(Catatan dari Solo Tea festival)
Pernah liat permainan
mentalis? Permainan itu sering dimainkan di televisi kita, salah satuny aadalah
dimana seorang peserta menuliskan sesuatu, dan si host dengan mata tertutup
dapat menebak apa yang ditulis oleh peserta.
Semula saya pikir, permainan
itu adalah seperti sulap, pernah akal dan trick plus tipu-tipu. Tetapi ternyata
setelah melihat permainan Jeniffer Aiko, salah seorang peserta Teh master, baru
tahu, kalau menebak tulisan itu lewat pendengaran.
Pada waktu itu, dengan mata tertutup,
dia sedang menebak salah seorang peserta yang menuliskan namanya. Dan ternyata
tebakannya tidak benar. Karena peserta menuliskan nama Genta, Jennifer menebak
Denta.
Ternyata, Jeniffer melatih
pendengarannya untuk dapat membedakan suara huruf yang sedang ditulis.
Celakanya, kebetulan si peserta menulis huruf Gnya agak aneh, tidak seperti
huruf G pada umumnya. Huruf G ditulis langsung mirip hurup C, hanya ditambah
garis lurus kedalam langsung.
Lalu apa hubungannya dengan
teh?
Ternyata suara air yang
menggelegak dapat digunakan untuk memperkirakan suhu air yang sedang dimasak
tersebut. Ini seperti yang diajarkan oleh Camelia Siow, pemilik dari Purple
Cane.
Sudah lama saya mendengar
tentang Purple ini, sebuah tea house yang cukup terkenal di Malaysia . Purple Cane berdiri sejak
tahun 1987. Sudah lama saya mendengar mengenai Purple Cane ini, dan siapa
sangka saya dapat belajar langsung dengan empunya.
Pada waktu itu, seusai acara
penutupan Solo International Tea Festival di Omah Sinten, Saya dan beberapa
teman dari pecinta teh masih ngobrol di Pendopo omah Sinten.
Kami sedang menantikan
Camelia Siow dan Mr. Lee yang sedang mempersiapkan peralatan untuk night tea
time. Beberapa teman sudah balik ke hotel, dengan alasan kalau minum teh malam-malam
takut susah tidur. Walah, pecinta teh kok takut susah tidur karena teh J
Camelia Siow minta dicarikan
kain batik, sedangkan Mr. Lee minta disiapkan daun pisang. Semula saya tidak
mengerti untuk apa semua itu.
“If you come to another
place and make some presentation or anything that can be shown, you should take
local interest”, demikian penjelasan Hoya. Hmm.. cukup menarik.
Ternyata Camelia menggunakan
kain batik sebagai alas untuk peralatan Gong Fu cha, sedangkan mr. Lee
menggunakan alas daun pisang. Very Inspiring.
Kami menggunakan meja
panjang, dimana Camelia dan Mr. Lee duduk di masing-msing ujung meja. Saya, Vic,
Umar, Oza, Sethjie, Ip Wing Chi dan Hoya satu meja bersama Camelia, sedangan
Mr. Lee dikelilingi oleh pecinta teh dari Solo.
Seduhan pertama adalah Liu
Bao. Saat itulah Camelia mengajari saya bagaimana to hear the sound.
“If
water is at boiling point, there’s no sound but half-boiled water will make
lots of noise,” Demikian penjelasan Camellia Siow.
Sebelumnya saya hanya bisa
menebak suhu air dengan melihat besaran gelembung udara yang dihasilkan ketika
air mulai menggelegak menuju titik didih.
Ternyata untuk beberapa
ketel, besaran gelembung udara tidaklah selalu dapat mereprentasikan suhu.
Ketika menggunakan ketel kuningan masih terdapat gelembung udara, tetapi ketika
menggunan Tetsubin gelembung udaranya sangat sedikit.
Dengan suara, kita dapat
memperkirakan air bersuhu 75 derajat. Suara air yang akan mendesis seperti wind blowing through
pine leaves, angin berdesir diantara daun-daun pinus.
Suara
mendesis seperti spring water spurting out of the stone,
mata air memancar dari
bebatuan, kira-kira suhunya sekitar
be 85˚C
Sedangkan bila
suara air mendesis lebih keras seperti waves crashing on the shore, ombak memecah lautan, itu suhunya sudah
lebih dari 90 Derajat.
Tentunya butuh
latihan dan jam terbang tinggi untuk dapat menggunakan cara ini.
Dalam
kesempatan itu, Camelia juga mengajarkan saya menyeduh puerh dengan benar.
“You should
arrange the speed of tea pouring”, kata dia.
Kalau menunggu
hitungan hingga 30 detik, Puerh akan overbrew, Tetapi cara yang benar sambil
dituang, dan memperhatikan warna dari seduhan. Ketika masih agak bening, atur
keluar air dari corong perlahan-lahan, tetapi ketika sudah mulai menghitam
segera tuang sisa teh dari dalam teko.
. Aroma
Dancong langsung familiar di indera penciuman saya, ketika Camelia menyeduh teh
kedua.
“Is it Dancong?”,
saya menegaskan.
“You are
correct”
After taste
mirip buah lychee yang manis, membuat teh ini begitu istimewa.
Seduhan
berikutnya, saya cukup mengenalnya juga. Lap Sang Sou chong.
“Lap Sang Sou
Chong?” Saya menebak lagi.
“Correct
again”
Lap sang Sou
Chong memiliki aroma yang khas. Beberapa orang mengatakan seperti pernis.
Tetapi keunikan taste dan aroma membuat banyak orang menyukai teh ini termasuk
saya.
Demikianlah,
malam itu kami lewati penuh dengan ilmu dan kebahagian menghirup aroma teh dan
menikmatinya bersama para master.
Dan beruntung
saya mendapat kenang-kenangan satu can Dong Ding, dari Camelia. Begitu juga
teman-teman lain, mendapat teh masing-masing. Sungguh malam yang menyenangkan.