Friday 2 May 2014

Tradisi minum teh keluarga saya

Tanpa terasa saya sudah melewati 3 tahun menjalankan usaha dibidang teh. Dimulai dari kedai sederhana, belajar meracik teh, mensupply beberapa kafe yang menyedikan teh, melayani jasa custom blending untuk signature blend beberapa cafe, menjadi konsultan yang berkaitan dengan teh, juga menjadi pembicara dibidang teh. Pokoknya core bisnis saya tetap teh.
Banyak orang menanyakan, bagaimana awalnya saya tertarik kepada teh?
Tentunya ini sangat berkaitan dengan sejarah dan tradisi keluarga. Saya minum teh dari kecil, bahkan pada waktu itu saya tidak pernah minum air putih, selalu minum teh. Sebelum teh botol Sosro terkenal seperti sekarang, kami kemana-mana selalu bekal air teh yang dimasukkan dalam botol bekas Orson (syrup  jeruk). Bisa jadi Mbak Sosro Joyo terinspiriasi dari tradisi masyarakat Indonesai yang suka bekal teh dibotolin J
Ibu saya bukanlah seorang yang terpelajar. Sekolah hanya lulus SD, karena sudah dipaksa menikah pada usia Dini. Tetapi namanya cinta kasih tidak ada sekolahnya.
Ibu saya tidak kenal apa itu Afternoon tea, apalagi Puteri Anne yang mempelopori budaya minum teh dari Inggris tersebut. Bahkan ibu sama sekali tidak tahu apa itu teh hitam, teh hijau, Oolong, dsb. Bagi beliau teh hanya teh wangi melati. Teh harus diseduh dengan air mendidih, dan dijaga kehangatannya. Dapat dikatakan ibulah tea host di rumah kami, dan tamu-tamunya adalah suami dan anak-anaknya. Tradisi minum teh telah dimulai dari pagi hari, dan diulang lagi  pada sore harinya.
Saya ingat betul setiap hari ibu selalu bangun pagi buta. Setelah selesai sholat subuh, ibu langsung ‘nggodhog wedang’. Ini sebenarnya sebuah bahasa yang hyperbolic. Nggodok artinya masak. Sedangkan wedang berarti air minum yang sudah dimasak. Wedang teh, wedang jahe, wedang ronde, semua adalah air yang sudah siap dan layak diminum. Jadi kalau diterjemahkan, nggodhog wedang adalah memasak air minum yang sudah dimasak. Wah, mbulet banget.
Tempat menyeduh teh disebut porong, yaitu sebuah teko yang terbuat dari semacam campuran besi dan aluminium. Saya tidak tahu pasti material yang dipakai. Tidak ada ritual atau cara-cara khusus untuk menyeduh teh. Setelah teh selesai diseduh dengan air panas, porong ditutup dengan tutup yang berbentuk bantal. Ya, bentuknya memang mirip sekali dengan bantal karena memakai kapuk yang dibungkus kain. Ibu biasanya membuat sendiri tutup porong tersebut. Tujuannya agar teh yang diseduh tetap awet panas. Tentu saja kami belum kenal dengan apa yang namanya warmer. pun bukan Teapot cover yang dijual di Alibaba.com  Apalagi teapot cover ala TWG atau Marriage Freres, gak pernah kebayang.



 Teh yang sering digunakan ibu adalah teh 999 atau teh cap sepeda balap. Kadang-kadang teh gopek. Terkadang ibu juga mencampur beberapa merk teh tersebut.



Setiap bangun pagi, di meja makan pasti sudah tersedia gelas teh yang masing-masing gelas memiliki warna tutup yang berbeda. “Le, iki wedange le”, begitu sapa ibu setiap membangunkan saya. Biasanya ibu akan menunjukkan gelas mana yang punya saya, dan gelas mana yang punya bapak atau kakak. Sebagai teman minum pasti sudah tersedia tempe goreng dan beberapa cabe rawit. Karena kebetulan tetangga sebelah rumah yang memproduksi tempe tersebut, ibu selalu pesan tempe yang belum jadi. Yaitu tempe yang belum sempurna proses peragiannya sehingga butiran kedelai masih tampak nyata. Selain tempe yang selalu tersedia adalah kerupuk pasar yang berwarna merah muda atau kuning. Terkadang tersedia juga karak, yaitu kerupuk dari gendar. Kerupuk memang tidak pernah hilang dalam kuliner keluarga saya. Bahkan tukang kerupuk sempat meminjamkan blek atau kaleng kerupuk yang berbentuk kotak dari seng dengan tutup bulat macam topi, dan satu sisi memiliki kaca tembus pandang. Karak disimpan dalam lodhong atau toples kaca berbentuk silider dan bertup bulat . Gurih tempe, dipadu pedas rawit, disusul kriuk kerupuk kemudian digelontor teh melati manis. Hmm…nikmat sekali.
Itu baru menu pembukaan makan pagi. Setelah itu biasanya tersaji pondoh pecel, yaitu semacam gendar tetapi digunakan santan sebagai pengganti bleng. Selain itu juga tersedia pecel bongko yang terbuat dari kedelai. Itu baru appetizer semacam salad. Main coursenya adalah nasi putih dengan lauk tumis kulit melinjo dan tentu saja tempe goreng dan kerupuk.
Ritual minum teh tersebut akan berulang lagi pada sore harinya dan yang pasti tidak ketinggalan sebagai teman adalah tempe goreng dan kerupuk. Ritual minum teh sore biasanya dilanjutkan dengan mengobrol ringan di meja makan sampai tiba waktu magrib. Selesai Sholat, kami kembali ke meja makan untuk makan malam.
Hingga kini, setiap kami pulang kampung, dalam kerentaannya, dengan tertatih-tatih ibu masih saja menyediakan teh buat anak-anaknya. Padahal kami sudah besar semua. Punya anak dan istri masing-masing. Bahkan ibu sudah punya buyut, tetapi ibu tetap merasa itu adalah sebuah kewajiban dalam menunjukkan cinta kasihnya terhadap keluarga. Beliau merasa bahwa jabatan sebagai host dalam tradisi minum teh keluarga tidak tergantikan. Teh untuk cinta