Friday 2 May 2014

Teh dan Filosofy

Mungkin ada yang pernah membaca buku filosofi kopi karangan Dee. Selepas terbitnya buku tersebut, banyak yang bertanya kepada saya, apakah ada filosofi teh?
Sangat kebetulan, seusai mendapat pertanyaan tersebut, saya diundang siaran di sebuah radio Swasta di Solo, dengan tema teh dan filosofi. Berikut  adalah materi dalam siaran tersebut.

Sebagian orang mungkin hanya mengenal  sebagai minuman saja. Maka banyak yang merasa heran ketika mendengar istilah filosofi teh. Bagaimana bisa sebuah minuman kok mengandung nilai-nilai filsafat yang biasanya dilakukan oleh para filsuf?
Sebelum membahas lebih lanjut ada baiknya kita ekplorasi terlebih dahulu apa makna dari filosofi sendiri
Filsafat merupakakan  sebuah studi tentang fenomena kehidupan dan pemikian manusia yang dijabarkan dalam sebuah konsep dasar.  Tidak seperti ilmu pengetahuan lain yang melewati percobaan atau ekperimen, filsafat lebih kepada pengutaraan masalah dan pencarian solusi yang disertai alasan dan argumentasi yang kuat. Artinya filsafat harus didasarkan kepada nalar atau logika.
Filsafat berasal dari kata Philia, yang artinya persahabatan, cinta, kasih, dsb. Dan kata Sophia yang artinya kebijaksanaan. Dalam arti yang sederhana filsafat bisa diartikan sebagai pecinta kebijaksanaan.
Ada beberapa klasifikasi filsafat. Misal digolongkan dalam origin. Jadi ada sebutan filsafat barat, timur tengah, filsafat timur, filsafat islam, filsafat Kristen dsb.
Dalam tradisi barat filsafat dibagi menjadi beberapa tema dan sub tema. Diantaranya:
1.       Metafisika. Dalam golongan ini filsafat lebih banyak mengekplorasi pada pemikiran mengenai eksistensi dan materi. Dari mana materi berasal, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, semua itu dijadikan pemikiran yang seringkali melewati perenungan dan pengamatan terhadap alam. Dalam perkembangannya, golongan ini menjadi sub tema lain seperti Kosmologi, misalnya. Yang membicarakan mengenai manusia dan alam semesta.
2.       Epistemologi. Pengkajian dan pemikiran tentang hakikat dan pengetahuan. Pembahasan meliputi batas, sumber serta kebenaran sebuah pengetahuan.
3.       Aksiologi. Membahas mengenai nilai dan norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Golongan ini dibagi menjadi 2 sub tema,yaitu etika dan estetika,
Etika membahas tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak. Beberapa bahasan menyangkut mengenai kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, nurani, dsb
Estetika membahasa mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan.




Kalau  dihubungkan dengan teh, tema apa yang dapat mewakili filosofi teh?
Secara singkat dapat saya jawab, bahwa filosofi the lebih banyak berkaitan dengan aksiologi, yaitu etika dan estetika.
Etika ini sifatnya bisa universal, dan juga bisa kontenstual. Misalnya dalam upacara minum teh jepang dikenal tata cara duduk formal yang disebut Seiza. Ini ada juga di muslim yaitu duduk diantara sujud yang disunahkan dilakukan dng cara Iqaa. Yaitu menyilangkan kanan diatas kaki kiri, dan pantat menduduki tumit.
Di Inggris, cara memegang cangkir yang sopan adalah dengan 3 jari, sementara kelingking dibiarkan mencuat. Di china makan menggunakan sumpit, yang tentunya dipegang dengan 3 jari. Cara memegang Cucing (cup kecil), dengan satu tangan juga dilakukan dengan 3 jari. Dalam islam ada juga sunnah nabi yang mengajarkan makan dengan 3 jari.


Sedangkan yang kontekstual terkadang malah berbenturan dengan etika budaya lain daerah, Misalnya saja dalam upacara minum teh jepang, cara minum yang sopan adalah dengan menyeruput keras sehingga berbunyi sebagai tanda penhormatan kepada tuan rumah. Sedangkan secara umum, itu malah tidak sopan.

Lebih lanjut, perkembangan teh dalam memberikan nilai-nilai filosofis, tidak lepas dari perkembangan teh dari jaman ke jaman. Kita coba tengok sebentar sejarah perkembangan teh. mengalamai perkembangan dari jaman ke jaman. Dan dapat dikatakan sebuah evolusi karena perkembangan ini melewati waktu ribuan tahun lamanya.
Pertama kali ditemukan oleh Shennong kira-kira hamper 3000 tahun sebellum masehi sebagai tanaman liar yang digunakan untuk pengobatan. Baru pada tahun 50-an Masehi (berarti 3000 tahun kemudian), pohon the dibudidayakan dan mulai diminum oleh para bangsawan.

Kira-kira 600 tahun kemudian, yaitu pada dinasti Tang, the mulai popular dan menjadi minuman nasional. Pada dinasti inilah muncul sastrawan yagn bernama Luyu yang pertama kalinya menuliskan buku tentang the secara lengkap. Buku tersebut memuat asal-usul the, peralatan the, cara memetik dan memasak the, upcara minum the, tempat produksi the, dsb.
Masa kecil Luyu dibesarkan dalam lingkungan religiustias bersama pendeta agama Zen Budha. Ini yang memberi pengaruh besar terhadap Tulisan Luyu. Dalam, tata cara menyiapkan the Luyu menempatkan tata cara tsb setara dengan upacara keagamaan. Semua peralatan hrus disesuaikan dengan situasi, benda yang ada dalam ruang the hrs memilik arati dan nilai kebaikan bagi setiap pribadi yang hadir.

Tulisan Luyu ini yang kelak  malah lebih banyak dibaca oleh orang Jepang dan kembangkan sebuah budaya minum teh yang memiliki nilai filosofis tersendiri.

Pada sekitar tahun 1191 Masehi, Eisai seorang pendeta Zen Budha yang belajar agama di China pulang membawa serta tradisi minum the terutama tehnikan pembautan powder tea. Ajaran tersebut berkembangan menjadi sebuah ceremony yang memiliki nilai-nilai filosofy tinggi yang disebut sebagai Chado yang artinya jalan hidup teh.
Adalah Seno Rikyu yang mengajarkan empat pilar dasar philosophy dalam Chado, yaitu WA KEI SEI dan JAKU. Wa yang bermakna keselarasan, rasa hormat, ketulusan dan ketenangan.


Chado adalah sebuah disiplin yang disimbolkan dalam ritual dan gerakan tertentu yang lengkap yagn memerlukan waktu kkurang lebih 15 menit untuk menyajikan semangkok teh.  Ada beberapa macam ritual yang memiliki tata cara, peralatan dan pakaian yang berbeda yang diseusaikan dengan musim atau tujuan ritual tersebut.
Adakah contoh nyata aplikasi filosofi  teh dalam kehidupan sehari-hari.
Makna dan aplikasi dari filosofy bagi masing-masing orang bisa saja berbeda, tergantung dari pengalaman hidup masing-masing. Misalnya saja dalam memaknai Wa, atau keselarasan bisa memiliki beragam makna.
Ada yang memaknai sebagai keselarsan antara manusia dan alam, manusia dan Tuhan, dsb
Saya pribadi memaknai Wa sebagai dasar pokok yang sangat mempengaruhi aspek kehidupan. Seperti Yin dan Yang di China, kesemuanya harus selaras. Adanya ketidak selarasan membuat hidup akan timpang.

Khusus untuk manfaat, saya lebih  memaknai sebagai alert atau pengingat untuk selalu melakukan kebajikan. Menjauhkan diri dari hal-hal yg sebenarnya mencederai atau berlawanan dengan kebaikan the. Contoh yang nyata, the dan rokok adalah sebuah ketidak selarasan dan kesia-siaan. Betapa tidak, the dikenal lmemberikan manfaat buat kesehatan, tentu akan menjadi sia-sia jika disandingkan dengan rokok yang jelas tertulis dikemasannya merugikan kesehatan,

Apakah budaya minum teh di Indonesia juga ada yang memiliki nilai-nilai filosofis?
Di Indonesia sendiri secara kontekstual berkembang nilai-nilai filosofy dalam the. Contohnya the poci dari tegal. Penggunaan gula batu sebagai pemanis disertai syarat tidak boleh diaduk. Cukup dengan menggoyangkan cangkirnya saja. The pada awal yang berasa pahit, diujung berasa manisnya. Makna dari filofohpy ini untuk mendapatkan manisnya hidup tidak dapat diguankan cara instant. Menggoyang cangkir ibarat sebuah usaha atau effort.  Nah lewat usaha ini kita akan menadapatkan manisnya kehidupan.



Apa yang dimaksud dengan Tea Quote?
Dalam lingkup lebih sempit filosofyy teh ditulilskan dalam bentuk ungkapan. Dalam lingkup lebih luas dituis dalam bentu tea story.
Ada banyak tea quote yang berbentuk sebuah wisdom, misalnya:

The adalah secanggkir kehidupan (Anonimdari )
The diminum untukmelupakan kekelaman dunia (Tien Yisheng)
Minum teh bersama, menjadi lebih dari sekedar bentuk acara minum ideal. Minum the adalah agama dan seni kehidupan. {Okakuro Kakuzo}
Dan sangat terkenal adalah quote William Gladstone, salah seorang perdana mentri Inggris:
Kalau kau dingin, teh akan menghangatkan
Kalau kepanasan, teh akan menyejukkan
Kalau galau, teh akan menenangkan

Tea quote tersebut sudah barang tentu tidak tertuang begitu saja, tetapi melewati pengalaman batin atau pengamatan mendalam di kehidupan lewat pengalaman minum teh.

Beberapa tea story seperti kumpulan Chicken soup for tea lover, tertulis kisah-kisah inspiratif yang berhubungan dengan pengalaman minum teh.
Atau satu kisah sejati pada awal-awal saya membuka kedai teh (baca http://kedai-teh-laresolo.blogspot.com/2010/07/my-special-guest.html)
Pada intinya, filosofi teh adalah berkaitan dengan esensi minum teh itu sendiri, yaitu sharing. Teh lebih enak jika dinikmat bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Ketika berbagi teh inilah, keakraban makin terajut. Obrolan yang pada awalnya hanya sekitar dari mana asal teh yang sedang diminum tersebut, apa jenisnya, dsb, bisa berkemang kepada sharing kehidupan yang lebih dalam lagi.
Saya ingat betul, tradisi masa kecil dimana teh selalu disajikan pagi dan sore untuk diminum bersama-sama. Ini juga terjadi pada keluarga-keluarga lainnya. Sayangnya tradisi tersebut sudah mulai memudar, karena kesibukan, sehingga banyak yang beralih minum teh yang lebih instant macam teh celup atau teh sachet. Dalam iklannyapun, teh celup selalu digambarkan diseduh sendiri dalam cangkir yang dipegang sendiri-sendiri. Padahal akan lebih nikmat, jika teh dibuat dalam teko dan dibagikan kepada orang-orang terdekat kita, untuk dinikmati bersama.



Yuk kita budayakan lagi minum teh bersama, biar bisa mendapatkan inspirasi dari filsafat teh.

Tradisi minum teh keluarga saya

Tanpa terasa saya sudah melewati 3 tahun menjalankan usaha dibidang teh. Dimulai dari kedai sederhana, belajar meracik teh, mensupply beberapa kafe yang menyedikan teh, melayani jasa custom blending untuk signature blend beberapa cafe, menjadi konsultan yang berkaitan dengan teh, juga menjadi pembicara dibidang teh. Pokoknya core bisnis saya tetap teh.
Banyak orang menanyakan, bagaimana awalnya saya tertarik kepada teh?
Tentunya ini sangat berkaitan dengan sejarah dan tradisi keluarga. Saya minum teh dari kecil, bahkan pada waktu itu saya tidak pernah minum air putih, selalu minum teh. Sebelum teh botol Sosro terkenal seperti sekarang, kami kemana-mana selalu bekal air teh yang dimasukkan dalam botol bekas Orson (syrup  jeruk). Bisa jadi Mbak Sosro Joyo terinspiriasi dari tradisi masyarakat Indonesai yang suka bekal teh dibotolin J
Ibu saya bukanlah seorang yang terpelajar. Sekolah hanya lulus SD, karena sudah dipaksa menikah pada usia Dini. Tetapi namanya cinta kasih tidak ada sekolahnya.
Ibu saya tidak kenal apa itu Afternoon tea, apalagi Puteri Anne yang mempelopori budaya minum teh dari Inggris tersebut. Bahkan ibu sama sekali tidak tahu apa itu teh hitam, teh hijau, Oolong, dsb. Bagi beliau teh hanya teh wangi melati. Teh harus diseduh dengan air mendidih, dan dijaga kehangatannya. Dapat dikatakan ibulah tea host di rumah kami, dan tamu-tamunya adalah suami dan anak-anaknya. Tradisi minum teh telah dimulai dari pagi hari, dan diulang lagi  pada sore harinya.
Saya ingat betul setiap hari ibu selalu bangun pagi buta. Setelah selesai sholat subuh, ibu langsung ‘nggodhog wedang’. Ini sebenarnya sebuah bahasa yang hyperbolic. Nggodok artinya masak. Sedangkan wedang berarti air minum yang sudah dimasak. Wedang teh, wedang jahe, wedang ronde, semua adalah air yang sudah siap dan layak diminum. Jadi kalau diterjemahkan, nggodhog wedang adalah memasak air minum yang sudah dimasak. Wah, mbulet banget.
Tempat menyeduh teh disebut porong, yaitu sebuah teko yang terbuat dari semacam campuran besi dan aluminium. Saya tidak tahu pasti material yang dipakai. Tidak ada ritual atau cara-cara khusus untuk menyeduh teh. Setelah teh selesai diseduh dengan air panas, porong ditutup dengan tutup yang berbentuk bantal. Ya, bentuknya memang mirip sekali dengan bantal karena memakai kapuk yang dibungkus kain. Ibu biasanya membuat sendiri tutup porong tersebut. Tujuannya agar teh yang diseduh tetap awet panas. Tentu saja kami belum kenal dengan apa yang namanya warmer. pun bukan Teapot cover yang dijual di Alibaba.com  Apalagi teapot cover ala TWG atau Marriage Freres, gak pernah kebayang.



 Teh yang sering digunakan ibu adalah teh 999 atau teh cap sepeda balap. Kadang-kadang teh gopek. Terkadang ibu juga mencampur beberapa merk teh tersebut.



Setiap bangun pagi, di meja makan pasti sudah tersedia gelas teh yang masing-masing gelas memiliki warna tutup yang berbeda. “Le, iki wedange le”, begitu sapa ibu setiap membangunkan saya. Biasanya ibu akan menunjukkan gelas mana yang punya saya, dan gelas mana yang punya bapak atau kakak. Sebagai teman minum pasti sudah tersedia tempe goreng dan beberapa cabe rawit. Karena kebetulan tetangga sebelah rumah yang memproduksi tempe tersebut, ibu selalu pesan tempe yang belum jadi. Yaitu tempe yang belum sempurna proses peragiannya sehingga butiran kedelai masih tampak nyata. Selain tempe yang selalu tersedia adalah kerupuk pasar yang berwarna merah muda atau kuning. Terkadang tersedia juga karak, yaitu kerupuk dari gendar. Kerupuk memang tidak pernah hilang dalam kuliner keluarga saya. Bahkan tukang kerupuk sempat meminjamkan blek atau kaleng kerupuk yang berbentuk kotak dari seng dengan tutup bulat macam topi, dan satu sisi memiliki kaca tembus pandang. Karak disimpan dalam lodhong atau toples kaca berbentuk silider dan bertup bulat . Gurih tempe, dipadu pedas rawit, disusul kriuk kerupuk kemudian digelontor teh melati manis. Hmm…nikmat sekali.
Itu baru menu pembukaan makan pagi. Setelah itu biasanya tersaji pondoh pecel, yaitu semacam gendar tetapi digunakan santan sebagai pengganti bleng. Selain itu juga tersedia pecel bongko yang terbuat dari kedelai. Itu baru appetizer semacam salad. Main coursenya adalah nasi putih dengan lauk tumis kulit melinjo dan tentu saja tempe goreng dan kerupuk.
Ritual minum teh tersebut akan berulang lagi pada sore harinya dan yang pasti tidak ketinggalan sebagai teman adalah tempe goreng dan kerupuk. Ritual minum teh sore biasanya dilanjutkan dengan mengobrol ringan di meja makan sampai tiba waktu magrib. Selesai Sholat, kami kembali ke meja makan untuk makan malam.
Hingga kini, setiap kami pulang kampung, dalam kerentaannya, dengan tertatih-tatih ibu masih saja menyediakan teh buat anak-anaknya. Padahal kami sudah besar semua. Punya anak dan istri masing-masing. Bahkan ibu sudah punya buyut, tetapi ibu tetap merasa itu adalah sebuah kewajiban dalam menunjukkan cinta kasihnya terhadap keluarga. Beliau merasa bahwa jabatan sebagai host dalam tradisi minum teh keluarga tidak tergantikan. Teh untuk cinta