Mendengar kata teh Puerh, bagi yg pernah meminumnya, langsung terbayang konde
atau batu bata hitam, dengan aroma apek kayak karung goni.
Tidak banyak yg dapat menikmati puerh, karena aromanya yg kurang enak tadi.
Puerh adalah sebuah teh yang unik. Kalau teh lain kualitasnya akan menurun
sejalan dengan waktu, sebaliknya puerh tertentu, makin lama makin berkualitas
dan makin mahal harganya.
Salah satu keunikan dan menjadi ciri khas dari puerh adalah, walau diseduh
sebentar, warnanya akan menjadi pekat, tetapi tidak ada rasa pahit atau sepat.
Yang mengganggu cuma aromanya tadi. Keunikan lain adalah teh ini tahan seduh.
Artinya diseduh berkali-kali, kualitas rasa dan warna air tidak mengalami
perubahan yg significant.
Salah satu penikmat Puerh adalah sobat dan pelanggan kedai teh saya: Marchel.
Baik saya dan Marchel, diam2 sepakat, kalau sifat tahan seduh Puerh dikarenakan
proses agingnya. Dan akhirnya, kami juga sepakat, bahwa dugaan itu ternyata
keliru. Sifat tahan seduh Puerh merupakan DNA dari Puerh itu sendiri.
Kesimpulan itu kami ambil setelah kami berdua mencoba white Puerh.
Sesuai dengan namanya, teh ini berwarna putih, berbentuk lempengan bulet. Kalau
Puerh biasanya dibuat dari daun yg cukup tua, white puerh terbuat dari bud,
tepatnya tiga pucuk daun pertama yg masih kuncup. Ampas hasilnya seduhan,
bentuknya mirip lungching preming, sekalipun tiga daun, tetapi tetap muda,
bedanya ukurannya lebih besar.
Semula kami bimbang, menentukan treatment bagaimana yg mesti dilakukan untuk
menyeduh teh ini. Menimbang daunnya yg muda, akhirnya kami putuskan memakai suhu
80 derajat, lama seduh 25 detik.
Kami sempat tidak percaya, kalau yg kamu minum adalah puerh. Betapa tidak, aroma
flowery dan rasa fruity dari teh ini jauh dari karakter puerh yg kami kenal.
Aromanya mengingatkan saya pada wangi Lavemder. Hanya ketika dibandingkan dengan
Lavender kering, ternya berbeda. Entahlah, saya belum menemukan padanan yang pas
untuk aromanya. Seduhan kedua, ketiga berjalan lancar, dengan aroma dan rasa
yang tidak berubah.
Menjelang seduhan keempat, rupanya Marchel makin penasaran.
"Coba pakai air mendidih mas".
Hasilnya cukup mencengangkan. Ketika dituang air mendidih, flowery langsung
keluar. Rasa juga lebih kuat.
Tidak cukup sampai disitu, seduhan ke lima Marchel minta brewing timenya
dipanjangin menjadi 3 menit. Amazing, rasa dan aroma tetap bagus, tanpa ada rasa
pahit sedikitpun.
Seduhan keenam, kembali ke hitungan detik, rasa dan aroma tidak mengalami
penurunan yang signifikan.
Sampai seduhan ke tujuh, ternyata itu seduhan terakhir. Marchel bilang, sudah
cukup, sudah kembung, tidak perlu masak air lagi.
Karena masih penasaran, ampasnya saya bawa pulang ke rumah dan disimpan di
kulkas.
Ke esokan harinya saya seduh hingga empat kali rasa dan aroma masih cukup bagus.
Istri saya yang biasanya menganut madzab teh manis, cukup dapat menikmatinya.
Teh ini cukup worthed untuk dicoba. Materialnya yg terbuat dari pucuk daun teh,
menjamin kualitasnya. Hanya yang masih menjadi sisa pertanyaan, kualitas apakah
warna daun kering tetap putih, sejalan dengan waktu? Kualitas bakal naik atau
turun?
Saya belum mendapatkan informasi yang memadai untuk dishare. Sementara ini,
biarlah waktu yang menjawabnya.
White Puerh ini rencananya juga akan saya pamerkan di acara Bandung Tea Festival
tgl. 2-3 October. Mau nyicip? Sok Atuh ditungguan di Metro Indah Mall, jl.
Soekarno Hatta Bandung.