Monday, 22 March 2010

White tea tasting

Tampaknya white tea akhir-akhir ini sedang naik daun. Kandungan EGCG yang tinggi, yang bermanfaat untuk aktioksidan, banyak yang mengasosiasikannya bermanfaat buat kecantikan. Banyak sekali produk komestik yang menambahkan kandungan white tea ke dalam produk mereka. Mungkin saja ada benarnya, mengingat antioksidan bermanfaat buat penangkal kerusakan sel dari pengaruh radikal bebas. Dengan dijaganya sel-sel dari kerusakan, white tea dipercaya dapat membuat awet muda.

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa white paling banyak bermanfaat sebagai anti kanker. Juga disebutkan bahwa white tea memiliki kandungan antiviral dan antibakterial lebih tinggi dibanding teh hijau.

Kepopuleran white tea, makin bertambah seiring dengan musibah yang menimpa kebun teh Dewata. Entah apa sebabnya dalam berita yang disajikan, disebutkan Kebun teh Dewata sebagai penghasil teh putih, walau sebenarnya kebun ini juga menghasilkan jenis teh lain seperti green tea Gun Powder dan juga Sencha. Bahkan beberapa orang yang baru saya kenal, dan ketika saya ajak ngobrol soal teh, mereka langsung menanyakan, apa itu teh putih. Saya katakan dari mana tahu tentang teh putih. Mereka jawab, dari berita di Televisi yang meliput musibah longsor di kebun teh Dewata.

Tak kurang dari Malino Tea rupanya juga mencoba membuat white tea. Beberapa waktu yang lalu saya sempat di Undang oleh salah satu direksi dari Malino, ibu Diah untuk diperlihatkan hasil percobaan produksi teh putih mereka.

“Apakah white tea harus selalu putih?”, demikian pertanyaan pertama yang tercetus. Pertanyaan itu muncul, karena white yang diperlihatkan kepada saya berwarna kehitaman, dengan seleret putih, yang mengingatkan saya dengan Grey Dragon punya kebun teh Dewata (tulisan berikutnya saya akan mereview tentang Grey Dragon ini).

Logikanya, disebut white tea, dikarenakan warna daun teh keringnya berwarna putih keperakan. Di China white tea disebut sebagai Yinzhen, kalau diartikan dalam bahasa Inggris disebut sebagai Silver Needle. Bentuknya yang runcing seperti jarum, dengan warna putih keperakan.

White tea dari Malino ada dua macam, yaitu dari varians Assamica Klon TRI, dan varians Sinensis dari klon Yabukita. Saya teringat, bahwa saya juga memiliki stock white tea Sinensis dari Fujian China, dan Assamica dari Dewata. Semula saya mengira klon yang digunakan oleh Dewata adalah Klon Gambung, seperti kebanyakan kebun teh Indonesia. Tetapi menurut pak Robby dari Kabepe Chakra, klon yang digunakaan adalah Klon Dewata 27. Klon ini merupakan hybrid antara varians Sinensis dan Assamica.

Supaya tahu perbedaan dari masing-masing white tea tersebut, saya lakukan tea tasting bersama-sama. Dari beberapa pengalaman saya, ternyata treatment penyeduhan white tea assamica dan sinensis sedikit berbeda. Untuk Assamica, lama brewing cukup 3 menit. Lebih dari itu akan overbrew, dan menimbulkan astringency yang kurang menyenangkan. Sedangkan untuk varians Sinensis, justru 3 menit, belum keluar semua rasa dan aroma. Minimal seduh 5 menit, baru keluar semua.

Supaya lebih adil, membandingkan dari dua jenis varians yang sama. Jadi pertama-tama saya seduh white tea assamica TRI dan Dewata 27.

Secara appearance, Dewata 27 paling cantik. Teh hanya terdiri dari pucuk daun yang masih kuncup, dengan warna putih jernih. TRI, seperti yang saya ceritakan di awal, tampaknya memang teroksidasi, sehingga warnanya kehitaman. Walaupun begitu, secara aroma memang wangi sekali, mengingatkan saya wangi rose, hanya sedikit grassy.

Warna seduhan, Dewata 27 kelihatan jernih dan bening, sedang TRI putih kecoklatan.

Untuk rasa, saya membenarkan pendapat beberapa teman mengenai white tea assamica, ada rasa buah lengkeng. Apalagi ketika sedikit bersendawa, rasa buah lengkengnya terasa banget. Beberapa orang luar, mengatakan rasanya Peachy. Mungkin karena mereka belum kenal buah lengkeng ya, tahunya buah peach. Kalau dibandingkan dengan rasa peachy di teh Darjeeling, tentu beda. Kalau mereka kenal buah lengkeng, mungkin akan menyebutnya rasanya Lengky he..he...

Sedang TRI, rasa fruity ada Cuma perbendaharaan memory saya belum ketemu buah apa yang pas. Aroma wanginya terasa panjang, tetapi juga grassy.

Rasa grassy, mungkin karena proses pengeringan yang belum sempurna. Hal ini juga tampak dari daun teh kering yang terasa agak lembek belum terlalu kering. Mengingat ini masih percobaan, dan kondisi cuaca juga tidak bagus, mungkin saya hasil percobaannya belum terlalu sempurna.

Berikutnya saya seduh white tea dari Fujian dan Yabukita. White tea Fujian saya dapat dari Terry, member milis pecinta teh.

Untuk lebih mudahnya White tea Fujian saya sebut Yinzhen, sedangkan Malino saya sebut Yabukita white.

Warna Yinzhen putih sedikit kehijauan. Beberapa daun sedikit hancur. Kemungkinan karena pada saat terima kondisinya dipacking dengan sistem vakum. White tea memang sangat rapuh banget, kalau divakum akan banyak yang hancur. Yabukita white, kondisinya sama mirip dengan TRI, tampak teroksidasi.

Warna seduhan Yinzhen, bening, sedikit kuning keemasan. Warna Yabukita white, lebih tebal cenderung kekuningan. Aroma seduhan, tidak seperti white tea lainnya yang biasanya flowery, Yinzhen jutru aromanya nutty, demikian juga rasanya, dan diakhiri dengan rasa manis. Rasa Nutty, sangat mirip dengan Longjing, dari Huang Zhou. Dari beberapa pengalaman saya menyeduh green tea dari China, kebanyakan memang rasa dan aroma nutty.Mungkin itu salah satu ciri khas teh China.

Sedangkan rasa Yabukita juga cukup manis.

Kebetulan tema gathering dari milist pecinta teh adalah White tea, nanti saya akan membawa teh ini untuk dicoba bersama-sama. Kalau dulu pernah dilakukan tea tasting white tea dari beberapa grade (semuanya sinensis), seperti Yinzhen, Bai Mudan, Shou Mei, gathering nanti juga akan dicoba White tea dari varians yang lain.

Sedikit catatan mengenai perbedaan white tea varians Assamica dan Sinensis. Untuk takaran, tetap digunakan takaran yang sama, dan jumlah takaran 2 kali dari takaran teh jenis lainnya. Waktu seduh Assamica cukup 3 menit seduhan pertama, dan hanya enak diseduh 2 kali saja. Seduhan kedua bisa 4 menit. Seduhan ketiga, biasanya rasa sepetnya sudah cukup mengganggu. Hanya sebagian orang justru suka dengan rasa sepet ini. Selain itu, rasa sepet bisa juga sebagai pertanda bahwa kandungan katekinnya tinggi. Dalam tulisan terdahulu, pernah saya singgung, bahwa kandungan katekin teh Indonesia memang jauh lebih tinggi dibandingkan teh Varians Sinensis dari China maupun Jepang.

White tea varians Sinensis, seduhan pertama minimal 5 menit, dan dapat diseduh ulang 3-4 kali. Untuk aroma, saya lebih suka varians assamica, karena aroma wanginya sangat kuat. Hanya untuk rasa dan after taste varians Sinensis tidak ada rasa sepet yang bagi saya terkadang cukup mengganggu.

Sunday, 14 March 2010

Duka di Lembah Dewata

“Saya suka bekerja disini, karena pemilik kebun ini sayang sama kita semua.Tetapi, sekarang kami harus bagaimana”, begitulah sekilas wawancara salah seorang korban longsor Kampung Dewata yang saya lihat di Televisi.

Saya tercenung. Saya paham, apa yang dirasakan oleh pekerja tersebut. Dia sudah bekerja bertahun-tahun disitu. Bahkan mungkin entah sudah berapa generasi, mereka beranak pinak disitu. Saya yang baru 2 kali mengunjungi Lembah Dewata, sudah dapat merasakan betapa kedamaian, keakraban dan kesahajaan, seluruh warga kampung dewata, termasuk pejabat-pejabat perkebunan bahkan hingga pemiliknya.

Jadi ketika saya mendengar kabar adanya longsor di kampung Dewata pada hari Selasa , saya pikir Cuma longsor biasa yang tidak terlalu parah. Tetapi ketika mendengar berita betapa jumlah korban yang meninggal maupun hilang cukup banyak, apalagi ketika saya melihat photo di kompas dibawah ini, hati saya terasa sangat pilu.


Coba bandingkan dengan photo yang diambil Willy Suwandi, rekan dari komunitas pecinta teh ketika berkunjung ke tempat ini bulan October 2009, sungguh sangat menyedihkan.



Ingatan saya melayang beberapa bulan silam, awal-awal sa

ya berkenalan dengan pak Robby Baddrudin, salah seorang putra dari Rahmad Baddrudin, pemilik kebun teh Dewata ini.

Pak Atik Dharmadi, salah seorang mantam tea scientist dari Bandung, yang membawa dan memperkenalkan pak Robby dengan komunitas pecinta teh. Pada waktu itu kami mengadakan gathering di Kantor Pemasaran Bersama, Gondangdia Jakarta.

Saya pikir, Cuma sekedar basa-basi ketika pak Robby menawarkan kami untuk datang berkunjung ke kebunnya. Apalagi menurut beliau, jalanan yang ditempuh medannya cukup berat, dan harus menggunakan mobil offroad untuk mencapainya dengan lebih nyaman.

Cerita tentang kunjungan ke kebun mungkin saya akanceritakan di lain waktu. Yang saya ingat adalah, keramahan dari seluruh pekerja kebun. Mereka menyiapkan kedatangan kami dengan sepenuh hati. Bahkan pak Irvan, salah seorang Administratur kebun, rela meminjamkan rumah dinasnya kepada kami, sementara beliau dan keluarga mengungsi ke tempat lain.

Dan ternyata rumah yang dulu kami inapi, sekarang sudah tertutup dengan tanah. Yang lebih menyedihkan, putra terkecil dari pak Irvan menjadi salahsatu korban yang tidak selamat dari bencana tersebut.

Kali kedua saya berkunjung ke Lembah Dewata adalah ketika saya mengikuti acara program jurnalistik yg diadakan bu Maria dari kantor berita Antara.

Di kali kedua, tersebut saya merasa sudah menjadi bagian dari keluarga Dewata. Bahkan saya menginap satu kamar bersama pak Darso dan pak Robby di mess 2, yg sekarang hanya tampak gundukan tanah seperti halnya Mess 1 dan rumah pak Irvan. Disitu kami sempat ngobrol semalaman bicara mengenai visi, filosofy serta impian-impian kami.



Saya teringat, betapa ceria dan gembiranya wajah para pemetik teh, ketika kami memotret mereka. ”Nanti dikirim ya pak”, kata mereka sambil tersenyum lebar.
Saya teringat, betapa sepanjang jalan, mereka melambaikan tangan kepada kami.

Betapa menyedihkannya, ketika melihat betapa mereka sekarang harus mengungsi dari kampung yang telah mereka tinggali entah berapa generasi.




Saya teringat, betapa saya telah bersama-sama memasak di dapur mess mereka, ketika menyiapkan baberque untuk makan malam. Kemana ikan-ikan super besar hanya mau memakan rumput saja. Kemana sekarang sebuah pohon teh besar yang telah berusia 50 tahun lebih.

Hal yang membuat saya gundah, demikian juga dengan pertanyaan Nilam Zubir, salah satu peserta loka karya menulis di Lembah Dewata, yaitu kenapa sebuah bukit penuh pepohonan bisa runtuh? Bukankah alam dan manusia telah bersahabat sebelumnya. Betapa pohon-pohon tersebut dirawat, dan tidak ada ekploitasi alam yang berlebihan. Bukankah akar-akar pohon teh tersebut akar yang kuat. Bahkan para tamu, diwajibkan menanam pohon sebagai kenangan dan juga pelestarian lingkungan.


Beberapa analisa para ahli sedikit menjawab kegundahandan pertanyaan saya. Gempa Tasik yang melanda pengalengan beberapa waktu yang lalu, ternyata telah menyebabkan retakan tanah. Ketika turun hujan, dimana pada masa-masa sebelum bukit tersebut runtuh, air hujan mengisi retakan tanah tersebut, sehingga menyebabkan ikatan antar tanah jadi melunak. Selainitu, menurut pak Robby, memang terjadi hujan yang curahnya hujannya sangat hebat, sekitar 5 kali dari curah hujan .

Menurut teman saya, Pak Dhe Rovicky, si pendongeng Gempa, pepohonan, terkadang memang bisa menjadikan beban tanah makin berat.


Apapun analisanya, yang terpenting adalah, lembah Dewata segera dapat pulih kembali.