Tuesday, 18 November 2008

The Way of Tea (3)

Sensei

Kelas Chanoyu di Japan Foundation adalah hasil kerja sama dengan Urasenke, salah satu aliran Chanoyu yang cukup terkenal di Jepang, yang memiliki cabang di beberapa negara.

Cabang urasenke di Indonesia bernama Urasenke Tankokai Indonesia Association (UTIA). Founder adalah ibu Sany Soendoro, sedangkan ketuanya adalah ibu Kumiko Pohan. Ibu Suwarni, pemiliki Siang Ming Tea house berlaku sebagai secretaris UTIA. Merekalah pengajar-pengajar utama kami, disamping pengajar lain seperti Ibu Sitanggang, Uchida San, Sugihara San, dan lain-lain.

Dalam setiap pelajaran, biasanya dibagi menjadi dua group. Saya lebih sering diajar oleh ibu Sanny, Ibu Sitanggang dan Uchida San. Sedangkan group lain diajar oleh Ibu Kumiko Pohan, ibu Suwarni dan pengajar lain secara bergantian.















Beberapa pengajar atau biasa kami memanggilnya sensei memiliki karakter yang berbeda-beda. Ibu Sanny orangnya lembut dan sangat sabar. Ibu Suwarni tegas, tetapi banyak sekali filosophy yang diajarkan oleh beliau. Uchida san, sangat santun dan rendah hati, khas wanita-wanita Jepang.

Tanpa bermaksud mengecilkan peranan sensei yang lainnya, saya memang sangat terkesan dengan Uchida San. Gerakan-gerakan ketika menyiapkan dan menyajikan teh sangat indah seperti halnya seorang penari, dan penuh presisi. Dan yang pailng mengesankan adalah kocokan tehnya. Dari beberapa kali mencoba minum teh, kocokan Uchida Sanlah yang paling lembut dan menawan.





Peralatan yang dibutuhkan dalam Usucha

Secara harafiah, Chanoyu artinya hot water for tea. Dalam pengertian luas, Chanoyu adalah serangkaian upacara untuk mempersiapkan, menyajikan dan minum teh.

Dalam penyajian ini, selain dibutuhkan peralatan khusus, juga keahlian khusus untuk menggunakannya

Dalam chanoyu ada dua macam, yaitu Usucha atau teh encer dan Koicha atau teh kenthal.

Perbedaan utama adalah selain dari jumlah penggunaan teh, dalam Koicha teh disajikan dalam satu chawan dan diminum bersama-sama secara bergantian. Sedangkan dalam Usucha, teh disajikan percawan.

Untuk penyajian Usucha, digunakan dua macam cara, yaitu menggunakan Ketel , dan menggunakan Hishaku (gayung) dan Kama semacam kuali tempat merebus air.























Tata caranya sedikit berbeda. Kami baru mempelajari Usucha dengan menggunakan Ketel..

Beberapa peralatan lain yang wajib digunakan adalah, Chawan (mangkok teh), Chasaku (sendok teh), Natsume (tempat bubuk teh), Matcha (teh hijau bubuk), Chasen (alat pengocok teh), Chakin (linen untuk membersihkan chawan), fukusa (sapu tangan untuk membersihkan peralatan teh), Daisu (nampan) dan Kensui (tempat pembuangan air kotor), dan tentu saja kompor untuk merebus air.

Beberapa peralatanan tambahan lainnya adalah Kobukusa (kain untuk tatakan chawan), Kaishi (semacam tisu), Tatami (tikar), dan masih banyak lagi peralatan lainnya.

Secara garis besar cara penyajian Usucha dengan ketel adalah kita siapkan Chawan, Natsume, Chakin dan Cashaku dalam sebuah nampan. Pertama-tama tuan rumah, dengan fukusa tergantung disamping obinya (semacam stagen untuk mengikat kimono, yang juga berfungsi sebagai ikat pinggang), akan mengantarkan kue untuk dimakan sebelum minum teh.. Setelah itu, Tuan rumah akan kembali ketempat awal sebelum naik tatami untuk mengambil nampan berisi peralatan untuk membuat teh, untuk diletakkan di dekat kompor.

Setelah itu, tuan rumah akan kembali ke belakang untuk mengambil kensui. Setelah itu Tuan rumah mengambil Fukusa, dan mulai membersihkan peralatan mulai dari Natsume dilanjutkan dengan membersihkan chasaku. Setelah itu Tuan rumah akan Chasen dengan air, dan dilanjutkan dengan membersihkan chasen dengan chakin.

Sambil memegang chasaku, tuan rumah akan mempersilahkan tamu untuk makan kuenya.

Setelah itu, tuan rumah akan mengambil Matcha dari natsume kira-kira 2,5 sendok, tuang air panas kemudian di kocok dengan chasen. Mengocok teh kelihatan mudah dan sederhana, tetapi ternyata membutuhkan tehnik khusus untuk dapat menghasilkan hasil kocokan yang halus dan lembut, dan tentu saja tidak mematahkan ujung dari Chasen.

Setelah mengocok sekitar 50 kali atau ketika dirasa hasil kocokannya sudah bagus, Tuan rumah memutar chawan dua kali, agar supaya gambar dalam chawan menghadap kepada tamu.

Kalau ada assisten, tugas asistenlah yang menyajikan teh tersebut kepada tamu. Kalau tidak ada asisten pihak tamu akan mengambil sendiri

Setelah selesai, tamu akan mengembalikan teh kepada tuan rumah, dan mulai dibersihkan.

Sudah barang tentu kesemua tata cara tersebut menggunakan gerakan-gerakan khusus yang khidmat dan terukur. Untuk dapat mengingat urut-urutan gerakan, membutuhkan latihan ektra dan memerlukan waktu yang tidak pendek.Bahkan untuk mencapai kesempurnaan, dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk melatihnya.

Sunday, 16 November 2008

The Way of Tea (2)


Pada awalnya, ketertarikan saya dengan Chanoyu hanyalah sebatas ingin ikut dalam Ceremonynya saja. Di dukung oleh minat teman-teman dari milist pecinta teh untuk dapat mengikuti acara ini, salah satunya adalah Frisca Saputra, saya direkomendasikan untuk menghubungi ibu Nurul Japan Foundation

Gayung bersambut. Atas usulan saya, Japan Foundation malah berniat membuka kelas Kursus Chanoyu. Kelas ini untuk umum, dan sudah barang tentunya tempatnya terbatas. Untuk hal itu, karena saya yang mengusulkan, saya mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan informasi lebih awal, tetapi prosedur pendaftaran tetap sama berlaku seperti umum, yaitu kita mesti datang sendiri dengan ketentuan siapa cepat dia dapat.

Benar saja, ketika saya datang 1 jam setelah jam pendaftaran dibuka, saya sudah mendapatkan nomor 10, dari 15 tempat yang tersedia.

Hari pertama pelajaran, kami melihat dulu demo yang dilakukan oleh Uchida San. Dan karena saya duduk di paling depan, saya mendapatkan kehormatan untuk menjadi tamu. Sungguh menyenangkan, tetapi sangat menyakitkan. Betapa tidak, karena sebagai tamu mau gak mau harus duduk secara formal ala Jepang, dan itu membuat kaki bukan hanya pegal dan kesemutan, tetapi benar-benar menjadi mati rasa.


Seiza sitting style

Pelajaran pertama Chanoyu adalah cara menghormat dan cara berjalan.Cara menghormat ada 3 macam, yaitu Sin, Gyo dan So. Masing-masing cara menghormat digunakan sesuai kondisinya. Dari ketika cara menghormat tersebut, Sin merupakan cara penghormatan tertinggi yang paling formal.

Setelah belajar cara menghormat, kami diajari cara berjalan, cara duduk dan cara bangkit dari duduk. Hal terberat, bahkan dari semua pelajaran Chanoyu adalah cara duduk.

Ketika dilakukan upacara minum teh, baik Tuan rumah maupun tamu harus duduk dengan Seiza style. Ini adalah cara duduk paling formal, yang memang digunakan dalam agama zen untuk meditasi. Kita duduk bertumpu pada dua kaki, posisi pantat di atas tumit kaki, dimana telapak kaki kanan diletakkan di atas telapak kaki kiri. Dengan duduk seperti ini, kita lebih mudah mengontrol pikiran dan konsentrasi.

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan cara duduk Seiza, cara duduk seperti ini sangat menyakitkan. Kaki bukan hanya kesemutan, tetapi menjadi mati rasa. Ketika mencoba bangkit, kaki amat susah digerakkan dan sakit sekali. Perlu latihan yang inten dan continue untuk dapat duduk dengan cara seiza. Bahkan tidak semua orang Jepang juga mampu duduk Seiza dalam waktu yang lama.

Saya sendiri melakukan latihan duduk seiza dengan cara mengaplikasikannya dalam ibadah agama saya, yaitu sholat, berdoa, membaca quran dan mendengarkan kutbah jumat.Mulai dari tahan 1 menit, 5 menit, ½ jam, hingga akhirnya saya bisa tahan duduk seiza hingga kutbah jumat selesai.Dan satu hal yang saya rasakan manfaat nyata dari duduk seiza ini, yaitu konsentrasi. Kalau biasanya saya duduk bersila, sementara Khotib berkotbah dengan penuh semangat, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi kepala saya untuk terkulai ke depan dan terbang ke alam mimpi maya Kesadaran baru tergugah ketika kotib membaca doa, atau bahkan ketika qomat sudah dikumandangkan.
Dengan duduk seiza, konsentrasi lebih terjaga, dan nyatanya saya bisa terjaga hingga kotbah usai.

Semula saya sempat khawatir, cara duduk seiza yang saya aplikasikan dalam ibadah saya ini melanggar aturan dan dikatakan bid’ah. Untuk memastikannya, saya berdiskusi dengan kakak saya, yang nota bene ilmu agamanya sudah cukup tinggi, sehingga dapat saya percaya untuk menjadi tempat bertanya.
Jawaban kakak saya membuat saya terkesima. Ternyata duduk seiza juga ada dalam ajaran agama islam. “Namanya iftiros”, begitu penjelasan kakak saya.
“Bahkan dalam suatu riwayat, diceritakan pada pernah pada waktu Nabi Muhammad menerima wahyu dari Jibril, mereka duduk berhadapan, duduk iftiros dan lutut saling menempel. Duduk iftiros juga dilakukan ketika kita duduk di antara dua sujud ketika sembahyang”, lanjutnya.”Saya sendiri, ketika berdoa juga lebih suka dengan duduk iftiros, daripada bersila. Lebih konsentrasi”

Alhamdulillah. Ternyata aplikasi latihan yang saya lakukan memberikan manfaat, bahkan menyadarkan saya dari beberapa kekeliruan. Seperti duduk di antara dua sujud, biasanya saya lakukan seperti halnya duduk tahiyat awal, padahal seharusnya duduk iftiros.

Photo-photo lengkap klik
Chanoyu Demo & Farewel
dan
Chanoyu: Ujian di Japan Foundation

The Way of Tea (1)


Sejarah Chanoyu

Chado atau the way of tea adalah suatu jalan atau cara memahami upacara minum teh dan segala estetikanya untuk dapat diaplikasikan dalam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Chado sering juga disebut sebagai Chanoyu.

Chanoyu sendiri, kalau diartikan secara harafiah artinya adalah air panas untuk teh. Tradisi ini berkembang seiring dengan sejarah panjang masuknya teh ke Jepang.

Sejarah perkembangan teh di Jepang tidak bisa dipisahkan dari peranan para biksu Jepang. Para biksu ini, sepulangnya mereka dari belajar agama Budha di China, mereka juga membawa bibit pohon teh berikut juga budayanya yang dikembangkan untuk keperluan meditasi agama zen dengan membawa adat istiadat Jepang.

Salah seorang Biksu yang dikenal sebagai pendiri Zen Budha Jepang adalah Myōan Eisei. Dialah yang telah membawa dan membudiyakan teh di Jepang, sekembalinya dari China pada tahun 1911. Kalau sebelumnya, teh dibudidayakan untuk pengobatan, Eisei membudidayakan untuk upacara keagamaan. Apakah Eisei budi daya teh ini dilakukan oleh Eisei sendiri memang masih menjadi perdebatan. Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa Eiseilah yang telah membawa budaya teh bubuk ke Jepang. Dia mengajarkan bagaimana cara menggiling teh menjadi bubuk yang halus,

Pada perkembangan berikutnya Chanoyu menjadi suatu kebiasaan dan kegemaran yang biasa dilakukan para Daimyo di Jepang. Acara minum teh juga menjadi acara tebak-tebakan tempat asal air, yang pada akhirnya berkembang menjadi sarana perjudian. Selain itu Chanoyu juga menjadi ajang pamer kekayaan, karena menggunakan peralatan yang mewah dan mahal yang didatangkan dari China dari dinasti Tang.

Kebiasaan ini ditentang oleh Murata Juko. Menurut dia, acara minum teh tidak boleh ada minuman keras dan perjudian. Acara minum haruslah menjadi ajang pertukaran pengalaman spiritual kedua belah pihak. Acara teh yang diperkenalkan oleh Juko akhirnya berkembang menjadi aliran Wabicha.

Wabi secara literal artinya kesunyian, dan ini disimpulkan dalam sebuah kesederhanaan dan keheningan. Oleh Takeno Shoo dan kemudian diteruskan oleh muridnya Sen No Rikyu, Wabicha makin berkembang dan populer di kalangan samurai. Wabicha berkembang menjadi upacara minum teh yang sederhana, tetapi penuh kekhidmatan dan filosofi yang tinggi. Beberapa peralatan dibuat dari bahan sederhana. Seperti sendok teh, pengocok teh, dibuat dari bambu.

Sen No Rikyulah yang meletakkan dasar-dasar filosofi Chado,yaitu Wa, Kei, Sei dan Jaku, yang artinya adalah Harmoni atau keselarasan, Penghormatan, Kemurnian dan Ketenangan. Dasar pijakan Chanoyu adalah keselarasan dengan alam. Rumah teh dan taman dibuat selaras dengan alam sekitarnya. Rumah teh bisa dibuat dari balok kayu berikut kulit kayu yang masih menempel, atau pilar kayu tanpa diserut dan dicat. Dinding dipoles dengan acian tanah liat. Untuk jalan-jalan setapak di taman menuju rumah teh digunakan batu-batu alam.

Kei atau penghormatan adalah dasar pijakan kedua. Dalam chanoyu, manusia tidak ada lagi kelas-kelas. Tidak ada perbedaan status sosial, agama, strata, karena semuanya adalah setara. Ketika mereka duduk dalam satu ruang teh, mereka harus saling menghormati. Tuan rumah menghormati tamunya, begitu juga sebaliknya, apapun status sosial dan perbedaan lainnya. Penghormatan juga ditunjukan terhadap keindahan karya seni manusia. Chawan-chawan yang sekalipun tampak sederhana, tetapi tampak begitu indah karena dibuat oleh seorang ahli tembikar sejati. Dalam buku Novel Musashi, Eiji Yoshikawa bahkan menggambarkan bahwa seorang ahli tembikar tak ubahnya seorang ahli pedang. Goresan kape di Chawan yang tergurat, sama dengan potongan bunga peoni yang dilakukan oleh seorang ahli pedang.

Sei adalah kemurnian yang muncul dari ketulusan hati. Kesungguhan tuan rumah dalam menyiapkan teh, adalah inti sari kemurnian dari Chanoyu. Tanpa ketulusan dan kesungguhan, mustahil tuan rumah mau melakukan suatu ritual yang begitu detail dan ribet Cuma sekedar menyiapkan semangkok teh.

Dan diantara kesemua dasar tersebut dilakukan dengan ketenangan dan sangat khusuk. Itu sebabnya dalam sebuah upacara, hampir dikatakan tidak ada suara sama sekali. Tak ada alunan musik, tak ada suara obrolan riuh rendah yang tidak perlu.Itu sebabnya dalam aliran wabicha, digunakan ruang teh yang kecil dengan jumlah tamu yang tidak terlalu banyak.

Sepeninggal Rikyu, ajarannya berkembang menjadi beberapa aliran. Sansenke adalah aliran yang dimulai oleh Shen No Soan , yang merupakan anak dari istri muda Rikyu dan diteruskan oleh garis keturunannya, hingga sekarang. Urasenke adalah sebuah nama sekolah dari Upacara minum teh Jepang. Ini merupakan aliran dari San Senke, salah seorang dua saudara keturunan Sasenke lainnya, Omotesenke dan Mushanokejisenke.

Dimulai dari Sen No Rikyu, generasi keturunannya sudah mencapai generasi ke 16, yaitu Genmoku Shositsu.

Urasenke selain di negara asalnya, juga berkembang di negara lain, termasuk Indonesia.

Pada awalnya, Urasenke di Indonesia bernama Urasenke Dookookai Indoneisia, yang didirikan pada tahun 1987. Pada tahun 1997, namanya berubah menjadi Urasenke Indoneisa Shibu, dan terakhir berubah menjadi Urasenke Tankokai Indonesia Association. Tujuan dari pendirian assosiasi ini adalah untuk memperkenalkan Chado menurut tradisi Urasenke kepada masyarakat luas di Indonesia, termasuk warga asing yang berdiam di Indonesia. Selain itu tujuan lain adalah untuk merintis pemakaian peralatan buatan Indonesia yang dapat mendukung seni tersebut, sehingga tercapai suatu keterpaduan yang baik kebudayaan Jepang dan Indonesia.

Salah satu contoh yang sudah dipraktekkan secara nyata adalah penggunaan batik sebagai bahan kimono wanita. Selain itu urasenke juga memperkenalkan tradisi Chanoyu ke kampus-kampus dan pesantren. Menurut ibu Suwarni, secretaris Urasenke Tankokai Indonesia Association, karena tujuan memperkenalkan chanoyu bukan sekedar budaya dan tata caranya, tetapi juga kandungan filosofi yang dibawanya, lebih mudah kalau diperkenalkan kepada pelajar.

Dalam kesempatan lain Urasenke juga diperkenalkan kepada masyarakat luas lewat beberapa demo di beberapa tempat, seperti di hotel Nikko bulan beberapa waktu yang lalu, bertepatan dengan ulang tahun Urasenke. Sungguh suatu kesempatan yang langka, karena saya bisa langsung menyaksikan Genshitsu Sen, Grand Master Urasenke generasi ke 15 menyajikan teh.



Photo lengkap klik Chanoyu di Hotel Nikko

Thursday, 9 October 2008

Mengungkap rahasia teh botol Sosro

Popularitas teh botol Sosro tentunya sudah tidak diragukan lagi. Bahkan beberapa pemain besar seperi Coca Cola masih tak berdaya dibuatnya. Distribusi Coca cola belum bisa menggeser pasar teh botol. Beberapa pemain yang mencoba memasuki pasar tersebut juga masih terengah-engah untuk mengejarnya. Teh Kita, sudah ada tidak kabar beritanya. Fresh tea masih mencari-cari jati diri.


Sebenarnya apa sih yang membuat teh botol ini begitu popular?

Dari beberapa sumber memang banyak yang mengatakan bahwa kekuatan Sosro ada pada sistem distribusi mereka. Dimana-mana dengan mudahnya dapat ditemukan teh botol sosro. Di kaki lima, di warung makan, warteg, nasi padang, restoran, hampir selalu tersedia teh botol. Hanya memang belakangan ini ada sedikit strategi monopoli dari pesaing, sehingga beberapa tempat di Mall atau warung makan hanya menjual teh merk tertentu. Walau sedikit menggoyahkan sistim distribusi teh botol sosro, tetapi tampaknya belum dapat menggoyang brand image dari teh botol.


Ya, memang selain dari kekuatan distribusi, brand image teh botol sudah terlanjur melekat kuat di benak konsumen. Beberapa slogan yang kreatif dan kuat tampaknya cukup berhasil meninggalkan citra yang kuat. Seperti slogan terbaru sekarang, apapun makannya minumnya teh botol sosro, Hari-hari teh botol, dsb.

Apakah dengan iklan dan promosi saja sudah cukup untuk menjaga loyalitas konsumennya?

Kekuatan lain dari teh botol adalah pada rasanya. Beberapa konsumen teh botol yang loyal selalu mengatakan rasa teh botol adalah yang terbaik. Wangi melati tidak terlalu kuat, kekenthalan dan rasa manis yang pas, adalah kombinasi terbaik yang dirasakan.


Beberapa pesaing dikatakan ada yang tehnya terlalu entheng, wangi melatinya seperti air rendaman melati.

Jadi tampaknya slogan Sosro ahlinya teh memang bukan sekedar omong kosong belaka.

Sebenarnya sudah lama saya pingin tahu lebih banyak bagaimana tentang teh Sosro. Ada beberapa isue dan pertanyaan yang mesti saya buktikan kebenarannya. Salah satunya adalah teh botol itu teh hijau atau teh hitam?

Beberapa teman berpendapat bahwa teh botol adalah teh hitam, atau paling tidak dicampur dengan teh hitam (untuk mendapatkan warna yang gelap). Pendapat ini didasarkan pada beberapa fakta yang mengatakan bahwa Sosro juga membeli teh dari beberapa perkebunanan teh Nusantara, yang nota bene kebanyakan produksinya adalah teh hitam.


Pucuk dicinta ulam tiba, begitu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keberuntungan saya. Beberapa waktu yang lalu, pak Budi HS, Marketing Manager dari PT. Gunung Slamat, mengundang saya untuk tea tasting di kantornya di bilangan Artha Gading, Jakarta. PT. Gunung Slamat adalah perusahaan yang memproduksi dan memasarkan teh kering dalam kemasan. Sedangkan PT. Sinar Sosro adalah sebagai beverage company yang hanya memproduksi teh dalam bentuk Liquid alias siap minum. Kebutuhan teh kering untuk memproduksi liquid tea dari PT. Sinar Sosro di supply dari PT. Gunung Slamat.


PT. Gunung Slamat memiliki perkebunan teh yang menghasilkan teh hitam dan teh hijau. Khusus untuk teh hitam, mereka juga membeli dari beberapa perkebunan lain di Indonesia.

Dalam kesempatan tea tasting tersebut saya diperkenalkan dengan bapak Ernest. Beliau adalah tea taster yang sangat berpengalaman. Beliau pernah bekerja di PT. Lipton di kawasan Nuwara Eliya, yang dikenal sebagai the campagne of Ceylon tea.


Menurut pak Ernest, teh hitam untuk digunakan untuk produksi Fruit Tea. Sedangkan untuk teh botol digunakan teh hijau wangi melati.Khusus untuk fruit tea liquid selalu digunakan grade BOP. Sedangkan grade dust dan fanning digunakan untuk produksi teh celup.

“Teh memerlukan 2/3 ruangan untuk mengembang”, demikian penjelasan pak Ernest. “Itu sebabnya, untuk teh celup hanya digunakan grade dust dan Fanning. Kalau digunakan grade BOP, membutuhkan kantong yang besar, dan tentunya tidak efiesien lagi kalau dijual dalam bentuk teh celup”


Khusus untuk teh kering hitam, digunakan grade broken mix. Teh ini dipasarkan dengan merk teh Poci.

Sedangkan untuk teh botol digunakan teh hijau wangi melati premium grade. Grade ini dihasilkan dari proses flavoring teh hijau grade pekoe super dengan melati gambir, atau melati dari gunung. Sedangkan teh hijau wangi melati grade dust digunakan untuk teh wangi melati celup.


“Inilah biangnya teh botol”, kata pak Budi sambil memberikan saya sample teh cap botol premium. Teh ini sebenarnya mirip dengan teh cap botol warna hijau dan biru yang biasa ditemukan dipasaran, bedanya teh ini hampir semua daun besar, dan sangat sedikit sekali terdapat tangkai daun. Wangi melatinya yang tidak terlalu tajam, mengingatkan saya pada aroma dragon pearl, chinese jasmine tea.


“Kami hanya mengambil aroma melatinya saja,” begitu penjelasan pak Budi.

“Bunga melati keringnya kami sisihkan.” Penjelasan pak Budi benar adanya. Meskipun teh cap botol premium ini beraroma lembut wangi melati, tetapi tidak tampak ada serpihan bunga melati di dalam tehnya.


Mengenai beberapa isue yang mengatakan teh botol Sosro dicampur dengan teh hitam, dari awal saya menduga bahwa kemungkinan itu kecil. Salah satu prosedur dalam melakukan tea blending adalah hanya mencampur teh yang sejenis. Jadi teh hitam hanya diblend dengan teh hitam, teh hijau dengan teh hijau.

Saya pernah mencoba mencampur teh putih dengan teh hitam untuk maksud mengambil aroma teh putih yang sangat wangi. Hasilnya saya mendapatkan rasa yang kacau balau.


Hal ini dibenarkan oleh pak Ernest. Jadi menurut beliau tidak mungkin mereka mencampur teh hitam dengan teh hijau. Menanggap isue tentang pembelian teh hitam dari perkebunan nusantara dikatakan bahwa hal tersebut untuk keperluan produksi fruit tea dan teh hitam celup.


Selesai tea tasting, saya mendapatkan bingkisan satu set teh poci dan teh wangi melati cap botol grade premium (khusus teh ini akan saya review dalam tulisan tersendiri).


“Nanti dilain kesempatan saya undang bapak ke Slawi. Disana tea tasting teh wangi melati beda dari tea tasting pada umumnya”, pak Budi memberikan penawaran yang tentu saja saya akan dengan senang hati menerimanya.



Photo-photo lain dapat dilihat di

http://laresolo.multiply.com/photos/album/92/Tea_Tasting_di_kantor_Gunung_Slamat

Friday, 30 May 2008

Pertanyaan dari pendengar Delta FM

Sewaktu siaran bersama mbak Ida Arimurti beberapa waktu yang lalu, ada beberapa SMS dari pendengar Delta FM yang tentu saja tidak bisa dijawab semuanya karena keterbatasan waktu. Saya sudah janji ke mbak Ida untuk menjawab di Blog saya. Berikut beberapa pertanyaan tersebut:

Photo diambil dari Photo album Facebooknya mbak Ida Arimurti.











Anonym:
Kalo saya suka teh putih yg dr
bandung, di rumah ada satu tuh

Jawab:
Ini maksudnya teh beneran apa si Teteh yang putih? .. ;-)

Teh Putih produksi Indonesia saya dengar memang dihasilkan dari kebun teh di Bandung. Teh ini di produksi oleh PT. Sariwangi (Bukan merk teh celup ya, itu khan produksi eh packaging Unilever). Di pasarkan dengan merk Ashley. Pelanggannya adah Estee Lauder. Apakah bisa di beli di Bandung? Nitip atuh....


Bambang Cinere:
klo mau bikin es teh tawar yg enak gimana ya? Pakai teh apa?

Jawab:
Mas Bambang, es Teh dikembangkan dan di populerkan di Amerika, dan kebanyakan mereka peminum teh hitam. Apakah teh hijau tidak cocok? Ini masalah selera, tetapi teh hitam adalah teh yang lebih banyak improvisasinya. Dia bisa dicampur dengan apa saja.

Jadi menurut saya yang paling cocok tentunya teh hitam, dan pasti harus yang berkualitas ya. Anda bisa coba Walini BOP atau Walini Orthodox, bisa coba teh Tambi. Untuk sedikit variasi rasa, coba infus es teh anda dengan sepotong Serai yang ujungnya telah digeprek. Hmm.....


Santi, Depok : minum teh hijau lebih baik sebelum atau sesudah makan ?

Jawab:
Apapun jenis tehnya sebaiknya tidak diminum dalam keadaan perut kosong. Kandungan kafein yang ada di teh, dapat memberikan reaksi tidak nyaman di perut kalau diminum dalam kedaaan perut kosong. Tetapi juga tidak baik diminum sehabis makanan utama, karena sifatnya yang menghambat penyerapan zat besi.


Fitri Depok:
Mbak ida, sy bingung apa maksudnya seduh teh 5 mnt, apa lgs d mnm? Sy selalu nyeduh teh, trus stlh dngn br d minum, dr fitri d depok, tks

Jawab:
Dear Fitri, teh enaknya diminum dalam keadaan hangat, kecuali es teh tentunya. Maksudnya menyeduh maksimal
lima menit adalah ampasnya atau kantong celup teh harus diangkat dari cangkir. Lebih dari 5 menit, akan keluar zat tannin lebih banyak sehingga menyebabkan rasa teh lebih pahit. Apalagi khusus untuk teh celup, kandungan klorin dalam kantong teh akan keluar lebih banyak kalau diseduh terlalu lama.


Lisna: sy mau tnya mana yg lbh baik teh htam ato teh hijau ?apa teh baik utk pndrita maag?tks

Jawab:
Apa ukuran baik atau tidak baiknya? Kalau untuk manfaat kesehatan sebenarnya hampir sama hanya saja teh hijau kandungan katekinnya lebih banyak. Jadi bedanya Cuma misalnya dengan 4 cangkir teh hijau sudah cukup banyak mendapatkan manfaat katekin teh, kalau teh hitam mungkin butuh 8 cangkir misalnya.

Kandungan Kafein dalam teh, terkadang memang sedikit mengganggu lambung. Kalau memang sedang kambuh magnya usahakan minum teh lebih encer, atau mungkin teh putih yang kandungan kafeinnya lebih rendah.


A.Soebandrio 55 Jakarta: Setelah 5 menit diseduh, ampas yg sdh dipisahkan apakah boleh diseduh ulang?

Jawab:
Untuk teh hijau bisa diseduh hingga 3 kali (tergantung kualitas tehnya). Seduhan pertama 3 menit, kedua 4 menit, ketiga 5 menit. Kalau teh hitam, karena seduhan pertama memerlukan waktu 5 menit (supaya aroma keluar semua), seduhan kedua biasanya sudah kurang enak.


Meru: aku ingin tau d mana bs mncari teh putih.krn aku br mnemukan teh putih ini saat expo teh d bdg.trus terang aku ketagihan sm teh putih ini.

Jawab:
Di Tea Gallery Kelapa Gading mungkin bisa anda dapatkan. Tetapi kalau produksi
Indonesia mungkin tidak terlalu banyak, stoknya sering kosong.


Dody : apa betul air teh basi bisa jadi obat? Malah ada yg bilang bisa buat gedein alat vital lk2 kalo direndem teh basi tiap pg.

Jawab:

Khasiat utama dari teh adalah terletak pada kandungan poliphenol di dalamnya. Polyphenol ini memiliki banyak turunan, mulai dari Flavonol, Flavonid, Katekin, dsb. Sifat dari Katekin ini adalah sangat rentan dengan apa yang dinamakan udara. Makin lama bersinggungan dengan udara, dia akan terokidasi. Apalagi kalau teh sudah menjadi basi, selain tentunya sudah mengandung microba, saya ragu kalau kandungan katekin masih seperti sediakala.

Apakah mampu untuk membesarkan alat vital? Wah, kebanyakan orang malah mempercayai khasiat teh untuk menurunkan berat badan alias mengurangi lemak. Hati-hati, bukannya bertambah besar jangan-jangan malah jadi menyusut ... ;-)


IIN: Mlm delta, sya pndgr stia..Sklgs pnggmr teh trutma teh daun mlhn skrgpun smbl minum teh..Bhkn shri bs 2-3 gls..Kra2 ada efknya ga ya mas?

Jawab:
Minum teh idealnya 3-4 cangkir perhari untuk mendapatkan khasiat dari teh. Bagaimana kalau lebih dari itu?
Teh sifatnya individual. Masing-masing orang bisa memiliki efek yang berbeda. Secara normal, tubuh kita sendiri yang akan memberikan alarm kapan kita berhenti minum teh. Kalau perut terasa sudah mulai tidak nyaman (karena kandungan kafeinnya), sebaiknya stop dulu. Banyak-banyak minum air putih untuk menetralisir efek dari kafein itu sendiri. Tentu saja ini berlaku bagi orang normal, kecuali penderita ginjal, wanita hamil, anak-anak dan penderita anemia.


Chandra: 39th karawaci apa wadah untk menyeduh teh berpengaruh dgn rasa? Apa wadah yg paling baik? Thks

Jawab:
Wadah, alat atau tempat menyeduh teh tergantung dari jenis teh yang digunakan. Teh hitam karena memerlukan suhu yang panas, dapat menggunakan teko yang terbuat dari gelas, tanah liat atau logam. Teh Oolong paling bagus menggunakan teko dari tanah liat. Tetapi karena sifat tanah liat yang menyerap dari rasa, penggunaan teko tanah liat disarankan hanya untuk satu jenis teh saja. Itu sebabnya penggemar teh sejati, juga kolekter teko.

Teko tanah liat tidak boleh dicuci dengan sabun. Cukup di bilas dengan air panas.

Sedangkan untuk teh hijau, karena membutuhkan suhu yang tidak terlalu panas, sebaiknya digunakan teko terbuat dari keramik. Seperti kita ketahui, keramik adalah penghantar panas yang buruk. Dengan sifat seperti itu, teko ini paling baik untuk menyeduh teh hijau.


Ada pertanyaan lain? Silahkan ajukan lewat email

Sunday, 25 May 2008

Kuding Cha, teh apa sih?

Diskusi mengenai teh hijau di milist jalan sutra, berujung pada disinggungnya tentang Kuding Cha. Sebenarnya sudah lama pingin nulis tentang teh ini, dan tampaknya ini moment yang tepat untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Pertama mengenal teh ini, adalah dari blognya mas Arie Parikesit, dimana dalam album photo tersebut tampak gambar sebuah lintingan daun panjang. Karena pada waktu itu saya masih cukup awam tentang teh, apalagi teh china, pertanyaan comment saya di blog tersebut Cuma sebuah pertanyaan, “Ini teh bener atau bukan mas?”

Kalau beberapa tulisan sebelum saya pernah menuliskan jenis teh berdasarkan proses produksinya, perlu saya jelaskan lagi, bahwa teh juga bisa digolongkan berdasarkan bahan bakunya. Teh yang biasa kita kenal adalah berasal dari Camelia Sinensis. Sedangkan teh yang bukan dari jenis pohon tersebut digolongkan sebagai Tisane atau Herbal tea.

Pada waktu saya mendapatkan kesempatan belajar Gong Fu cha di Siang Ming tea house bersama-sama mbakElisa, disana juga diperlihatakan Kuding Tea, hanya sayangnya tidak sempat dicicipi. Dan atas dasar rasa penasaran, akhirnya saya beli Ku Ding tea dari Tea Galery.

Pada waktu kopdar milist pecinta teh di Gunung Mas, saya juga sempat bawakan Kuding Cha untuk di cicip bersama-sama. Menurut pak Dudhie, dari Gunung Mas, berdasarkan bentuk daunya, mestinya masih satu family dengan Camelia Sinensis.

Apakah benar seperti itu? Berikut beberapa informasi hasil perburuan saya di kebunnya paman Google.

Kuding Cha, dikenal sebagai Chinese Tisane, artinya dia bukan dari pohon Camelia Sinensis. Ku dalam bahasa china artinya pahit. Ding, adalah sebuah character huruf china yang berbentuk menyerupai paku. Dalam bahasa Inggris, Kuding cha disebut sebagai bitter spike atau paku pahit.

Agak sedikit membingungkan mengenai daun dari jenis pohon apa yang dipakai ini. Ada dua jenis pohon yang memiliki karakter yang sama, bentuk daun yang sama, tetapi sebenarnya merupakan 2 species yang berbeda. Yang pertama adalah dari pohon Holly (species Ilex), yang kedua adalah pohon Wax (species Ligustrum). Sekitar 90% Kuding Cha di China menggunakan daun dari Ilex, kecuali di provinsi Sichuan dan sebagian di Jepang digunakan daun Wax.

Jenis pohon ilex banyak tumbuh di Provinsi Guangxi, di China bagian barat Daya. Seperti halnya pohon teh Camelia Sinensis, pohon ini kalau dibiarkan akan tumbuh tinggi hingga mencapai puluhan meter. Di daerah ini pernah ditemukan sebuah pohon Ilex yang memiliki ketinggian sekitar 30 meter.

Photo disamping yang saya ambil dari website Imtonline Article "KU DING CHA" menunjukkan betapa tingginya pohon tersebut (http://www.imtonline.org/arts/kudingcha.htm)

Kudingcha banyak digunakan sebagai minuman obat kepala dan mata. Teh ini dipercaya dapat mengatasi penyakit seperti masuk angin, flu, Rhinitis, gatal mata dan sakit kepala.

Dalam penelitian modern, teh ini dapat membantu peredaran darah, menurunkan tekanan darah, dan menurunkan kadar kholesterol. Teh ini juga dipercaya dapat memperbaiki fungsi hati dan otak. Teh ini juga dipercaya dapat memelihara berat badan untuk selalu dalam kondisi ideal.

Teh ini kebanyakan berbentuk seperti paku runcing, tetapi ada juga yang berbentuk gulungan. Untuk sekitar 500 ml air, cukup satu linting teh yang digunakan, karena rasanya sangat pahit. Gunakan air mendidih 100 derajat, seperti halnya untuk menyeduh teh hitam. Air seduhan secara perlahan akan berubah warna menjaid kehijauan, mirip-mirip hijau lumut, tetapi masih bening. Daun teh yang awalnya Cuma satu linting, perlahan-lahan akan mekar menjadi tiga pucuk daun. Pada saat daun sudah mekar seperti ini, angkat dan pisahkan daun dari air.

Rasa teh ini terasa pahit dari ujung hingga pangkal lidah, tetapi memiliki after taste semburat manis. Bagi yang tidak terbiasa minum teh pahit, mungkin akan kurang menyukai teh ini.

Sunday, 18 May 2008

GULLALIO TEAPUCINO


Minuman ini sebenarnya terinpirasi dari salah satu menu minuman di Starbuck Cafe. Saya tidak ingat namanya, tetap isinya kurang lebih Decafeine Coffee, Foam Susu dan Karamel. Pada waktu itu saya langsung terpikir, mestinya teh juga bisa dibuat seperti ini.

Kebetulan, beberapa waktu yang lalu, dimilist jalan sutra sedang ramai diskusi mengenai teh tarik. Isinya kurang lebih bagaimana membuat teh tarik yang mantap, dan bagaimana mendapatkan foam susu yang banyak.

Entah bagaimana penjelasan kimiawinya, yang jelas komponen susu memang mudah menjadi busa ketika terjadi gerakan. Ketika dituang ke wadah lain, langsung terbentuk busa susu. Makin sering dipindah tuang, dengan tehnik tarikan yang yahut, tentunya akan menghasilkan busa susu yang makin banyak. Beberapa orang mempercayai bahwa ketika proses tarik menarik dan susu bersinggungan dengan udara, akan membuat rasa teh tarik lebih enak. Benarkah? Walauhuallam.

Menurut pengalamanan saya, yang membuat terasa beda ya busa susunya tadi. Ini saya rasakan ketika teh hanya sekedar dicampur susu dan di aduk saja, hampir tidak menghasilkan busa akan terasa bedanya dengan susu yang busanya lebih banyak. Efek di lidah terasa berbeda, karena ketika busa susu diseruput, terasa lembut, baru setelah itu terasa tarikan teh susunya. Sedangkan kalau Cuma sekedar di aduk, yang langsung terasa adalah teh susunya.

Bagaimana caranya menghasilkan busa susu yang banyak?

Kalau di cafe-cafe sudah barang tentu ada alat tersendiri untuk membuat busa susu. Sewaktu bekerja di salah satu restoran Itali, saya pernah melihat coffe maker, dimana ada alat pembuat foam susu. Ada semacam pipa kecil yang menghasilkan uap panas. Caranya adalah dengan menyemprotkan uap panas tekanan tinggi ke cangkir susu. Karena tekanan tinggi ini, menurut saya terjadi gerakan susu yang lebih cepat, sehingga busa susu yang dihasilkan lebih banyak.

Dengan analogi yang sama, semestinya busa susu bisa didapatkan dengan hasil mengocok susu, baik dengan shaker, mixer atau blender. Kali ini saya gunakan alternatif terakhir untuk mendapatkan busa susu. Kebetulan pagi itu, saya cuma berduaan saja dengan keponakan saya, Sandi yang berusia 9 tahun. Cocok rasanya membuat minuman baru untuk kami nikmati berdua.

Teh yang saya gunakan, adalah teh hitam Tambi. Karena kebetulan Stock BOP sudah habis, saya gunakan stock yang tersisa yaitu Pekoe Souchong. Grade ini aromanya lebih light dibanding grade BOP. Saya seduh teh hitam dengan waktu 5 menit, setelah itu baru saya campurkan susu kental, baru diaduk biasa. Takaran susu, tentunya disesuaikan selera. Kalau suka manis, susunya bisa ditambahkan lebih banyak, tetapi resikonya aroma tehnya mungkin tidak terlalu menonjol karena kalah sama manisnya susu.

Setelah mendapatkan rasa manis yang diinginkan, baru teh susu dimasukkan ke dalam Blender, kocok beberapa saat sampai didapat busa susu yang diinginkan.

Setelah selesai baru tuang teh ke dalam cangkir perlahan-lahan, agar busa susunya tertinggal, sehingga menjadi paling akhir dituang. Hopla! Selesai sudah teapucinonya. Busa susunya cukup banyak, jauh lebih banyak kalau dibandingkan dengan cara ditarik-tarik. Nah, untuk pemanis tinggal buat karamelnya.

Terus terang saya belum berpengalaman membuat karamel. Pertama kali, karamelnya gosong, karena apinya terlalu besar. Untuk kali ini saya lebih berhati-hati. Saya tuangkan dua sendok teh gula ke dalam penggorengan teflon, gunakan api kecil, dan jaga jarak antara penggorengan dan api. Perlahan-lahan gula mulai mencair, dan disaat gula sudah mencair 100 persen, saya tuangkan perlahan diatas busa susu dan dibentuk melingkar supaya lebih cantik penampilannya. Hup!, penampilan sudah cukup cantik. Langsung saya sodorkan ke ponakan saya untuk mencobanya.

“Kok pakai Gulali om?”, itu reaksi pertama ponakan saya ketika menerima cangkir teh dari saya.

Gulali? Saya coba seruput cangkir saya, dan karamel cair tadi sekarang sudah mengeras menjadi gulali. Ya, benar kata ponakan saya, ini memang gulali. Sebuah kecelakaan yang menyenangkan, karena ketika dikunyah, rasanya garing manis, aroma karamel. Jadi gulali ini dapat sebagai pengganti granulo atau choko cip yang biasa ditaburkan di atas Capucino. Itu sebabnya teh ini saya beri nama Gullalio Teapucino alias Teh ala Capucino plus gulali. Pagi yang cukup menyenangkan.

Sore harinya, kami masih berduaan saja. Istri saya dan mamanya Sandi masih sibuk ngider di SKI, Tajur.
“Om Bambang, bikin teh kayak tadi pagi lagi yuk!” Ih..... Doyan!

Sunday, 11 May 2008

Gyokuro: Lembut dan menawan

Sewaktu siaran bersama Ida Arimurti di Delta FM hari Rabu, tgl 6 Mei lalu, saya juga berkesempatan ngobrol secara on air dengan mbak Ratna Soemantri, salah seorang penggemar teh, yang kebetulan juga mentor saya. Banyak sekali ilmu teh yang saya serap dari beliau.

Seperti biasa, suara mbak Ratna yang renyah dan luwes langsung terdengar di udara:
“Selamat malam mbak Ratna”, sapa kami bersama-sama.
“Selamat malam juga. Disana sedang hujan gak? Disini hujan lho, dan hujan gini enaknya ngeteh,” wah sebuah pancingan yang menggoda.
“Sedang ngeteh apa mbak Ratna?”, tanya saya.
“Saya sedang menyeduh teh Gyokuro,”
“Apa itu Gyokuro,” Ida Arimurti langsung memalingkan kepalanya kepada saya.
“Mbak Ratna bisa menjelaskan kepada pendengar semua”, jawab saya.

Sebenarnya penjelasannya mbak Ratna tidak off record, tetapi dari pada terjadi pengulangan, saya akan tuliskan belakangan. Obrolan tersebut diakhiri dengan perkataan mbak Ratna:
“Nanti saya akan kirim ke Gyokuronya ke mbak Ida dan pak Bambang”.


Selesai siaran HP saya langsung berbunyi, dan terbaca SMS dari mbak Ratna berbunyi demikian:
”Tolong kasih alamat Delta FM dan juga alamat pak Bambang Saya akan kirim Gyokuronya”.


Wah tentu ini sebuah surprise bagi saya, karena terus terang saya juga belum pernah mencoba Gyokuro. Harganya yang sangat mahal, tentu membuat saya masih selalu punya alasan untuk menunda membelinya. Bayangkan saja, dengan harga teh mencapai 10 juta per kg, siapa tidak keder dibuatnya. Dan kali ini ada orang begitu baik itu memberi saya kesempatan untuk mencobanya.

Teh hijau Jepang memang unik. Dari bibit yang, beda proses penanaman, beda waktu petik akan mendapatkan grade dan nama yang berbeda. Pola penanaman tanpa diberi penaungan, dan dipetik pada musim semi akan menghasilkan Sencha. Sedangkan pemetikan musim panas dan musim gugur akan menghasilkan Bancha. Kemudian roasting rice dicampur dengan Bancha akan menghasilkan Genmaicha (Kalau Genmaicha kualitas bagus, digunakan Sencha). Kalau yang digunakan tangkai daun teh dinamakan Kukicha.

Matcha, menurut salah satu sumber dari Internet dikatakan terbuat dari Gyokuro yang dibuat bubuk. Tetapi, menurut mbak Ratna, Matcha dibuat dari Tencha, hampir mirip dengan proses penananaman Gyokuro, tetapi digunakan daun yang lebih besar. Matcha adalah jenis teh yang selalu dipergunakan dalam Chanoyu, yaitu upacara minum teh bangsa Jepang.

Gyokuro adalah best of the best teh hijau Jepang. Proses cultivasi yang rumit membuat teh ini harganya sangat mahal. Teh ini diproduksi dengan pola tanaman diberi penaungan hampir 100% gelap selama tiga minggu sebelum masa petik. Diatas kebun, diberi penutup, sehingga daun teh terlindung dari sinar matahari. Dengan pola ini, kadar chlorophyl akan meningkat, tetapi kadar tannin menurun tajam. Itu sebabnya warna daun teh Gyokuro akan berwarna hijau zamrud, dan tampak sedikit berkilauan. Sekalipun aroma cukup kuat namun rasanya cukup lembut.


(Photo diambil dari http://www.maiko.ne.jp/english/images/gyokuro-en.jpg)

Bisa dibayangkan betapa senang dan surprisenya saya mendapatkan teh kualitas premimum seperti ini. Surprise kedua, teh saya terima lebih cepat dari saya duga.

Surprise ketiga, selain Gyokuro saya juga mendapatkan beberapa sample teh lainnya, seperti Sencha hasil panenan ke 88 musim semi. Satu bungkus sample Yinzhen Organic (White Tea), dari Zhejiang, dan satu bungkus Genmaicha, yang terbuat dari Sencha, Kukicha dan Roasting rice.

Untuk mendapatkan perbandingan, saya coba seduh Gyokuro dan Sencha berbarengan. Dari penampilan fisik daun teh kering, Gyokuro sudah tampak sangat menawan. Warna Hijau zamrud berkilauan dengan aroma wangi lembut. Sedangkan Sencha warnanya lebih muda dan pucat.

Menurut saran dari mbak Ratna, Gyokuro cukup diseduh 2 menit dengan suhu air 70º. Sencha saya seduh sekitar 3 menit. Sebenarnya cara seduh yang benar Gyokuro melalui beberapa step yang tidak sederhana, tetapi karena tidak sabar saya sederhanakan dengan cara seduh ala china.

Warna seduhan dari Gyokuro berwarna hijau bening, sedangkan Sencha jauh lebih pekat. Aromanya wangi dan ketika diminum, terasa smooth, sangat lembut di tenggorokan. Rasanya tenggorakan saya dibelai oleh sutra halus. Lembut sekali, tetapi aormanya Sehalus kulit lembut Zang Zhiyi ketika memerankan Sayuri dalam the memoar of Geisha. Afternya sangat manis sekali. Tidak sedikitpun terasa jejak pahit seperti biasanya terjadi pada teh-teh hijau Jepang. It’s very delicate. Pikiran terasa melayang, seakan sedang mendengarkan Sayuri memainkan Shamisennya.





Sedangkan untuk Sencha aroma dan rasa jauh lebih garang, dan meninggalkan jejak rasa pahit. After manis masih terasa, tetapi kalah jauh kalau dibandingkan dengan Gyokuro. Minum Sencha seolah sedang merindukan cinta Hatsumomo, salah satu saingan Sayuri dalam Memoar od Geisha. Menawan namun terasa lebih garang. Menawan namun mudah untuk dilupakan. Berbeda dengan Gyokuro, dimana kenangan bersamanya akan terpatri secara abadi. Ingin rasanya tetap bersama-sama menikmati kebersamaan dengan Gyokuro, tetapi ... Luaarange iku lho rek!

Wednesday, 9 April 2008

Antara Yabukita dan Assamica


“Emang teh hijau yang gimana sih pak? Apakah tehnya masih berupa daun seger hijau gitu?”, Pertanyaan salah seorang pembaca blog saya via email mengundang senyum simpul saya. Bukan, saya bukan sedang mentertawakan ketidak tahuan dia, bukan itu maksud saya. Sebaliknya saya malah sedang mentertawakan diri sendiri, karena dulu saya juga berpikiran seperti itu. Teh hijau dalam benak saya adalah daun segar, langsung direbus, dan airnya disajikan seperti halnya teh biasa.

Ternyata saya tidak sendirian. Dan perkembangan berikutnya pengetahuan tentang teh saya, melewati beberapa tahapan, yang terkadang salah kaprah.

Pertama, saya mengira teh wangi melati itu adalah teh hitam, karena warna daun tehnya memang hitam. Dan ternyata saya tidak sendirian lagi, malah lebih banyak temannya. Padahal, faktanya teh wangi melati adalah teh hijau, karena memang proses produksinya melalui tahapan seperti halnya produksi teh hijau. Kedua, saya pernah mengira kalau Oolong adalah sebuah merk teh dari China. Dulu, setiap makan dirumah makan china, dengan pongah dan sok gaya saya selalu bertanya kepada Waitress, “Chinese teanya merk Oolong bukan?” Haiya.. Pada akhirnya ketika tahu kalau Oolong adalah salah satu jenis teh berdasarkan proses produksi, saya jadi malu hati. Penyakit orang bodoh memang selalu berlagak sok tahu dan sok pintar.

Ketiga, saya pernah mengira kalau Peko adalah sebuah merk teh hijau. Padahal, Peko atau sering ditulis sebagai Pekoe adalah pucuk daun teh yang selalu menandakan kualitas bahan teh yang dipakai.

Keempat, semakin dalam saya mempelajari teh, semakin saya menyadari bahwa ilmu tentang teh, luasnya jauh dari total kebun teh diseluruh dunia.

Okay, sebelum ngelantur terlalu jauh sampai ke kebun kopi ..;-), cerita saya arahkan kembali kepada si teh hijau.

Teh ini memang sedang naik daun. Teh hijau adalah salah jenis teh dimana pada proses produksinya tidak mengalami fermentasi. Sering kali saya ditanya, emang teh mengalami fermentasi? Katalisnya apa?

Memang istilah fermentasi dalam teh agak sedikit menyesatkan. Padahal yang terjadi adalah proses oksidasi. Kalau dalam bahasanya orang kimia kira-kira akan di definisikan seperti ini: reaksi oksidasi senyawa Polyphenol yang ada di dalam daun teh oleh enzim polyphenol oksidase yang dibantu oleh oksigen dari udara. Artinya, dalam teh hijau, enzim polyphenol tidak mengalami oksidasi, berarti kandungan polyphenolnya jauh lebih tinggi dibanding dengan teh hitam. Untuk menghentikan proses oksidasi, daun teh yang telah dilayukan langsung dipanaskan.

“Dipanaskan dengan apa? Lho-lho ini dimana? Di Jepang atau di China?”

Ya, proses penghentian oksidasi memang ada dua macam. Kalau di China dilakukan dengan pan frying. Beberapa home industri langsung digoreng kering (di gongso) begitu saja di atas wajan. Malahan untuk jenis teh Long Jing, teh digoreng dengan tangan kosong biasa.

Dalam produksi skala besar, bisa dilakuan dengan pan Frying, yaitu daun teh dilewatkan dibawah cylinder panas.

Sedangkan untuk teh hijau jepang, proses penghentian oksidasi dilakukan dengan cara steaming.

“Apakah teh jepang dan china sama dengan teh Indonesia?”

Pada awalnya memang sama. Menurut sejarah teh Indonesia, yang pertama kali dibudidayakan di Indonesia adalah teh China, karena teh china dianggap sebagai teh hitam. Dan memang pasar yang dituju adalah pasar Eropa, dimana mereka lebih menyukai teh hitam. Sedangkan teh Jepang dianggap sebagai teh hijau.

Baru pada tahun 1845, seorang ahli botani dari Inggris yang bernama Robert Fortune, menyimpulkan bahwa teh hijau atau hitam, bukan berdasarkan bibit pohon teh yang ditanam, melainkan dari proses produksinya. Jadi apapun jenis bibitnya, bisa digunakan sebagai teh hijau atau Jepang.

“Emang ada berapa jenis bibit pohon teh”

Secara garis besar bibit pohon teh dihasilkan dari Camelia Sinensis. Ada dua Varians yang dikenal, yaitu varians Sinensis dan Assamica. Ada juga yang mengatakan di Myanmar ada satu varian lagi yaitu Varians arrawadimis.

Pada tahun 1872, pemerintah belanda secara berangsunr menggantikan bibit pohon teh china yang di tanam di Indonesia (Varian Sinensis), dengan varians Assamica yang didatangkan dari Srilangka. Varians ini jauh lebih disukai di pasar Eropa. Dan semenjak itu hampir seluruh teh di Indonesia adalah varians Assamica.

Seiring dengan meningkatnya trend teh hijau, beberapa perusahaan teh mencoba menanam varians sinensis dengan klon Yabukita untuk tujuan pasar Belanda. Contoh perusahaan teh yang melakukan hal ini adalah Malino (pertama kali menggunakan bendera Nittoh Malino), yang melakukan cultivasi di daerah Malino, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. PTPN VIII juga melakukan hal sama dengan melakukan cultivasi di daerah Cisaruni Tasikmalaya. Di pasaran lokal, teh hijau PTPN VIII dipasarkan dengan merk Teh hijau Walini.

Untuk saat ini, teh hijau Malino masih mendapatkan peringkat pertama untuk jajaran teh hijau Indonesia di lidah saya. Sebagian teh hijau Indonesia lainnya yang saya coba memiliki kelemahan di rasa getir atau sepet yang sangat. Rasa sepet yang khas dari teh hitam dengan varians Assamica.

Semula saya mengira rasa getir ini dikarenakan dari kualitas daun yang digunakan. Ketika saya mencoba sample teh hijau premium dari Tongtjie (begitu yang dikatakan oleh penjualnya) dengan harga 55 ribu/100 gram, yang merupakan teh hijau Indonesia yang cukup mahal yang pernah saya beli, rasa getir tersebut tetaplah ada. Rasa getir ini yang tidak saya dapatkan di teh hijau Malino.

Pada kesempatan lain, saya juga mendapatkan sample teh dari Cisaruni. Untuk mendapatkan perbandingan, langsung saya coba taste berbarengan dengan teh hijau Malino.

Secara kualitas ukuran daun kering, teh hijau Malino jauh lebih unggul, karena masih berbentuk daun lurus panjang, dengan warna hijau tua, khas dari teh sencha Jepang. Sedangkan teh hijau Cisaruni, ukuran daunnya lebih kecil. Warna daun teh kering berwarna kecoklatan.

Ketika diseduh, air seduhan Cisaruni berwarna kuning kecoklat, sedangkan teh hijau Malino berwarna hijau bening. Aroma daun teh kering Cisaruni beraroma khas teh hijau jepang, yaitu aroma rumput laut, walau tidak terlalu nyata. Tetapi ketika diseduh aroma itu tidak terasa lagi. Rasanya cenderung pahit dan getir.


Teh hijau Malino baik daun kering maupun seduhan masih di dapat aroma rumput laut. Purna rasa yang manis, dan sama sekali tidak ada rasa getir seperti yang terdapat di teh Cisaruni.

Lho kenapa kalau sama-sama klon Yabukita kok rasanya jauh beda?

Rasa getir pada teh hijau Cisaruni, mengingatkan saya pada getir rasa teh hijau dari varians Assamica. Untuk sementara saya dugaan saya adalah teh hija Cisaruni tidak 100% digunakan klon Yabukita, melainkan masih dicampur dengan varians Assamica. Itu sebabnya aroma khas dari Yabukita masih terasa, sedangkan rasanya masih rasa varians Assamica.

Jadi untuk saat ini, teh hijau Malino masih tetap menjadi teh hijau Indonesia yang terbaik.

Sunday, 3 February 2008

Tea Tasting di kebun teh Gunung Mas

Setelah tertunda satu minggu, dari rencana semula akhirnya kopdar milist pecinta teh dapat dilakukan di perkebunan teh Gunung Mas puncak Bogor tanggal 2 February lalu. Acara sebenarnya malahan sudah direncanakan tahun lalu sebagai awal kegiatan milist, tetapi tertunda terus dan baru terlaksana sekarang.

Sungguh beruntung milist ini memiliki member dari KPB, yaitu pak Endi, sehingga segala sesuatunya langsung diurus beliau dan kita mendapatkan kehormatan langsung dibimbing oleh pak Dudhie, kepala pak pabrik gunung mas untuk melihat proses produksi hingga tea tasting.

Mengenai proses produksi, saya akan tulis dalam tulisan tersendiri. Dalam tulisan kali ini saya hanya akan menulis khusus tentang tea tasting saja. Tata cara tea tasting kurang lebih sama dengan yang pernah diajarkan mbak Ratna di Tea Galery, hanya ada beberapa perbedaan paramater dan teknis saja

Peralatan yang digunakan juga sama, yaitu menggunakan cangkir keramik bertutup dengan gerigi di salah satu bagian cangkir. Gerigi ini berfungsi sebagai saringan teh. Peralatan lain adalah mangkok untuk menuang teh, dan sendok untuk mencicipi teh. Sendok yang digunakan mirip dengan sendok sup, sehingga bentuk ujuk sendok menyerupai sloki. Penggunaan sendok lebih praktis untuk mudah kalau tasting dilakukan oleh banyak orang.

Menurut pak Dudhie adalah melakukan tasting ada 3 paramater yang mesti dirasakan:

        1. Strength (kekuatan rasa)
  1. Pungent (kesepatan)
  2. Freshness (kesegaran)
Setelah berkeliling pabrik sambil mendengarkan keterangan dari pak Dudhie akhirnya kami diajak ke Lab untuk diperkenalkan dengan pak Tri, Sinder kepala Gunung Mas. Sinder kepala adalah wakil dari Adm.Pabrik yang membawahi kepala pabrik, kepala Keuangan, kepala tanaman, dan lain.lain. Tidak heran kalau pengetahuan teh pak Tri cukup luas. Di situ kami diajari cara menyeruput teh untuk bisa mendapatkan aroma dan rasa yang dicari di dalam teh. Walau kelihatannya mudah tetapi ternyata ketika dipraktekan ternyata sulit juga. Teh dalam sendok teh diseruput dalam satu kali seruputan dan sampai terdengar Srottt, kemudian dibiarkan mengabut di dalam mulut untuk didapat aroma dan rasanya, setelah itu baru dibuang ke tempat khusus

Semula saya pikir tea taster pabrik mencicipi teh dengan meminum hingga menelannya. Saya membayangkan berapa cangkir saja yang masuk ke perut. Padahal satu grade saja sudah sekitar lima finest. Apa tidak kembung?

Ternyata setelah menyaksikan cara tea tasting langsung di pabrik, saya baru tahu kalau untuk mencicipi teh tidak perlu harus meminumnya. Cukup dirasakan di lidah.

Pada kesempatan tersebut saya juga membawa beberapa teh hitam untuk coba di tasting bersama-sama. Saya membawa Darjeeling dari Margaret’s Hope SFTGFOP (Super Fine Tippy Golden Flower Orange Pekoe), Darjeling dari Arya SFTGFOP, Tambi Pekoe Souchong, Malino BTC, Darjeling dalam kemasan Jepang (Darjeeling yang direpacking di Jepang) dan juga diseduh Walini CTC BP1.

Di situ saya baru tahu bahwa ada perbedaan parameter dalam hal tea tasting antara produsen dan penikmat teh. Menurut pak Trie dan pak Dudhie, dalam Darjeeling ada aroma asing, yang biasanya dalam parameter kualitas teh di Indonesia malah dianggap sebagai suatu produk gagal.

“Tetapi, kalau dari sisi Marketing hal ini malahan sebenarnya bisa menjadi sebuah ciri khas”, kata pak Dudhie. Lebih lanjut dia menambahkan kalau dulu perkebunan teh di Daerah Talun juga memiliki suatu teh yang memiliki ciri khas yang khusus. Tetapi sejalan dengan sistim klonalisasi dimana pada saat peremajaan teh, banyak pohon teh yang diganti dengan bibit pohon teh bibit unggul yang telah dikembangkan, sehingga dapat dikatakan terjadi penyeragaman bibit pohon teh. Hal ini yang menyebabkan ke khasan beberapa teh dari daerah tertentu menjadi hilang.

Dalam melakukakan tea tasting, digunakan ukuran 5.6 gram teh kering untuk 210mm air. Ada satu tip dari pak Tri dalam hal penggunaan air. Menurut beliau air itu memiliki kehidupan. Gunakan air yang mendidih untuk pertama kalinya. Artinya jangan rebuh air lebih dari satu kali.

Dari hasil tasting, pak Trie mengatakan yang paling bagus adalah Darjeeling kemasan Jepang. Kalau menurut lidah saya, saya lebih suka dengan Darjeeling Arya. Aroma dan rasanya terasa lembut. Margaret’s hope strengthnya lebih kuat, apalagi
Darjeeling Kemasan Jepang. Tambi Pekoe So
uchong terasa lebih pahit begitu juga dengan Walini.

Beberapa teman juga mengatakan Walini cukup pahit. Dari pengalaman saya, Walini CTC memang lebih strong dan lebih pahit. Biasanya saya gunakan ukuran ½ dari ukuran teh Orthodox..


Selesai tea tasting teh hitam, saya share Gong Fu cha, yaitu cara seduh teh ala Cina. Dalam kesempatan tersebut saya coba seduh Cooked Puerh usia 8 tahun, Kuding Cha, Ti Kuan Yin dan Ginseng Oolong. Beberapa teman banyak yang suka dengan Ti Kuan Yin. Menurut pak Dudhie, aromanya adalah aroma anggrek panda. Aroma wanginya bahkan cukup awet tertinggal di cangkir bekas minum.


Photo-photo lain dapat dilihat di
http://laresolo.multiply.com/photos/album/75/Tea_Tasting_di_Gunung_Mas