh merupakan postingan saya ketiga di awal-awal saya bergabung dengan jalan sutra. Postingan pertama saya adalah menjawab pertanyaan tentang Rafting (dimana menjadi passion saya pada waktu itu), dan postingan kedua adalah tentang pengalaman rafting saya.

Pertanyaan tentang teh tersebut saya posting setelah membaca tulisan pak Bondan tentang Etika minum teh. Dari postingan tersebutlah, akhirnya saya berkenalan dengan mas Arie Parikesit, yang kata cak Uding, koleksi tehnya satu lemari penuh. Beliaulah yang membukakan mata saya betapa teh ada banyak macamnya. Dapat saya katakan mas Arie merupakan mentor pertama saya khusus mengenai teh.

Semenjak itu, saya rajin mencoba berbagai merk teh (merk, bukan jenis teh), dan menuliskan pengalaman saya di milist ini. Sewaktu saya menuliskan pengalaman saya mencoba teh cap Mawar, Tiurlan Sitompul, salah satu Jser yang juga pecinta teh, mengirimkan saya 2 bungkus teh. Sebagai barter, beliau minta saya mengirimkan cap mawar saya. Walaupun Tiur tidak menulis jenis teh apa yang dia kirim, tetapi lewat hasil searching di Google dan berdasarkan photo-photo yang ada, saya tahu dia kirim Silver Needle atau Teh putih, yang tentu saja harganya cukup mahal. Teh kedua yang dia kirm adalah teh Puerh. Sedangkan barter yang dia minta Cuma teh cap mawar (kelak, saya akan mengetahui bahwa teh ini jenis teh hitam, grade II, finest dust yang diberi aroma mawar).

Semenjak itu, minat saya terhadap teh semakin besar. Bukan sekedar jenis dan macam-macam teh, tetapi berikut budayanya.

Pertama kali saya belajar tentang budaya teh adalah belajar Gong Fu cha di tempat ibu Suwarni yang terselenggara berkat bantuan dari Elisa Sutanujaya. Beliaulah yang menjadi mentor kedua setelah mas Arie. Saya semakin giat untuk mengekplore berbagai macam jenis teh dan menuliskan pengalaman saya, baik di Jalansutra maupun di blog saya. Kalau sebelumnya saya menuliskan semua jenis tulisan, baik review tentang makanan, tentang keluarga juga teh di http://laresolo.multiply.com saya memutuskan untuk membuat blog khusus tentang teh di http://kedai-teh-laresolo.blogspot.com


Berkat tulisan-tulisan di jalansutra dan di Blog, makin banyak yang membaca tulisan saya sehingga, sehingga kiriman teh juga semakin banyak. Selain dari beberapa perkebunan teh, juga dari pribadi-pribadi yang memang menggemari teh.

Salah satunya adalah pak Yopie Hendrik, Jser yang mengirim saya Ceylon Silver tip tea (White tea dari Ceylon), juga Long Tjing grade premium, Dragon pearl, Blooming tea, serta beberapa jenis teh lainnya. Ibu Lim Kim Soan, yang sering saya titipi beberapa peralatan teh dari Jepang, dan baru-baru ini mengirimkan teh Sincha untuk saya. Masih banyak teman-teman yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Lewat teh pula akhirnya saya dipertemukan dengan Ratna Somantri. Beliau selain seorang pecinta teh, juga profesional di bidang teh. Pernah mengelola Tea Gallery dan menjadi konsultan dan pembicara khusus mengenai teh. Kami sering ketemu lewat beberapa event tea class yang diselenggarakan oleh Jalansutra. Karena persamaan visi dan misi (kayak partai aja), akhirnya kami sepakat membuat sebuah milist khusus tentang teh. Nama milistnya adalah Pecinta_teh@yahoogroups.com. Salah satu Visi dari milist ini adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap teh.

Pada awalnya, member dari milist ini adalah member jalansutra juga. Milist ini tak ubahnya sebuah kelompok kecil dari jalansutra. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, member milis ini makin luas, walau ditinjau dari jumlah masih dapat dikatakan sangat kecil sekali. Beberapa produsen teh, peneliti teh, Dewan teh dan para profesional dibidang teh yang turut pula bergabung, membuat milist ini makin berwarna. Belum lama ini, milist ini juga sempat masuk dalam tulisan di harian Jakarta Post ( http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/14/that-tantalizing-taste-tea.html ). Sebuah langkah kecil yang diharapkan dapat merupakan langkah awal untuk dapat mewujudkan visi dan cita-cita.

Ada satu hal yang saya tidak pernah lupa, Captain Gatotlah yang selama ini mengencourage saya untuk tekun mempelajari teh.
“Suatu saat nanti, saya yakin anda akan menjadi salah satu tempat bertanya khusus mengenai teh”, itu kata-kata beliau yang selalu saya kenang.

Pada akhirnya kata-kata pak Gatot memang menjadi pertanyaan. Beberapa media atau pribadi sering menanyakan saya hal-hal yang berkenaan dengan teh. Ada yang untuk bahan skripsi, ujian akhir, dsb. Satu hal yang membuat saya suka tersenyum simpul adalah beberapa pertanyaan sederhana, seperti tentang jenis-jenis teh, apa beda teh hijau dan teh hitam, karena ternyata pertanyaan-pertanyaan itu pula yang pada awal-awalnya juga saya tanyakan di milist ini.

Masih ada banyak hal yang masih ingin saya lakukan. Pelajaran masih jauh dari usai. Saya masih ingin mendalami Chanoyu, serta budaya-budaya lain yang berkaitan dengan teh. Masih banyak cita-cita yang masih jauh dari jangkauan. Salah satunya adalah, bagaimana kita sendiri masyarakat Indonesia, dapat menikmati teh kualitas nomor satu hasil produksi kita sendiri. Sebagai contoh, teh hitam Orange Pekoe dari Malabar, adalah termasuk teh hitam kualitas nomor satu. Teh tersebut saya temukan di sebuah situs dan hanya dapat dibeli di perancis sana. Bukan satu hal yang mudah untuk meyakinkan para trader teh atau produsen teh untuk memasarkan teh premium mereka di Indonesia. Kalau secara hitung-hitungan rugi laba, memang cita-cita tersebut belumlah berhasil mendapatkan angka.

Lewat jalansutra pada akhirnya membuat saya suatu perenungan, bahwa lewat support, effort, dukungan, pengalaman dan kesempatan, membuat kita terpacu untuk melakukan sesuatu yang dapat memberi nilai tambah kepada diri kita sendiri pada khususnya, dan memberi manfaat kepada orang banyak pada umumnya.

Teh bukanlah sekedar minuman pelepas dahaga belaka, lebih dari itu teh merupakan sebuah budaya. Sejauh mana nilai dari budaya tersebut, tergantung dari bagaimana kita mengapresiasinya. Apakah sekedar menjadikannya minuman komoditas belaka, atau sebuah kegiatan yang memiliki nilai spritualitas yang bermakna.

Terima kasih jalansutra, yang menjadikan telah hidup saya jauh lebih bermakna.

Sunday 11 July 2010

Hari pertama kedai Teh Laresolo

Dengan sedikit grudak-grudak, akhirnya hari ini Kedai Teh Laresolo buka. Pagi hari, saya sempat stress juga. Kedai saya tidak dilirik sama sekali. Bahkan ketika saya coba ngobrol dengan bule yang berkunjung ke situ, dia tampak antusias, tetapi juga tampak tidak mau beli. Ketika ditawari sample for free, diterima dengan senang hati.

Saya merasa, alangkah menyedihkannya kalau dalam sehari sampai nol sama sekali tidak ada yang beli. Ditambah lagi, kabar buruk dari rumah, Croisant agak overbaking, Fermipan yang saya beli kemarin ketlisut, sehingga tidak dapat membuat dough lagi.

Melihat tamu tampaknya sepi-sepi saja, akhirnya saya lari sebentar ke Yuk,toko kue langganan kami, yang tidak terlalu jauh dari kedai. Ternyata Yuk sudah tutup, larilah saya ke Surya Kencana (baca ngebut:Karena pakai motor). Mau Belum sampai kebun Raya, antrian kendaraan sangatlah panjang. Bujubuset! Baru teringat, hari ini hari terakhir liburan.
Setelah berjibaku belok kanan kiri, akhirnya berhasillah saya menembus kemacetan, dan mendapatkan fermipan. Karena saya mesti pulang bawa mobil,jadi saya mesti kembali ke Saung untuk mengambilnya.

Sampai di Saung, ternyata tamu sudah mulai banyak.Bahkan ada sekelompok tamu dengan asyiknya duduk lesehan dipinggir kolam (tanpa tikar pula), disampingnya tampak tray Gongfucha, dan teko teh yang lainnya.

Sangat menyenangkan. Asistant saya, ternyata cukup sigap juga,walaupun dia baru sebentar belajar. Bahkan tamu saya cukup puas dengan penjelasan banu mengenai menu-menu yang ada di kedai saya.
Mereka bilang, mereka tidak merasa beli kucing dalam karung. Mereka order white tea, Morrocant lemon mint tea, dan paling favorite apalagi kalau bukan white tea. Apalagi ketika saya recommend untuk mencoba Oolong Bengkulu, tambah puas mereka. Senang rasanya tamu saya dapat menikmat teh yang saya sajikan. Salah satu diantara mereka adalah seorang bule dari Rumania, dia berkata, "I'll bring my girlfriend here"

Tak lama kemudian beberapa teman dari FB, Milist pada datang. Itulah gunanya network. Dukungan dan suport selalu mengalir. Mango green tea dan Original Chai, mendapat pujian.
Malamnya sebenarnya berencana tutup warung agak awal. Badan sudah terlalu lelah, karena hari sebelumnya sudah seharian jalan (tambah nonton bola pula)."Kita tutup habis magrib ya Banu".

Belum sempat tutup, datang serombongan tamu yang ingin melihat-lihat. Saya coba tawarkan minuman teh,adalah salah seorang berbadan gempal yang jawabannya bikin ilfill:
"Saya tidak minum teh, tidak ngopi"
"Oh, jadi minum apa?""Air putih saja," Jawabnya singkat.
"Kalau begitu, silahkan ngobrol saja disini gak papa" Saya pikir, dia mungkin olahragawan pingin menjalanai hidup sehat.
Teman-temannya mulai bertanya-tanya tentang teh. Setelah saya jelaskan aneka macam teh yang ada disitu,langsung deh mulai borong white tea untuk diminum dirumah. Satu lagi pingin teh hitam plain saya tawarkan Tambi.
Satu lagi mau coba Earl grey, satu lagi mau coba white tea untuk diminum ditempat.
Rata-rata setelah minum white tea, langsung pada jatuh cinta. Dan Lucunya si Gempal,mulai tertarik komen-komen temannya yang mencoba white tea. Akhirnya tidak tahan dia dan mememesan white. Benar saja, kesinisannya terhadap teh langsung luruh,dan mulai banyak bertanya tentang teh.
Akhirnya obrolan menjadi hangat dan lancar. Sehangat teh-teh yang saya sajikan.

Well, hari yang melelahkan tetapi menyenangkan. Benar kiranya moto kedai saya, EVERY DAY IS TEA GATHERING


Wednesday 7 July 2010

Dari Virtual menjadi Actual

Seringkali saya mendapatkan email yang menanyakan, dimana lokasi kedai teh Laresolo. Banyak juga wartawan yang menanyakan hal serupa. Saya selalu jawab, kedai teh laresolo adalah kedai virtual, kedai masa depan. Suatu saat, saya bermimpi untuk memiliki kedai teh sendiri, yang menjual teh Indonesia kualiatas premium.

Ternyata mimpi itu sebentar lagi menjadi kenyataan. Akhirnya telah berdiri sebuah kedai teh actual ditempat yang nyaman, Komplek Agripark, Jl.Taman Kencana No. 3 Bogor.

Rencana Soft Opening tanggal 11 July. Bagi yang rumahnya jauh dari Bogor, kami juga melayani pembelian teh kering lewat TIKI.
Terima kasih pembaca setia. Atas kesetiaan anda membaca blog saya memberi spirit luar biasa untuk mewujudkan visi dan misi saya : Meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap teh.
Bagi yang berkunjung ke Bogor, silahkan mampir. Moto kedai saya adalah : Every day is Tea gathering.