Thursday, 21 July 2011

Virus Cinta teh


Awas, virus cinta teh sudah menyebar. Berhati-hatilah"


Demikian, salah satu postingan saya di FB. Salah seorang teman saya komplain..

"Kesannya negatif mbang", demikian komentarnya.

Kenapa saya memilih kata virus, karena sifat penularanya yang cukup cepat. Bahkan sifatnya mirip seperti virus komputer, yang seolah-olah mampu memduplikasikan diri sendiri dan memerintah dirinya sendiri untuk mencari object baru untuk ditulari. Pada level berikutnya, sifatnya akan lebih kuat.

Beberapa perilaku yang saya amati dari para pelanggan kedai teh saya, menguatkan teori saya, betapa cinta teh dapat menjadi virus strain baru.

Mungkin untuk lebih jelasnya saya akan bagi beberapa level seperti berikut:

Common virus.

Pada level ini masih tergolong ringan. Efeknya merasa seperti ada yang kurang kalau belum minum teh. Kalau sudah mencoba teh kualitas baik, merasa tidak cocok lagi dengan teh yang biasa didapatkan di warung. Di kedai saya, level-level ini sedang menjangkit anak-anak SMA. Terkadang mereka patungan, untuk sekedar memuaskan rasa ketagihan mereka dengan teh-teh baru.

Strain I.

Pada level ini, biasanya sudah mulai mencari teman untuk ditulari. Di ajak temannya untuk mencoba minum teh yang enak di kedai teh saya.

Strain II.

Level ini lebih ganas dari level sebelumnya. Bukan cuma sekedar ngajak, tapi rela "mbayari" alias mentraktir mangsa baru yang akan ditulari.

Level Akut.

Level ini sudah tidak lagi melihat biaya, bahkan jarak dan waktu rela dikorbankan demi menikmati secangkir teh atau sekedar berbagi kebahagiaan dengan teh koleksinya.

Banyak contoh yang sudah pada level ini. Misalnya Indri salah satu member komunitas pecinta teh dan pelanggan setia saya, yang rela jauh2 dari Pondok Gedhe, ke Bogor, hanya sekedar berbagi rasa teh koleksinya. Dia mulai berburu bukan hanya sekedar teh dan peralatannya, tetapi juga buku2 tentang teh.

Atau pak Arif, juga member komunitas pecinta teh yang aktif, yang rela sampai mencari penginapan di luar kota hanya karena ada event teh dan ingin mencari lebih banyak info tentang teh. Kalau sudah suka, teh harga berapa saja dia akan borong semua.

Atau Farid, yang rela naik motor hujan2an dari Jakarta ke Bogor, hanya untuk ngeteh di kedai saya.

Tentu saja, jangan lupakan Ratna Somantri, Owner dari Komunitas pecinta teh. Boleh dibilang dia nenek moyang atau ratu virus cinta teh di Indonesia. Disetiap gathering, dia selalu membawa dan menyeduhkan teh-teh yang sangat memungkinkan terciptanya virus-virus baru.

Kalau saya? Hi..hi.. saya tidak tahu mau digolongkan dimana. Yang jelas, saya turut mengambil keuntungan dengan terciptanya virus-virus baru, yang tentunya menambah keramaian di kedai tehku he…he…

Walau dibilang virus cinta teh ini bermanfaat positif, karena minum teh memang bermanfaat buat kesehatan. Tetapi, perlu diingat, virus ini juga memiliki efek negatif, yaitu bertambahnya budget pengeluaran anda untuk mendapatkan teh dan peralatannya he..he..he...



Monday, 7 March 2011

Pito-pito, teh herbal dari Phililipina


Salah seorang pelanggan kedai teh saya memberikan saya oleh-oleh Philiphina,
yaitu Pito-pito.

Dalam arti literal, pito-pito artinya Seven-seven. Itu dikarenakan herbal ini
dibuat dari 7 macam daun dan biji, yaitu
1. Alagao (Premna Odoreta Blanco)
2. Anise (Pimpinella ANisum), sering disebut bunga lawang
3. Banaba (Lagerstroemia Speciosa)
4. Biji Ketumbar
5. Daun Jambu Kelutuk
6. Daun Mangga
7. Daun Pandan

Rasanya lucu. Karena masing-masing herbal timbul tenggelam. Pertama-tama yang
mencuat adalah pandan, kemudian baru muncul ketumbar. Tak lama kemudian, mangga
muncul, lalu secara sama disapu oleh jambu.

Saturday, 19 February 2011

Liputan Indah dari Jakarta Post

Satu liputan yang membuat saya sangat tersanjung. Tulisan ini ditulis oleh Arif Suryo, seorang kontributor Jakarta Post yang begitu serius dalam hal ekploring data, begitu cerewet dan detail ketika minta data, dan terlebih dia juga seorang pecinta teh yang rela mengorbankan waktu, uang, jarak dan waktu hanya untuk memburu kenikmatan secangkir teh.

Selain itu, pak Arif juga seorang translator. Tidak heran, kalau akhirnya artikel yang dia tulis menjadi sangat indah. Pemilihan kata-katanya sangat tidak biasa, tetapi memberikan arti yang begitu dalam. Appresiasi setinggi-tingginya untuk pak Arif dan terima kasih untuk Jakarta Post yang telah memuat artikel tersebut. Sebuah kehormatan yang sangat berarti buat saya.

Dibawah ini saya share tulisan tersebut yang saya copy paste dari http://www.thejakartapost.com/news/2011/02/13/tea-treasures-unassuming-stall.html


Tea treasures in an unassuming stall

Drinking tea is a pleasure for the senses as well as the mind.


A leisurely discussion, sharing information about tea with like-minded fellows is one of the best experiences and times spent in life. For me and many others, one particular venue for such good times is the Laresolo tea stall.

Designed in the style of a thatched bar at the Agripark Complex in Bogor, the simple, rustic and humble-but-cozy tea bar, operational since July 11, 2010, offers an excellent, intriguing and unusual selection of teas including blended and herbal teas, and at times, unique teas such as the early spring ya bao (bud treasure) which is a white pu-erh tea made of wild white camellia variety from Dehong, Western Yunnan, China.

Owned by Bambang Muhtar Rusdianto, a meticulous tea lover who is also co-founder and moderator of the Pecinta Teh (Tea Lover) club, the stall is basically a gourmet tea establishment disguised as an unassuming tea stall.

It may still have in its stock Indonesia’s finest, export-bound, top-quality teas. Some of them were recently introduced, such as the highly fragrant Bengkulu oolong tea and the organic, complex Banten oolong tea.

Some others have existed since long ago, such as the Tambi tea (from Wonosobo) and the full-bodied, strong-tasting Kajoe Aro tea (of the “dust” type) from the foot of Mt. Kerinci in Jambi.

Both teas have been exported to Europe since Dutch colonial times, with the latter being used extensively for blending and having reportedly filled the teacup of the late Queen Wilhelmina of the Netherlands and Queen Elizabeth II of Britain (as English breakfast tea). In general, these fine teas are not available in supermarkets throughout the country due to their extremely high prices and export status. Many Indonesians are not even cognizant of them.

So, by offering these teas as well as a selection of other excellent foreign teas at prices that senior high school and university students can swallow, the stall makes them affordable luxuries.

For example, a pot of chamomile tea (containing one Twinnings tea bag), which can be found in any major supermarket in Jakarta, cost me around Rp 40,000 (US$4.46) plus tax and service at a French “fine dining” restaurant in Kebayoran Baru, South Jakarta, a few years ago.

By contrast, a pot of chamomile tea I drank at the stall set me back just Rp 10,000 and what’s more, the chamo-mile is not in a tea bag, but dried, whole-flower chamomile whose flavors are much more wonderful than their bagged counterparts — which true tea connoisseurs normally despise.

However, availability is a luxury.

What is available today may no longer be available tomorrow. And what is no
longer available may never be available again.

This is especially true for teas that are not included on the menu such as a particular Qing Xin oolong tea with a delicate taste which Bambang refers to as “the last oolong tea in the world” because the plantation from which it comes, probably in the township of Guangxi, is no more to be found due to landslides from the 2008 Sichuan earthquake.

Another tea the stall used to have is a Mariage Frères tea named Wedding Imperial. It ran out quickly, which is not surprising because it coasts on the popular flavors with some sweet sensations loved by many: chocolate, toffee and caramel.

In spite of this, the teas that are listed on the stall’s menu are available most of the time, although changes in their sources, and thus their tastes, are inevitable as Bambang gets more advanced in sourcing his teas and creating his own blends.

The stall’s four best sellers, however, are teas that true tea connoisseurs often look down on because they are coasting on enhanced flavors and do not really bring out the best of the real tea (Camellia sinensis).

The four are a kuwini fragrant mango (Mangifera odorata)-flavored tea, After Dark (a blend of dried blackberry leaves, balm, peppermint, chamomile flowers, orange flowers, rose flowers, lemon grass and bilberry flowers), Red Berries (raspberry-cherry flavored herbal mixture of dried Hibiscus blossoms, elderberries, grapes, billberries and citrus peel), and Dream of Fruit (black tea, dried strawberries and raspberries).

They may occasionally be out of stock due to popular demand, which is indicative of where the taste of the public is going.

The stall’s signature teas are cold teas, notably green mint lemon tea, slowly brewed for 12 hours. It is a simple but great combination of flavors: a green tea and mint tea blend mixed with freshly peeled skins of deliciously fragrant imported lemons from a certain source which, unfortunately, is not always available on the market.

Another tea that tastes great when brewed cold is Banten oolong tea, arguably one of the country’s finest oolong teas. The cold brew of this tea gave me an uplifting, emotionally and intellectually stimulating and relaxing experience with its delightful encounter with carefully arranged rose, honeysuckle, nutty and lychee flavors and beyond.

A cold brew of the Tambi black tea (of the “Broken Orange Pekoe” type) whose taste hints at complex honey is another great-tasting tea.

Bambang aspires to set up a center of the world’s tea culture. But that would require a lot of investment. On Nov. 22 of last year, he managed to open another tea bar in a more modern setting at the food court of a shopping mall, Yogya Bogor Junction.

I wish him a lot of success with his venture. However, should his business grow by leaps and bounds, chances are that the stall would be relocated to a luxurious building or mall, transformed into a modern-day tea house, commercialized and franchised, and accessible only to upscale clientele.

This may set the law of effect in motion, thus making this type of business too crowded. And yet, before my thoughts ramble too far into the stereotypical predictability of the unpredictable future,
let’s have a cup of tea…

Saturday, 4 December 2010

Outlet di Jogja Bogor Junction

Mulai tanggal 22 November, Kedai teh Laresolo memiliki outlet baru. Tepatnya di Rafles Food Life, Jogja Bogor Junction. Tempatnya yang cozy, dengan design interior vintage, cocok menjadi pilihan outlet baru saya.

Di tambah lagi fasilitas Hotspot, membuat pengunjung semakin dimanjakan. Sembari ngeteh, memilih aneka pilihan makanan yang cukup lengkap, dapat browsing secara gratis.

Kedai teh Laresolo at Tweeter

Walau belum jadi trending topik, melihat tweet para pelanggan kedai teh laresolo, senang juga.

  1. adisisjasmine Okay. Preparing.. Mandi, solat, makan, dandan yg cantik, then kumpul bersama teman-teman dan.. Mmmh hem hahaha wait me at @laresolo guys ;)
  2. Adisty Primatya adisisjasmine Sebentar lagi sampai bogor langsung bergegas heading to kedai teh @laresolo!!! Iiihay punya twitter hehe
  3. bunga fatimah bungafatimah Gw gak kuliah kali del. Hahaha @laresolo jd rame yah, hahaRT @fadelgnrdi: @bungafatimah hahaha gw ada aja,lu sibuk kuliah yah?
  4. bunga fatimah bungafatimah @laresolo wah tentu tidak salah seduh om,sayakan handal..hehee ,orang rumah pd suka om, mantabh! Ohh ya bunga blm bk fb nnti sya app
  5. Egie Hendriawan eggiegoy I'm @Laresolo
  6. bunga fatimah bungafatimah @laresolo ..
  7. megawati iskandar megaaisk Jd ora? RT @bungafatimah: Pgn beli french fries mcd yg medium trus sambil nge teh di @laresolo beuh mantab!
  8. bunga fatimah bungafatimah Pgn beli french fries mcd yg medium trus sambil nge teh di @laresolo beuh mantab!

Friday, 1 October 2010

White Puerh

Mendengar kata teh Puerh, bagi yg pernah meminumnya, langsung terbayang konde
atau batu bata hitam, dengan aroma apek kayak karung goni.

Tidak banyak yg dapat menikmati puerh, karena aromanya yg kurang enak tadi.

Puerh adalah sebuah teh yang unik. Kalau teh lain kualitasnya akan menurun
sejalan dengan waktu, sebaliknya puerh tertentu, makin lama makin berkualitas
dan makin mahal harganya.

Salah satu keunikan dan menjadi ciri khas dari puerh adalah, walau diseduh
sebentar, warnanya akan menjadi pekat, tetapi tidak ada rasa pahit atau sepat.
Yang mengganggu cuma aromanya tadi. Keunikan lain adalah teh ini tahan seduh.
Artinya diseduh berkali-kali, kualitas rasa dan warna air tidak mengalami
perubahan yg significant.

Salah satu penikmat Puerh adalah sobat dan pelanggan kedai teh saya: Marchel.
Baik saya dan Marchel, diam2 sepakat, kalau sifat tahan seduh Puerh dikarenakan
proses agingnya. Dan akhirnya, kami juga sepakat, bahwa dugaan itu ternyata
keliru. Sifat tahan seduh Puerh merupakan DNA dari Puerh itu sendiri.
Kesimpulan itu kami ambil setelah kami berdua mencoba white Puerh.

Sesuai dengan namanya, teh ini berwarna putih, berbentuk lempengan bulet. Kalau
Puerh biasanya dibuat dari daun yg cukup tua, white puerh terbuat dari bud,
tepatnya tiga pucuk daun pertama yg masih kuncup. Ampas hasilnya seduhan,
bentuknya mirip lungching preming, sekalipun tiga daun, tetapi tetap muda,
bedanya ukurannya lebih besar.

Semula kami bimbang, menentukan treatment bagaimana yg mesti dilakukan untuk
menyeduh teh ini. Menimbang daunnya yg muda, akhirnya kami putuskan memakai suhu
80 derajat, lama seduh 25 detik.

Kami sempat tidak percaya, kalau yg kamu minum adalah puerh. Betapa tidak, aroma
flowery dan rasa fruity dari teh ini jauh dari karakter puerh yg kami kenal.
Aromanya mengingatkan saya pada wangi Lavemder. Hanya ketika dibandingkan dengan
Lavender kering, ternya berbeda. Entahlah, saya belum menemukan padanan yang pas
untuk aromanya. Seduhan kedua, ketiga berjalan lancar, dengan aroma dan rasa
yang tidak berubah.

Menjelang seduhan keempat, rupanya Marchel makin penasaran.
"Coba pakai air mendidih mas".
Hasilnya cukup mencengangkan. Ketika dituang air mendidih, flowery langsung
keluar. Rasa juga lebih kuat.
Tidak cukup sampai disitu, seduhan ke lima Marchel minta brewing timenya
dipanjangin menjadi 3 menit. Amazing, rasa dan aroma tetap bagus, tanpa ada rasa
pahit sedikitpun.

Seduhan keenam, kembali ke hitungan detik, rasa dan aroma tidak mengalami
penurunan yang signifikan.

Sampai seduhan ke tujuh, ternyata itu seduhan terakhir. Marchel bilang, sudah
cukup, sudah kembung, tidak perlu masak air lagi.

Karena masih penasaran, ampasnya saya bawa pulang ke rumah dan disimpan di
kulkas.

Ke esokan harinya saya seduh hingga empat kali rasa dan aroma masih cukup bagus.
Istri saya yang biasanya menganut madzab teh manis, cukup dapat menikmatinya.

Teh ini cukup worthed untuk dicoba. Materialnya yg terbuat dari pucuk daun teh,
menjamin kualitasnya. Hanya yang masih menjadi sisa pertanyaan, kualitas apakah
warna daun kering tetap putih, sejalan dengan waktu? Kualitas bakal naik atau
turun?
Saya belum mendapatkan informasi yang memadai untuk dishare. Sementara ini,
biarlah waktu yang menjawabnya.

White Puerh ini rencananya juga akan saya pamerkan di acara Bandung Tea Festival
tgl. 2-3 October. Mau nyicip? Sok Atuh ditungguan di Metro Indah Mall, jl.
Soekarno Hatta Bandung.

Thursday, 23 September 2010

Kedai Teh Laresolo di Wisata Seru dot com


Saya mengenal Yuyun secara tidak sengaja karena menemukan tulisan tentang teh di blog dia http://wisataseru.com
Tampaknya dia seorang pecinta teh juga, jadi saya undang dia untuk mampir ke kedai saya. Senang rasanya kalau dapat berbagai. Berikut liputan dia:

Teh, merupakan salah satu minuman terbaik yang direkomendasikan untuk anda konsumsi setiap hari. Karena secara singkat, teh memiliki kandungan alami bebas lemak, kalori dan sodium yang berkhasiat untuk menyegarkan sekaligus menenangkan otak, memperbaiki ingatan, mengurangi resiko kanker dan serangan virus, menurunkan kadar kolesterol, memperbaiki kesehatan gigi bahkan dalam survei kebiasaan minum teh dalam memperbaiki kualitas hubungan dengan orang lain. Maka tak heran jika alasan yang terakhir ini bahkan digunakan sebagai alur cerita dalam sebuah iklan produk teh di media elektronik.


Kedai Teh Laresolo

Mengingat jenis teh yang sangat beragam dengan rasa, aroma dan khasiat nya, tentu anda bingung kira kira jenis teh apa yang paling cocok untuk anda. Hm, daripada bingung, langsung saja kita menuju ke Kedai Teh Laresolo. Sebuah kedai sederhana yang terletak di tengah taman nan hijau dan teduh di kota Bogor Jawa Barat.

Mengapa saya ajak anda kemari? karena disini terdapat banyak sekali koleksi teh dari berbagai negara termasuk aneka teh Premium Indonesia yang di hunting sendiri oleh Pak Bambang pemilik Kedai Laresolo hingga ke pelosok kampung di Indonesia. Jadi, disini anda bisa menikmati aneka rasa teh sebelum anda benar benar memutuskan untuk ‘tahu’ selera teh anda adalah yang seperti apa

selanjutnya dapat anda baca di sini