Friday 23 November 2012

THE MAGIC OF SOUND


(Catatan dari Solo Tea festival)

Pernah liat permainan mentalis? Permainan itu sering dimainkan di televisi kita, salah satuny aadalah dimana seorang peserta menuliskan sesuatu, dan si host dengan mata tertutup dapat menebak apa yang ditulis oleh peserta.

Semula saya pikir, permainan itu adalah seperti sulap, pernah akal dan trick plus tipu-tipu. Tetapi ternyata setelah melihat permainan Jeniffer Aiko, salah seorang peserta Teh master, baru tahu, kalau menebak tulisan itu lewat pendengaran.
Pada waktu itu, dengan mata tertutup, dia sedang menebak salah seorang peserta yang menuliskan namanya. Dan ternyata tebakannya tidak benar. Karena peserta menuliskan nama Genta, Jennifer menebak Denta.

Ternyata, Jeniffer melatih pendengarannya untuk dapat membedakan suara huruf yang sedang ditulis. Celakanya, kebetulan si peserta menulis huruf Gnya agak aneh, tidak seperti huruf G pada umumnya. Huruf G ditulis langsung mirip hurup C, hanya ditambah garis lurus kedalam langsung.

Lalu apa hubungannya dengan teh?


Ternyata suara air yang menggelegak dapat digunakan untuk memperkirakan suhu air yang sedang dimasak tersebut. Ini seperti yang diajarkan oleh Camelia Siow, pemilik dari Purple Cane.

Sudah lama saya mendengar tentang Purple ini, sebuah tea house yang cukup terkenal di Malaysia. Purple Cane berdiri sejak tahun 1987. Sudah lama saya mendengar mengenai Purple Cane ini, dan siapa sangka saya dapat belajar langsung dengan empunya.





Pada waktu itu, seusai acara penutupan Solo International Tea Festival di Omah Sinten, Saya dan beberapa teman dari pecinta teh masih ngobrol di Pendopo omah Sinten.
Kami sedang menantikan Camelia Siow dan Mr. Lee yang sedang mempersiapkan peralatan untuk night tea time. Beberapa teman sudah balik ke hotel, dengan alasan kalau minum teh malam-malam takut susah tidur. Walah, pecinta teh kok takut susah tidur karena teh J

Camelia Siow minta dicarikan kain batik, sedangkan Mr. Lee minta disiapkan daun pisang. Semula saya tidak mengerti  untuk apa semua itu.




“If you come to another place and make some presentation or anything that can be shown, you should take local interest”, demikian penjelasan Hoya. Hmm.. cukup menarik.

Ternyata Camelia menggunakan kain batik sebagai alas untuk peralatan Gong Fu cha, sedangkan mr. Lee menggunakan alas daun pisang. Very Inspiring.

Kami menggunakan meja panjang, dimana Camelia dan Mr. Lee duduk di masing-msing ujung meja. Saya, Vic, Umar, Oza, Sethjie, Ip Wing Chi dan Hoya satu meja bersama Camelia, sedangan Mr. Lee dikelilingi oleh pecinta teh dari Solo.

Seduhan pertama adalah Liu Bao. Saat itulah Camelia mengajari saya bagaimana to hear the sound.


 “If water is at boiling point, there’s no sound but half-boiled water will make lots of noise,” Demikian penjelasan Camellia Siow.

Sebelumnya saya hanya bisa menebak suhu air dengan melihat besaran gelembung udara yang dihasilkan ketika air mulai menggelegak menuju titik didih.

Ternyata untuk beberapa ketel, besaran gelembung udara tidaklah selalu dapat mereprentasikan suhu. Ketika menggunakan ketel kuningan masih terdapat gelembung udara, tetapi ketika menggunan Tetsubin gelembung udaranya sangat sedikit.

Dengan suara, kita dapat memperkirakan air bersuhu 75 derajat. Suara air yang akan mendesis seperti wind blowing through pine leaves, angin berdesir diantara daun-daun pinus.
Suara mendesis seperti spring water spurting out of the stone,  mata air memancar dari bebatuan,   kira-kira suhunya sekitar  be 85˚C

Sedangkan bila suara air mendesis lebih keras seperti waves crashing on the shore,  ombak memecah lautan, itu suhunya sudah lebih dari 90 Derajat.

Tentunya butuh latihan dan jam terbang tinggi untuk dapat menggunakan cara ini.

Dalam kesempatan itu, Camelia juga mengajarkan saya menyeduh puerh dengan benar.

“You should arrange the speed of tea pouring”, kata dia.

Kalau menunggu hitungan hingga 30 detik, Puerh akan overbrew, Tetapi cara yang benar sambil dituang, dan memperhatikan warna dari seduhan. Ketika masih agak bening, atur keluar air dari corong perlahan-lahan, tetapi ketika sudah mulai menghitam segera tuang sisa teh dari dalam teko.

. Aroma Dancong langsung familiar di indera penciuman saya, ketika Camelia menyeduh teh kedua.
“Is it Dancong?”, saya menegaskan.
“You are correct”

After taste mirip buah lychee yang manis, membuat teh ini begitu istimewa.

Seduhan berikutnya, saya cukup mengenalnya juga. Lap Sang Sou chong.
“Lap Sang Sou Chong?” Saya menebak lagi.
“Correct again”

Lap sang Sou Chong memiliki aroma yang khas. Beberapa orang mengatakan seperti pernis. Tetapi keunikan taste dan aroma membuat banyak orang menyukai teh ini termasuk saya.

Demikianlah, malam itu kami lewati penuh dengan ilmu dan kebahagian menghirup aroma teh dan menikmatinya bersama para master.
Dan beruntung saya mendapat kenang-kenangan satu can Dong Ding, dari Camelia. Begitu juga teman-teman lain, mendapat teh masing-masing. Sungguh malam yang menyenangkan.





No comments: