Friday, 23 November 2012

THE MAGIC OF SOUND


(Catatan dari Solo Tea festival)

Pernah liat permainan mentalis? Permainan itu sering dimainkan di televisi kita, salah satuny aadalah dimana seorang peserta menuliskan sesuatu, dan si host dengan mata tertutup dapat menebak apa yang ditulis oleh peserta.

Semula saya pikir, permainan itu adalah seperti sulap, pernah akal dan trick plus tipu-tipu. Tetapi ternyata setelah melihat permainan Jeniffer Aiko, salah seorang peserta Teh master, baru tahu, kalau menebak tulisan itu lewat pendengaran.
Pada waktu itu, dengan mata tertutup, dia sedang menebak salah seorang peserta yang menuliskan namanya. Dan ternyata tebakannya tidak benar. Karena peserta menuliskan nama Genta, Jennifer menebak Denta.

Ternyata, Jeniffer melatih pendengarannya untuk dapat membedakan suara huruf yang sedang ditulis. Celakanya, kebetulan si peserta menulis huruf Gnya agak aneh, tidak seperti huruf G pada umumnya. Huruf G ditulis langsung mirip hurup C, hanya ditambah garis lurus kedalam langsung.

Lalu apa hubungannya dengan teh?


Ternyata suara air yang menggelegak dapat digunakan untuk memperkirakan suhu air yang sedang dimasak tersebut. Ini seperti yang diajarkan oleh Camelia Siow, pemilik dari Purple Cane.

Sudah lama saya mendengar tentang Purple ini, sebuah tea house yang cukup terkenal di Malaysia. Purple Cane berdiri sejak tahun 1987. Sudah lama saya mendengar mengenai Purple Cane ini, dan siapa sangka saya dapat belajar langsung dengan empunya.





Pada waktu itu, seusai acara penutupan Solo International Tea Festival di Omah Sinten, Saya dan beberapa teman dari pecinta teh masih ngobrol di Pendopo omah Sinten.
Kami sedang menantikan Camelia Siow dan Mr. Lee yang sedang mempersiapkan peralatan untuk night tea time. Beberapa teman sudah balik ke hotel, dengan alasan kalau minum teh malam-malam takut susah tidur. Walah, pecinta teh kok takut susah tidur karena teh J

Camelia Siow minta dicarikan kain batik, sedangkan Mr. Lee minta disiapkan daun pisang. Semula saya tidak mengerti  untuk apa semua itu.




“If you come to another place and make some presentation or anything that can be shown, you should take local interest”, demikian penjelasan Hoya. Hmm.. cukup menarik.

Ternyata Camelia menggunakan kain batik sebagai alas untuk peralatan Gong Fu cha, sedangkan mr. Lee menggunakan alas daun pisang. Very Inspiring.

Kami menggunakan meja panjang, dimana Camelia dan Mr. Lee duduk di masing-msing ujung meja. Saya, Vic, Umar, Oza, Sethjie, Ip Wing Chi dan Hoya satu meja bersama Camelia, sedangan Mr. Lee dikelilingi oleh pecinta teh dari Solo.

Seduhan pertama adalah Liu Bao. Saat itulah Camelia mengajari saya bagaimana to hear the sound.


 “If water is at boiling point, there’s no sound but half-boiled water will make lots of noise,” Demikian penjelasan Camellia Siow.

Sebelumnya saya hanya bisa menebak suhu air dengan melihat besaran gelembung udara yang dihasilkan ketika air mulai menggelegak menuju titik didih.

Ternyata untuk beberapa ketel, besaran gelembung udara tidaklah selalu dapat mereprentasikan suhu. Ketika menggunakan ketel kuningan masih terdapat gelembung udara, tetapi ketika menggunan Tetsubin gelembung udaranya sangat sedikit.

Dengan suara, kita dapat memperkirakan air bersuhu 75 derajat. Suara air yang akan mendesis seperti wind blowing through pine leaves, angin berdesir diantara daun-daun pinus.
Suara mendesis seperti spring water spurting out of the stone,  mata air memancar dari bebatuan,   kira-kira suhunya sekitar  be 85˚C

Sedangkan bila suara air mendesis lebih keras seperti waves crashing on the shore,  ombak memecah lautan, itu suhunya sudah lebih dari 90 Derajat.

Tentunya butuh latihan dan jam terbang tinggi untuk dapat menggunakan cara ini.

Dalam kesempatan itu, Camelia juga mengajarkan saya menyeduh puerh dengan benar.

“You should arrange the speed of tea pouring”, kata dia.

Kalau menunggu hitungan hingga 30 detik, Puerh akan overbrew, Tetapi cara yang benar sambil dituang, dan memperhatikan warna dari seduhan. Ketika masih agak bening, atur keluar air dari corong perlahan-lahan, tetapi ketika sudah mulai menghitam segera tuang sisa teh dari dalam teko.

. Aroma Dancong langsung familiar di indera penciuman saya, ketika Camelia menyeduh teh kedua.
“Is it Dancong?”, saya menegaskan.
“You are correct”

After taste mirip buah lychee yang manis, membuat teh ini begitu istimewa.

Seduhan berikutnya, saya cukup mengenalnya juga. Lap Sang Sou chong.
“Lap Sang Sou Chong?” Saya menebak lagi.
“Correct again”

Lap sang Sou Chong memiliki aroma yang khas. Beberapa orang mengatakan seperti pernis. Tetapi keunikan taste dan aroma membuat banyak orang menyukai teh ini termasuk saya.

Demikianlah, malam itu kami lewati penuh dengan ilmu dan kebahagian menghirup aroma teh dan menikmatinya bersama para master.
Dan beruntung saya mendapat kenang-kenangan satu can Dong Ding, dari Camelia. Begitu juga teman-teman lain, mendapat teh masing-masing. Sungguh malam yang menyenangkan.





Thursday, 15 November 2012

WHERE IS THE LEAF

Catatan dari Solo Tea Festival (tulisan ke 2)

“Where is the leaf? Where is the leaf?”
Kata-kata itu diulang beberapa kali. Saya masih bengong tidak mengerti maksud Mr. Banerjee. Pada waktu itu, memenuhi harapan pak Robby Baddrudin dari kebun teh Dewata, saya menyerahkan sample teh Golden Angel, TGFBOP kepada Mr. Banerjee untuk mendapatkan komentar dari beliau mengenai teh ini.

“This tea is made inspired by Darjeeling”. Begitu penjelasan saya ketika saya menyerahkan sample tersebut seusai mengikuti workshop dari beliau. Tidak berlebihan kalau saya bilang inspired by Darjeeling, karena memang dibuat awalnya untuk mencoba mirip seperti Darjeeling. Bahkan sempat dinamai Dewjeeling, Dewata Darjeeling.
Hal ini atas dasar komentar beberapa buyer dari Dewata yang mengatakan bahwa after taste dari teh ini adalah peachy. Oleh saya teh ini dinamakan Golden Angel, karena gradenya sudah kategori Golden (Tippy Golden Flowery Broken Orange Pekoe), Angel artinya Dewata, karena dibuat oleh kebun teh Dewata. Golden Angel mendapat sambutan yang lumayan bagus, dan ada beberapa pelanggan saya yang setia memesannya untuk diminum sehari-hari. After tastenya, menurut saya lebih mendekati rasa buah lychee.

“Yes, you said inspired by Darjeeling, but where is the leaf? All of this is broken leaf”
Baru saya paham maksudnya.
“So you never produce Broken grade?”
”Very little”
Sayang sekali, jatah yang saya dapat memang hanya yang broken grade, sehingga, hanya itu yang saya bawa. Setahu saya,  Dewata juga membuat yang whole leaf untuk jenis teh ini. Mungkin memang baru ini rejeki saya (ngarep.....) J

Niat awalnya Golden Angel mau saya berikan kepada calon Mitra saya dari Yogjakarta. Tetapi karena saya mendapatkan kesempatan ngobrol langsung dengan mr Banerjee, kapan lagi saya dapat berikan sample kalau bukan sekarang.

Sebelum saya lanjutkan mengenai cerita saya, mungkin ada baiknya saya akan cerita dulu mengenai Darjeeling dan Mr. Banerjee yang merupakan owner salah satu estate di Darjeeling, tepatnya di Maikabari estate.

Darjeeling adalah teh yang diproduksi di daerah Darjeeling, Bengal Barat, India. Sekalipun mereka juga memproduksi teh jenis lain seperti Oolong dan white tea, tetapi teh hitam Darjeeling yang sangat terkenal. Bahkan sering disebut sebagai the champagne of tea. Ini merupakan penghargaan kepada origin, dimana daerah tersebut memberi keunikan cita rasa Darjeeling yang tidak dapat diduplikasi di daerah lain. Definisi teh Darjeeling sendiri adalah teh yang di tanam, dan diproduksi di daerah Darjeeling. Seperti halnya Champage, yang boleh disebut sebagai Champage adalah jenis wine yang dibuat dari anggur yang di tanam dan di olah dari daerah Champagne.

Cita rasa Darjeeling begitu unik, karena memiliki after taste buah peach dan Muscatel (Muscat adalah satu satu variasi dari Anggur), dimana masing-masing kebun memiliki cita rasa yang bervariasi. Semula saya pikir semua Darjeeling memiliki aftertaste Peach, dan Goomtea memiliki after taste Muscatel, ternyata ini tidak tepat benar. After taste peach hanya didapat dari First flush atau panenan pertama dan Muscatel didapat dari panenan kedua, ini seperti apa yang dijelaskan mr. Banerjee kepada saya.

Yang lebih menghebohkan mengenai Darjeeling adalah sistem gradingnya. Dimana selain sebutan gradenya begitu panjang untuk yang high grade, juga mesti menyebutkan estate dan waktu panennya. Misalnya ada Margareth Hope SFTGFOP first Flush. Artinya Darjeeling dari kebun Margareth Hope, dengan grade Super Fine Tippy Golden Flowery Orange Pekoe dari panenan pertama. Ribet bukan?

Seringkali grade TGFOP diplesetkan orang menjadi Too Good For Ordinary People. Terlalu bagus untuk orang-orang biasa saja, hiks…. Berarti peminum Darjeeling adalah orang-orang luar biasa .. halah….

Keunikan lain dari Darjeeling adalah variansnya adalah Sinensis, tetapi dibuat black tea. Jadi cita rasanya sangat berbeda dengan teh Assam Misalnya. Selain dari daerahnya yang foggy, jenis sinensis membuat teh ini jauh dari rasa sepet. Itu sebabnya Darjeeling tambah kacau kalau di tambahkan gula. Darjeeling sangat cocok jika diblend dengan rasa buah, seperti kulit jeruk ataupun kulit lemon, minim rasa sepetnya tadi. Rasa sepet terkadang begitu mengganggu, ketika ditambahkan buah. Tahu kenapa? Rasa buah yang sepet biasa didapat dari buah yang masih mentah.

Ada lebih dari 50 estate di Darjeeling, dimana masing-masing estate memiliki ciri khas yang dan keunikan cita rasa yang berbeda. Ada Margareth Hope seperti yang disebutkan diatas, Arya, Goom tea, singbulli, dsb.

Makaibari adalah salah satu estate yang memproduksi khusus organic darjeeling tea
“It’s about 80% and therest in the convertion progress”, demikian penjelasan dari Banerjee.

Swaraj Kumar Banerjee, demikian nama lengkapnya, adalah generasi ke empat, yang bergabung dengan Makaibari sejak tahun 1970. Dia adalah pioner energy alternatif, dimana dia telah membangun Bio Gas, sebagai energi alternatif yang bebas polusi.

Orangnya sangat Idealis, bahkan terkadang terkesan sombong. Tetapi begitu kenal lebih dekat, ternyata memang dia punya komitmen yang kuat, dan semangat pantang menyerah.


“So you know what I mean?”, lanjut mr. Banerjee. “You should make the whole leaf to make a good tea. Sorry to say, that you should improved your quality, and concern only to make a good tea.”

Itu adalah salah satu idealismenya. Dan seperti saya ceritakan di awal, bahwa kedatangan para tea master adalah dalam rangka sharing kepada petani teh Indonesia, untuk membuat teh yang lebih bagus.

Ini bukan sekedar cerita isapan jempol atau pemanis belaka. Mereka, sebelum acara Solo Tea festival sudah beberapa hari berada di Indonesia dan berkunjung ke beberapa kebun teh Indonesia, salah satunya adalah Tambi, teh yang selalu saya gunakan. Bahkan mereka sempat berkunjung ke Kraton Yogjakarta, dengan mempersembahkan Chanoyu, dan dibalas dengan tradisi patehan Keraton Yogja.

Cerita ini saya dengar dari bapak Rachmad Gunadi, presiden direktur PT. Pagilaran, yang juga membawahi kebun teh tambi. Beliau memang concern terhadap kemajuan dunia pertehan Indonesia. Bahkan untuk selevel beliau, masih mau menyempatkan diri mengunjungi kedai teh saya yang sangat sederhana di Bogor beberapa waktu yang lalu.

Yang sangat menarik adalah, ketika di kebun teh Tambi, Banerjee sempat mendemontrasikan memproduksi teh secara manual, yaitu dengan menggiling dengan tangan. Bibit teh yang digunakan adalah jenis Sinensis, yang sering disebut teh Jawa atau teh merah. Ternyata ini adalah sisa bibit sinensis yang pertama kali ditanam oleh belanda, sebelum semuanya digantikan dengan varians Assamica.

Atas budi baik pak Gunadi, saya bisa mendapatkan sedikit bagian (tepatnya saya meminta), teh yang dibuat manual oleh Banerjee.

Kami juga sempat mencobanya di omah Sinten, dimana para tea master menginap. Memang luar biasa. Baru kali ini saya minum teh Indonesia dengan rasa seperti ini. Rasanya begitu komplek, wangi floral dan fruity yang begitu tegas. Kalau sekedar bikin white tea, dengan bahan baku yang memang bagus, yaitu pucuk-pucuk saja, tidaklah terlalu istimewa. Tetapi ini 3 pucuk pertama digiling pakai tangan menjadi gulungan kecil-kecil, dan menghasilkan cita rasa yang begitu istimewa.

Teh Indonesia buatan Banerjee
Pak Rachmad Gunadi, presdir PT. Pagilaran





CERITA ANGIN DAN MATAHARI
Seperti saya kemukakan sebelumnya, bahwa Banerjee tampak seperti sombong, tetapi ketika duduk santai dan mengobrol ternyata beliau sangatlah menyenangkan. Banyak cerita yang beliau sharing, salah satunya adalah cerita pertempuran angin dan matahari.

“There was an upon of time…”, wah kayak dongeng Disney saja. Untuk lebih mudahnya saya menulis, sebaiknya saya tuliskan semua dalam bahasa Indonesia. Alkisah, terjadi perdebatan sengit antara angin dan matahari. Mereka sedang berdebat, siapa diantara mereka yang kuat dan berkuasa.
“Saya akan buktikan”, ujar Matahari dengan lantang. “Lihat laki-laki dibawah sana, yang sedang mengenakan baju batik”, Banerjee tersenyum lebar sambil memandang saya yang kebetulan mengenakan baju batik.
“Saya akan membuat laki-laki itu melepaskan baju kebanggaannya”.
Dengan segera di pancarkan energi panas sekuat-kuatnya, sehingga si laki-laki tadi merasa kegerahan, dan melepaskan bajunya, karena sudah berpeluh keringat.
Angin tidak mau kalah, dia kerahkan kekuatannya untuk menghembuskan angin, sehingga tercipta hawa yang begitu dingin. Si Laki-laki, segera mengenakan bajunya kembali, malahan sekarang ditutup dengan jaket.
“Lihat!”, seru angin. “Bahkan bajunya sekarang dirangkap dengan jaket”

Matahari tak mau kalah, dia tambahkan panasnya. Demikianlah terus-menerus si laki-laku buka tutup baju akibat ulah angin dan matahari.

“Teh moral story  is, you should use your spirit, power and effort to achieve your goal”, Banerjee menutup ceritanya. “But be smart and  carefully”, lanjutnya.

Extraordinary. Beberapa idealisme dia memang bisa dijadikan inspirasi, misalnya hanya memproduksi teh kualitas bagus, sekalipun permintaan teh kualitas rendah juga banyak. Mulai beralih ke organic, karena selain lebih sehat, juga untuk keseimbangan ekosistem.

Sudah bukan rahasia lagi, kalau teh-teh yang dijual di pasaran Indonesia adalah teh kualitas rendah sedangkan teh yang kualitas tinggi di export. Dalam hal ini saya perlu mengapresiasi teh Tambi, karena selama ini hanya menjual teh kualitas bagus. Teh Tambi yang dijual di daerah Wonosobo, hanya grade BOP (Broken Orange Pekoe), PS (Pekoe Souchung), dan BPS (Broken Pekoe Souchung), dan Fanning  untk teh celup. Dia tidak menjual Broken Mix dengan merk tambi, misalnya. Sedangkan teh Kajoe Aro yang sebenarnya memiliki kualitas sedikit diatas Tambi, masih menjual special blend, yang isinya broken mix di pasaran lokal.

So let’s take the spirit of Banerjee.













Tuesday, 13 November 2012

PECINTA TEH, LINTAS DAERAH, NEGARA DAN BENUA


Catatan dari Solo Tea Festiaval (Tulisan pertama)

Setelah berlalu sekian lama, baru sempat menguak memory-memory untuk dituangkan dalam catatan tentang International Solo Festival di Solo, beberapa waktu yang lalu.

Dengan menyandang nama International, banyak yang berharap akan mendapatkan teh-teh dari manca negara. Dalam benak beberapa orang, festival sendiri akan dipenuhi bazar teh dari pelbagai dunia.

Faktanya keramaian festival sendiri, lebih diramaikan para para tea master dunia (kalau ini dapat dikatakan mewakili kata-kata International). Dari Bazar sendiri, hanya ada teh koleksi Purple Cane sebuah tea house di Malaysia, dalam jumlah tidak banyak, itupun hanya menyempil di salah satu counter teh Nasional.

Di Bazar, paling tidak saya temukan satu counter yang cukup menarik, yaitu teh Hong Cha, dimana dia mencoba memproduksi teh-teh China di Cianjur. Hong Cha sendiri adalah nama black tea dari daearah Yunnan. Teh yang diproduksi lumayan banyak, beberapa terinpirasi teh china, misalnya ada Qin Kuan Yin (terinspirasi dari Ti Kuan Yin).

Selain itu, saya akan lebih banyak bercerita pada beberapa kegiatan komunitas pecinta teh yang sempat saya ikuti dan beberapa ilmu yang saya dapat dari beberapa tea master dunia.

Bukan pecinta teh kalau tidak heboh. Antusiasme dan semangat mereka tidak perlu diragukan lagi. Dalam satu pesawat bisa kumpul 21 orang untuk terbang ke Solo, hanya untuk meramaikan dunia pertehan. Itu belum termasuk beberapa teman yang mengarange pesawat sendiri termasuk saya.

Pesawat saya, beda sekitar 3 jam dibanding pesawat teman-teman yang berangkat duluan. Begitu pesawat mendarat saya langsung menyusul teman-teman yang sudah berkumpul duluan di pabrik teh Kepala Jenggot. Sayang tidak sempat melihat proses produksinya. Mudah-mudahan nanti ada teman dari pecinta teh yang menceritakannya.

Singkat cerita saya datang hanya untuk ikutan makan siang di pabrik, terus langsung ke area bazar.


SALTUM
Saya sendiri sudah hampir 2 tahun, semenjak saya mulai bisnis kedai teh tidak pulang ke rumah orang tua saya, yang tinggal kira-kira 30 km dari kota Solo. Itu sebabnya acara ini, sekaligus saya manfaatkan untuk pulang kampung.

Malam harinya jadwal yang diberikan oleh Syarif, yang kebetulan adalah koordinator gathering para pecinta teh di Solo kali ini, adalah ngumpul di Loji Gandrung.

Semula saya pikir, Loji Gandrung adalah nama sebuah restoran. Dari Jakarta saya sudah mempersiapkan baju batik, barangkali saja diperlukan. Semua saya pikir acara pembukaan Solo Tea festival dilakukan pada pagi harinya, jadi malam hari Cuma pada ngumpul-ngumpul saja teman-teman pecinta teh.

Ternyata saya salah kostum. Semua pada pakai batik, sedang saya selalu mengenakan Tshirt kebanggaan saya ‘Kedai Teh Laresolo’. Jadi mesti puter kota Solo dulu untk beli batik.

Di Loji Gandrung sudah berkumpul beberapa orang penting the. Ada ibu Suwarni, mbak Lily. Disinilah saya pertama kalinya kenal dengan pak Rahmat Baddrudin, padahal udah bertahun-tahun kenal dengan putra mahkotanya, pak Robby Baddruddin J

Lalu tak lama kemudian para Tea Master datang, dan Umar yang lebih duluan datang ke Solo dan berkenalan dengan mereka, memperkenalkan kami kepada mereka.
Ada salah satu sahabat saya yang sudah saya kenal, siapa lagi kalau bukan Pak Kib Robby diantara para tea master.
Beberapa tea master antara lain adalah Soren M. Chr. Bisgaard, seorang practisi Chanoyu yang telah mendalami chanoyu lebih dari 30 tahun, juga tea producer untuk Uji Green tea dari Marukyu Koyamaen Co. Ltd.

Tea master berikutnya adalah Lee Chee Keong, seorang tea master dari Singapore.
Lalu mr. Ip Wing Chi, seorang tea master dari Hongkong yang juga pemilik tea Shop dan tea house Lock Cha.
Ada Camelia Siow, pemilik Tea house yang cukup terkenal dari Malaysia, yaitu Purple Cane.
Lalu ada Hoya Ho Kian Leong. Dia bukan tea master, tetapi knowledgenya tentang teh sudah sangat mumpuni. Tidak heran karena dia seorang Jurnalis khusus teh dari Tea Magazine di Malaysia.

Ada mr. Gerard Bodeker, dari Oxport USA dari divisi medical science.

Yang menarik adalah hadirnya Swaraj Kumar Banerjee. Dia adalah owner salah satu estate Darjeeling tea yang sangat terkenal, tepatnya Makaibari estate.



Para tea master datang dalam rangka sharing knowledge mereka untuk lebih mengangkat teh Indonesia di percaturan teh International. Seperti kita ketahui, bahwa selama ini teh Indonesia hanya sebagai Filler, atau bahan blending yang dicampur dengan teh dari daerah lain. Teh Indonesia tidak pernah terkenal sebagai single Origin, seperti halnya Darjeeling atau teh dari China maupun Jepang.

Yang sangat menyedihkan adalah saat ini produksi Indonesia terus menurun. Dari yang pernah menduduki peringkat ke tiga produsen teh terbanyak Dunia, sekarang sudah menurun menjadi peringkat 7-8 dunia. Padahal permintaan teh Dunia terus naik. Dengan alasan merugi, beberapa kebun teh di konversi menjadi komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Hal-hal ini yang nantinya banyak di bahas dalam diskusi dengan Dewan Teh Indonesia.

Beberapa catatan dari masing-masing tea master akan saya tulis dalam tulisan tersendiri.

Yang sangat menyenangkan adalah betapa teh telah menjadi perekat budaya yang dapat menyatukan orang dari pelbagai belahan dunia. Bukan sekedar lintas daerah, tetapi sudah lintas negara bahkan benua.

Betapa para tea master dengan ketulusannya sharing knowledge mereka untk para petani teh Indonesia, mapun para pecinta teh Indonesia.

Yang paling nyata adalah ketika acara pendeklarasian komunitas pecinta teh Solo, di tempat wedangan dimana turut hadir Camelia Siow dan Hoya dari Malaysia. Turut serta Haruna, warga negara Jepang yang tugas di Indonesia dan aktif mengikuti kegiatan komunitas pecinta teh. Luar biasa. Yang luar biasa juga makanannya. Solo pemakan berat semua. Dimana-mana saya selalu menemukan aneka jerohan, termasuk di wedangan ini. Yang cukup  menarik ada menu teh kampul, dimana tehnya dicemplungin jeruk nipis hingga kampul-kampul (terapung).



Note: Photo-photo koleksi dari pak Anton Widjaya dan Memez
Cerita lain mengenai tea festival di Solo silahkan baca di http://www.rumahmemez.com/2012/10/28/pecinta-teh-goes-to-solo-bagian-1/

Monday, 12 March 2012

Buku teh yang menginspirasi

Teman-teman pecinta teh,
Saya dan komunitas pecinta teh berencana membuat kompilasi kisah-kisah menarik pengalaman kita dengan teh yang munngkin akan bermanfaat dan menarik jika di share. Pengalaman boleh pengalaman sendiri atau orang lain, dan boleh ditambahkan sedikit fiksi sebagai bumbu sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik.

Kami mengundang semua pihak untuk menyumbangkan cerita. Jangan ragu, kalau merasa tidak dapat menulis. Nanti kami akan bekerja sama dengan tim editor yang akan mengolah cerita anda. Bisa saja anda hanya mengirimkan ide cerita, berdasarkan pengalaman anda, nanti tim kami yang akan mengolahnya.

Berikut adalah salah satu contoh cerita yang saya olah kembali berdasarkan kisah nyata dari tulisan My Special Guest. Hayo buruan, dead line penerimaan naskah terakhir bulan Mei.


PESTA TEH PERTAMAKU

Bangunan itu mengingatkan Saya kepada rumah nenek. Semuanya sama, dinding bambu,

atap ilalang, bedanya kalau rumah

nenek seperti panggung, sedangkan bangunan ini menempel di tanah. Saya tidak

tahu persis, apa yg ada di dalam saung tersebut. Letaknya di bawah pohon besar

yang rindang, dan taman yg asri, dugaan saya saung tersebut adalah sebuah kedai.

Hal ini diperkuat bukti dengan tampaknya beberapa orang sedang duduk2 disekitar

saung tersebut. Beberapa malahan masih pakai seragam putih hijau dan putih biru.

Tidak ada yg berseragam putih merah seperti Saya.

Saya selalu melewati saung tersebut ketika berangkat dan pulang sekolah. Dari

kejauhan saung tersebut tampak anggun, seakan mengundang orang untuk datang.

Sebenarnya jarak rumah dan sekolahan lumayan jauh. Tapi berhubung emak hanya

memberi uang saku yang pas-pasan, membuat Saya harus memilih, jajan atau jalan

kaki. kalau naik angkot Saya tidak bisa jajan.

"kalau pulang sekolah jangan mampir2 ya. pokoknya langsung pulang ke rumah",

kata2 sakti emak inilah yang membuat Saya enggan memastikan, bangunan apakah

gerangan itu.

Tapi bagaimanapun Saya tidak bisa memungkiri, bahwa saung itu begitu menggoda

rasa keingintahuan saya. Diam2 Saya mulai mencari informasi, dari tetangga yang

kebetulan kelas 1 SMA.

"Teh, tahu gak saung di Taman Kencana yang sering kita lewati ketika kita ke

sekolah?" Kebetulan SMA tempat sekolah teh Chacha, berdekatan dengam SD tempat

sekolah Saya.

"Tahu dong, Teteh khan sering minum disitu. Itu kedai teh. Enak deh, beda dengan

teh2 yang lainnya"

Emak memang hampir tidak pernah menyediakan teh. Seingat Saya, emak akan

membuatkan segelas teh, kalau Saya sedang sakit.

Saya jajan es teh manis hanya ketika habis berolah raga. Uang saku sebesar Rp.

2000 cukup untuk membeli 1 cup es teh manis yang dijual di gerobak pinggir

jalan sekolah.

Hari ini, Saya membawa bekal air minum dari rumah. Saya bertekad, sepulang

sekolah mau mampir ke kedai tersebut, untuk mencoba teh yang dikatakan teh

Chacha enak banget.

pelajaran terakhir, pelajaran bahasa Indonesia yang biasanya saya suka terasa

sangat membosankan. Rasa penasaran yang amat sangat membuat saya kehilangan

konsentrasi. Bel tanda usai sekolah adalah satu hal yang paling saya nantikan.

Siang itu, kedai tampak kelihatan sepi. Suatu kebetulan yang saya harapkan,

karena saya agak segan bersua dengan seragam putih hijau.

Di kedai, sengaja saya menuju pintu belakang. Saya tidak hendak melihat menu,

karena pastinya saya hanya ingin membeli teh yang paling murah. Saya diterima

oleh wanita, yang kira2 3 tahun diatas teh Chaha.

"mbak, teh yang paling murah berapa", dengam setengah berb isik saya bertanya

kepada wanita tersebut. Agak malu memang.

"lima ribu dik", jawab wanita tersebut dengan ramah.

Aduh betapa malunya saya. Berbekal uang dua ribu berani-beraninya jajan di

kedai. Dengan muka tertunduk malu, saya berjalan meninggalkan kedai sambil

berkata:

"Maaf mbak, gak jadi uangnya gak cukup"

Perlahan saya berjalan meninggalkan kedai sambil menahan rasa malu. Beberapa

langkah dari kedai, terdengar suara yang agak berat, memanggilku?

"Sini Dik"

Langkahku tertahan diantara dua pilihan, lari atau balik ke belakang; Saya tidak

akan mampu menjawab kalau ditanya lagi mau beli apa.

"Sini sebentar", suara itu terdengar lagi.

Saya beranikan diri membalikkan bada dan tampak laki-laki Dewasa seumuran bapak

saya, sekitar 40-an sedang melambaikan tangannya dengan senyum mengembang.

"Saya gak jadi beli om", jawabku membela diri.

"Gak papa, kesini saja cobain teh saya"

"Saya mau cepat-cepatpulang om, emak saya sudah menunggu", jawab saya beralasan.

"Ini saya tuang di cup plastik ya, nanti adik bisa bawa pulang". Tatwaran yang

menggoyahkan hati saya.

"Tapi uangnya kurang om"

"Gak usah bayar. Ini hadiah buat kamu"

Perasaan malu saya sedikit terurai. Saya mendekat ke saung tersebut. Tampak

berjajar kaleng-kaleng dng tulisan nama-nama yang terasa asing bagi saya; Ada

Fruit Paradise, After Dark, White tea, Mint Green tea, dsb. Mungkin ini

jenis-jenis teh yang dijual disini.

Di sisi kanan tampak beberapa teko untuk menyeduh teh. Bentuknya dan ukurannya

macam2. Ada yang dari kaca, tanah liat dan keramik. kayaknya memang asyik banget

minum teh disini;

"Ini namanya lychee tea.Silahkan dibawa", kata Om penjual teh tersebut.

"Makasih ya Om", saya terima teh tersebut dengan gembira. Sambil berjalan pulang

tak sabar saya seruput teh dalam cup tersebut. Terasa buah lechy yang manis dan

agak sedikit sepat. Enak banget. Belum pernah saya minum-minuman seperti ini.

Kalau di kantin ada juga minuman rasa buah dengan harga seribuan, tapi rasanya

tajam banget. Kata pak Guru itu namanya rasa buatan atau apa gitu, saya gak

terlalu paham. Di dalam cup tampak dua buah berwarna putih, sebesar buah

rambutan yg sudah dikupas. Singkat cerita, ini teh terenak yang pernah saya

minum. Temtu saja pengalaman saya ini saya ceritakan kepada teman2 sekolah saya,

Lia, Murti, dan Susi.

"Ayuk-ayuk," seru Susi bersemangat sekali mendengar cerita saya.

"Ayuk kemana? Emang mau traktir kita?"

"Kita patungan saja", sela saya menengahi;

"Iya, ide bagus tu kita patungan"

"Gimana kalau lusa hari Sabtu, sepulang sekolah kita mampir

Akhirnya kami sepakat, hari Sabtu sepulang sekolah saya mampir. Tetapi siang

itu, kami hanya merasakaan kekecewwan, ketika pintu kedai tampak tertutup, dan

tampak 1 lembar karton dengan tulisan besar :

MOHON MAAF, KAMI HARI INI TUTUP, KARENA SEDANG MENGIKUTI BAZAR DI JAKARTA. BESOK

KAMI BUKA SEPERTI BIASA.

"Yah!", kayak janjian saja, kata2 tersebut meluncur berbarengan dari mulut kami.

"Besok pagi2 kita coba kesini lagi", kata saya dengan nada menghibur.

Keesokan harinya, pagi2 sekali kami sudah duduk di saung yang belum dibuka

pemiliknya. Tentu saja, kami sedikit khawatir, kalau2 kedai ini masih blm buka.

Untung kekhawatiran kami tidak berlangsng lama. Bunyi derit pintu bambu

menandakan bahwa kedai ini mulai buka.

"Silahkan dik", Om yang ngasih saya teh yang menerima kami, sambil memberikan

menu. Tentu saja kami tidak terlalu lama ambil keputusan, karena kami memang mau

minum teh yang paling murah yang disajikan dalam teko.

"Kami mau BOP kulit lemon Om", saya dengan penuh gaya order untuk teman2.

"panas atau dingin dik?"

"Dingin Om"

Kami merasa bangga juga, merasa seperti teteh Chacha, nongkrong di kedai. Dengan

terampil si Om, mengupas kulit lemon dengan pisau khusus.

Hmm...aroma lemon langsung menyeruak, ketika lemon mulai dikulitin. Kemudian

kulit lemon yang panjang melingkar dimasukkan ke dalam teko yang sudah diberi

gula, dituang air panas setengah teko, lalu daun teh kering dimasukkan ke dalam

saringan berbentuk silinder, baru di masukkan ke dalam teko.

Setelah di diamkan beberapa saat, saringan diangkat, baru dimasukkan batu es.

"Silahkan", kata si Om, selalu dengan senyum mengembang.

Walaupun masih pagi, tetapi karena sudah beberapa hari tidak hujan, udara Bogor

terasa panas. Teh dingin tersebut benar2 menyejukkan. Aroma lemonnya benar2

terasa, tetapi tidak ada rasa asam sama sekali. Wangi dan rasa teh malahan masih

sangat kentara;

"Ini teman minum tehnya, gratis", kata si Om sambil meletakkan sepiring singkong

rebus. Diatas singkong tampak siraman berwarna putih yang tenyata santan, dengan

taburan kacang wijen. Rasanya manis gurih dan krunchy. Belum pernah saya makan

singkong rebus seperti ini.

Enak banget.

Dalam sekejap, singkong di piring tandas, begitu juga teh di teko.

"Mau teh lagi gak?", kata Susi

"Emang masih punya uang"

"Ada deh"

Teko berikutnya kosong dengan segera. Kami benar-benar seperti terpuaskan dari

dahaga. Wah, hari itu benar-benar menjadi pesta teh pertamaku.

Cerita ini didasarkan dari kisah nyata yang diadaptasi dari kisah My special

guest

http://kedai-teh-laresolo.blogspot.com/2010/07/my-special-guest.html