Di tambah lagi fasilitas Hotspot, membuat pengunjung semakin dimanjakan. Sembari ngeteh, memilih aneka pilihan makanan yang cukup lengkap, dapat browsing secara gratis.


Kedai Teh Laresolo
Mengingat jenis teh yang sangat beragam dengan rasa, aroma dan khasiat nya, tentu anda bingung kira kira jenis teh apa yang paling cocok untuk anda. Hm, daripada bingung, langsung saja kita menuju ke Kedai Teh Laresolo. Sebuah kedai sederhana yang terletak di tengah taman nan hijau dan teduh di kota Bogor Jawa Barat.
Mengapa saya ajak anda kemari? karena disini terdapat banyak sekali koleksi teh dari berbagai negara termasuk aneka teh Premium Indonesia yang di hunting sendiri oleh Pak Bambang pemilik Kedai Laresolo hingga ke pelosok kampung di Indonesia. Jadi, disini anda bisa menikmati aneka rasa teh sebelum anda benar benar memutuskan untuk ‘tahu’ selera teh anda adalah yang seperti apaVIVAnews - Teh, orang bilang, menyimpan harapan. Sejarah keberadaannya yang berusia ribuan tahun serta menyentuh begitu banyak kebudayaan telah membuatnya begitu berwibawa. Tapi kurangnya pengetahuan masyarakat kita terhadap berlapis-lapis varian teh menyebabkan apresiasi terhadap minuman ini begitu rendah. Sementara di beberapa tempat kehadiran teh senantiasa dinantikan dengan penuh debar dan dibarengi upacara istimewa - misal Inggris, Cina, atau Jepang - kita kerap menganggapnya tak berharga.
Ada yang mengatakan bahwa seorang tea taster adalah memang dilahirkan. Kepekaan indera perasa dan penciuman adalah sebuah bakat. Apakah benar demikian, masih dapat diperdebatkan. Beberapa orang memang memiliki kepekaan dan memory yang sangat kuat terhadap aroma dan rasa. Cerita tentang si kecil Bitha, mungkin bisa menjadi contoh.
Seperti biasa, pada hari minggu, saya buka mulai jam 8 pagi. Ketika sedang membuka saung, di tenda seberang kedai saya duduk sebuah keluarga yang sedang memesan mie ayam. Sang Ibu, bertanya kepada saya, apakah saya menjual minuman teh ready to drink (sambil menyebutkan merk terkenal).
"Oh kebetulan tidak ada ibu. Tetapi kalau es teh dingin, bisa saya sajikan", jawab saya. Sang Ibu setuju.
Saya lalu tawarkan lagi, kalau suka aroma mint, saya juga dapat menyajikan teh hijau mint dingin ditambah kulit lemon.
Lagi2 sang ibu mengiyakan.
Mungkin karena merasa cocok tehnya, mereka sekeluarga pindah tempat di kedai saya.
Pak Herry, demikian nama dari kepala keluarga tersebut, mengajak 2 anaknya, Bitha dan Farhan. Bitha yang kecil tampak menyukai tehnya, tetapi tidak dengan Farhan. Pak Harry minta rekomendasi teh yang lain.
"Bapak, suka teh manis dengan aroma kuat?", tanya saya.
Ketika pak Harry mengiyakan, saya tawarkan Earl Grey, dan saya minta cium dulu aromanya, apakah cocok atau tidak.
Berdasarkan pengalaman saya, para newbie teh, biasanya menyukai Earl Grey. Benar saya, tawaran saya langsung disambut dengan suka cita. Lagi-lagi Bitha menyukai, tetapi tidak berlaku buat Farhan.
Saya bertekad untuk meluluhkan hati Farhan. Saya suruh dia coba cium aroma Red Berry, salah satu koleksi Tisane saya yg cukup banyak penggemarnya. Tetap saja, Farhan tidak suka. Wah, tampaknya Farhan tidak suka flavouring. Saya, mesti kasih dia coba aroma teh asli. Saya keluarkan Sencha Jepang. Ternyata Farhan tetap saja tidak suka. Saya nyerah deh.
Yang mencengangkan adalah komentar Bitha ketika mencium aroma Sencha.
"Ma, kok seperti bau rumput laut?"
"Emang Bitha tahu bau rumput laut?", tanya mamanya.
"Khan pernah dikasih teman waktu itu"
Amazing! Bitha baru sekali mencium aroma rumput laut, dan dia tetap mengingatnya. Masih banyak para newbie pecinta teh yang masih belum dapat merasakan aroma teh Jepang ini.
Bitha, probably she was born to be a real taster.
Beberapa waktu yang lalu saya iseng-iseng googling teh premium
Saya ketika di searching keyword “Orange Pekoe
Tidak berapa lama kemudian, Google menginformasikan adanya situs tentang Orang Pekoe Malabar. Wah tentunya ini sangat menarik. Tenyata Malabar, ada memproduksi teh Orange Pekoe. Ketika saya klik, ternyata teh tersebut dijual di Paris. :-(
Ternyata orang perancis banyak yang menyukai teh hitam grade orange pekoe. Belum lama ini, dikebun teh Dewata, saya bertemu dengan Franquize. Beliau adalah seorang penulis, yang juga pecinta teh. Dia membawa sample teh dari Malabar untuk kami coba bersama-sama. Sample yang dia bawa, adalah OPS atau orange Pekoe Souchung.
Di Paris, ada satu cafe teh yang cukup terkenal, yaitu Mariage Freres. Disana dijual teh-teh kualitas premium. Cafe ini cabang, salah satunya di Ginza Jepang. Belum lama ini rekan saya Ratna Somantri, berkunjung ke
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menuliskan pengalaman saya tasting white dari beberapa tempat, seperti Dewata dan Malino. Dalam tulisan tersebut, saya menjanjikan akan mengulas salah satu grade teh yang menarik, yaitu Grey Dragon.
Terus terang saya masih cukup bingung untuk mengklasifikasikan teh ini, dan bagaimana treatmen yang mesti saya lakukan.
Grey Dragon, terbuat dari pucuk daun teh yang belum mekar, sama seperti halnya white tea, hanya prosesnya yang sedikit berbeda. Grey Dragon mengalami semi oksidasi, jadi mirip-mirip teh Oolong. Tetapi tidak mengalami proses pelayuan seperti halnya teh Oolong. Dari bentuk dan warna, sebenarnya teh ini lebih cocok kalau masuk klasifikasi teh hitam. Bukan sekedar Orange Pekoe, menurut saya mestinya bisa disamakan dengan grade STGFOP (Super Tippy Golden Flower Orange Pekoe). Tetapi bedanya, proses produksinya tidak sama dengan teh hitam. Bingung bukan....
Warna teh ini sangat menarik. Warna ungu kehitaman dengan seleret putih di tengahnya. Bentuknya yang runcing seperti jarum, dan agak melengkung, memang memberi kesan seperti bentuk naga. Ditambah seleret putih, memberi kesan perut. Jadi memang cocok, kalau disebut sebagai Grey Dragon. Dari sebuah sumber, saya mendapatkan info, bahwa teh Grey Dragon ini telah menjadi salah satu koleksi dari Mariage Freres. Cukup membanggakan bukan.
Mengenai treatmen menyeduh teh ini, saya diberitahu oleh pak Iskandar salah satu pejabat dari PTPN 8, bahwa teh ini diseduh dengan air mendidih 100 derajat.
Jadi treatment yang dilakukan kurang lebih mirip dengan teh hitam. Dibanding teh dengan White tea, aromanya tentu masih kalah. Bingung juga kenapa bisa begitu, mengingat dari material yang sama. Rasanya sedikit ada kemiripan, hanya grey dragon karena semi fermented, jadi lebih bold. Dengan seduhan yang tepat, bisa didapatkan slighty rasa antara lengkeng dan lechy.
Mungkin judulnya sedikit lebay. Judul ini saya buat karena terinpirasi dari cerita tentang permen segala rasa di buku Harry Potter. Dalam Novel tersebut, diceritakan bahwa tiap permen yang dimasukkan kemulut, memberi kejutan rasa yang berbeda-beda. Teh ini, sesuai dengan namanya, Unitea, merupakan campuran dari tiga macam teh, yaitu Oolong, Hijau dan White tea. Teh ini dapat juga disebut sebagai unik tea. Karena, memang unik.
Keunikan pertama adalah, campuran teh ini sedikit keluar dari pakem. Blend tea, biasanya menggunakan teh dari jenis yang sama. Jadi teh hijau blend dengan teh hijau, atau dengan herbal lain. Misalnya teh hijau dengan daun mint.
Semula sedikit bingung, bagaimana cara seduh teh ini. White tea dan green tea biasanya diseduh menggunakan air sekitar 70 derajat, sedangkan Oolong, membutuhkan air yang lebih panas, sekitar 90 derajat.
Ketika saya tanyakan kepada pak Mustopha dari PT. Chakra (beliaulah yang mengkreasi teh ini), saya diberitahu untuk di treatment seperti halnya teh hijau. Oolong yang digunakan, masih kategori Oolong green, begitu asalannya.
Keunikan lain adalah, ketika kita menyendok teh untuk diseduh, akan tersusun komposisi yang berbeda untuk teko yang lainnya.
Kebetulan sendok saya mendapatkan komposisi Oolong yang lebih banyak, beberapa helai white tea dan teh hijau.
Ketika saya seduh, rasanya memang dominan Oolong. Rasa fruity, cukup menonjol, tetapi ada litle bit bitter khas teh hijau. White tea, kurang begitu terasa, karena kebetulan komposisinya tidak terlalu banyak.
Jadi itu yang saya maksud teh segala rasa. Anda bisa mendapatkan seduhan yang berbeda dari tiap takaran sendok teh yang diambil.
Pada awalnya, sebenarnya saya kurang begitu suka dengan aroma mint. Sampai akhirnya, saya mencoba teh yang diblend dengan daun mint, selera saya jadi berubah.
Saya pertama kali mengenal blend teh dengan daun mint, ketika ada acara Warna-warni teh Indonesia, dimana pada waktu itu bekerja sama dengan jalansutra, saya dan Ratna Somantri ikut pameran dan mengisi talk show tentang teh.
Salah satu koleksi teh Ratna Somantri yang dipamerkan saat itu adalah Morrocan mint tea, keluaran Twinning. Morrocant mint Twinning merupakan blend teh hijau grade Gun Powder1, dengan daun mint kering. Satu hal yang membanggakan (atau mungkin menyedihkan), teh yang digunakan, produksi perkebunan teh Dewata di daerah Jawa Barat.
Morrocan mint, merupakan teh yang sangat digemari dan menjadi budaya ngeteh tersendiri di daerah Afrika Utara dan sebagian Arab. Teh ini disebut sebagai Tuareg Tea. Dalam dialel Arab disebut sebagai Attay
Teh yang digunakan adalah teh hijau pan Frying, grade Gun Powder atau Chunmee, kemudian ditambahkan daun mint segar dan gula. Cara penyeduhan, kurang lebih sama dengan penyeduhan teh wangi ala
Step pertama penyeduhan, mirip dengan penyeduhan teh china, seduhan pertama dibuang airnya untuk menghilangkan debu yang timbul akibat rusaknya teh selama transportasi, dan juga sedikit mengurangi rasa sepat. Kemudian ditambahkan gula dan daun mint segar, seduh sekitar 3-menit, tuang ke gelas. Terkadang dari gelas, tuang kembali ke teko, tuang ke gelas, diulang sampai tiga kali supaya rasanya lebih tercampur.
Teko yang digunakan adalah teko tradisional dengan leher panjang berbentuk V. Dengan teko model seperti itu,memungkinkan teh dituang ke dalam gelas kecil dari ketinggian sekitar ½ meter, sehingga teh yang tertuang di cangkir akan sedikit muncul busa dipermukaannya.
Saya mulai menyukai mint tea, ketika bersama teman-teman dari milist pecinta teh berkunjung ke kebun teh Dewata, sebelum terjadi bencana longsor. Disana kami disuguhi teh hijau Yabukita, dengan ditambahkan daun mint segar. Entah karena suasana yang dingin, daun mint terasa sangat menyegarkan dan membuat lebih fresh.
Pada waktu itu saya juga baru tahu, kalau ternyata di
Beberapa waktu yang lalu, pak Robby Baddudin, pemilik kebun teh Dewata, memberi saya sample Teh hijau mint produksi mereka sendiri. Berbeda dengan Morrocan minta buatan Twinning, grade yang digunakan kali ini adalah Chunmee. Sedangkan daun mint yang digunakan diambil dari kebun sendiri, yang kemudian dikeringkan.
Perbedaan Gun Powder dan Chunmee adalah bentuknya. Gun Powder berbentuk bulat-bulat, sedangkan chunmee bentuknya memanjang. Ketika saya buka kemasannya, aroma mint langsung menyeruak menyegarkan.
Segera saya siapkan air mendidih untuk menyeduhnya. Saya bilas sebentar dengan air mendidih untuk mengurangi debu remukan teh yang rusak. Karena saya tidak minum teh manis, lama seduhan Cuma sekitar 90 detik saja. Dengan waktu seduh 90 detik, aroma teh dan mint sudah keluar, tetapi rasa sepat khas teh hijau assamica tidaklah terlalu mengganggu. Kecuali kalau memang mau ditambahkan gula, seduhan bisa dilakukan 3-5 menit.
Segar sekali rasanya. Aroma mint dan rasa khas sepat teh
Sebenarnya anda bisa menambahkan sendiri daun mint segar kedalam teh hijau anda. Cuma agak hati-hati, jangan sampai daun mintnya kena panas langsung. Ini akan mengakibatkan daun mint berwarna kehitaman, dan baunya agak kurang menyenangkan. Sedikit kelemahan menggunakan daun mint segar, teh tidak bisa diseduh lebih dari satu kali. Seduhan kedua, aroma daun mint sudah kurang nyaman. Kecuali anda ganti daun mintnya dengan yang baru.
Tampaknya white tea akhir-akhir ini sedang naik daun. Kandungan EGCG yang tinggi, yang bermanfaat untuk aktioksidan, banyak yang mengasosiasikannya bermanfaat buat kecantikan. Banyak sekali produk komestik yang menambahkan kandungan white tea ke dalam produk mereka. Mungkin saja ada benarnya, mengingat antioksidan bermanfaat buat penangkal kerusakan sel dari pengaruh radikal bebas. Dengan dijaganya sel-sel dari kerusakan, white tea dipercaya dapat membuat awet muda.
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa white paling banyak bermanfaat sebagai anti kanker. Juga disebutkan bahwa white tea memiliki kandungan antiviral dan antibakterial lebih tinggi dibanding teh hijau.
Kepopuleran white tea, makin bertambah seiring dengan musibah yang menimpa kebun teh Dewata. Entah apa sebabnya dalam berita yang disajikan, disebutkan Kebun teh Dewata sebagai penghasil teh putih, walau sebenarnya kebun ini juga menghasilkan jenis teh lain seperti green tea Gun Powder dan juga Sencha. Bahkan beberapa orang yang baru saya kenal, dan ketika saya ajak ngobrol soal teh, mereka langsung menanyakan, apa itu teh putih. Saya katakan dari mana tahu tentang teh putih. Mereka jawab, dari berita di Televisi yang meliput musibah longsor di kebun teh Dewata.
Tak kurang dari Malino Tea rupanya juga mencoba membuat white tea. Beberapa waktu yang lalu saya sempat di Undang oleh salah satu direksi dari Malino, ibu Diah untuk diperlihatkan hasil percobaan produksi teh putih mereka.
“Apakah white tea harus selalu putih?”, demikian pertanyaan pertama yang tercetus. Pertanyaan itu muncul, karena white yang diperlihatkan kepada saya berwarna kehitaman, dengan seleret putih, yang mengingatkan saya dengan Grey Dragon punya kebun teh Dewata (tulisan berikutnya saya akan mereview tentang Grey Dragon ini).
Logikanya, disebut white tea, dikarenakan warna daun teh keringnya berwarna putih keperakan. Di China white tea disebut sebagai Yinzhen, kalau diartikan dalam bahasa Inggris disebut sebagai Silver Needle. Bentuknya yang runcing seperti jarum, dengan warna putih keperakan.
White tea dari Malino ada dua macam, yaitu dari varians Assamica Klon TRI, dan varians Sinensis dari klon Yabukita. Saya teringat, bahwa saya juga memiliki stock white tea Sinensis dari Fujian China, dan Assamica dari Dewata. Semula saya mengira klon yang digunakan oleh Dewata adalah Klon Gambung, seperti kebanyakan kebun teh
Supaya tahu perbedaan dari masing-masing white tea tersebut, saya lakukan tea tasting bersama-sama. Dari beberapa pengalaman saya, ternyata treatment penyeduhan white tea assamica dan sinensis sedikit berbeda. Untuk Assamica, lama brewing cukup 3 menit. Lebih dari itu akan overbrew, dan menimbulkan astringency yang kurang menyenangkan. Sedangkan untuk varians Sinensis, justru 3 menit, belum keluar semua rasa dan aroma. Minimal seduh 5 menit, baru keluar semua.
Supaya lebih adil, membandingkan dari dua jenis varians yang sama. Jadi pertama-tama saya seduh white tea assamica TRI dan Dewata 27.
Secara appearance, Dewata 27 paling cantik. Teh hanya terdiri dari pucuk daun yang masih kuncup, dengan warna putih jernih. TRI, seperti yang saya ceritakan di awal, tampaknya memang teroksidasi, sehingga warnanya kehitaman. Walaupun begitu, secara aroma memang wangi sekali, mengingatkan saya wangi rose, hanya sedikit grassy.
Warna seduhan, Dewata 27 kelihatan jernih dan bening, sedang TRI putih kecoklatan.
Untuk rasa, saya membenarkan pendapat beberapa teman mengenai white tea assamica, ada rasa buah lengkeng. Apalagi ketika sedikit bersendawa, rasa buah lengkengnya terasa banget. Beberapa orang luar, mengatakan rasanya Peachy. Mungkin karena mereka belum kenal buah lengkeng ya, tahunya buah peach. Kalau dibandingkan dengan rasa peachy di teh
Sedang TRI, rasa fruity ada Cuma perbendaharaan memory saya belum ketemu buah apa yang pas. Aroma wanginya terasa panjang, tetapi juga grassy.
Rasa grassy, mungkin karena proses pengeringan yang belum sempurna. Hal ini juga tampak dari daun teh kering yang terasa agak lembek belum terlalu kering. Mengingat ini masih percobaan, dan kondisi cuaca juga tidak bagus, mungkin saya hasil percobaannya belum terlalu sempurna.
Berikutnya saya seduh white tea dari
Untuk lebih mudahnya White tea
Warna Yinzhen putih sedikit kehijauan. Beberapa daun sedikit hancur. Kemungkinan karena pada saat terima kondisinya dipacking dengan sistem vakum. White tea memang sangat rapuh banget, kalau divakum akan banyak yang hancur. Yabukita white, kondisinya sama mirip dengan TRI, tampak teroksidasi.
Warna seduhan Yinzhen, bening, sedikit kuning keemasan. Warna Yabukita white, lebih tebal cenderung kekuningan. Aroma seduhan, tidak seperti white tea lainnya yang biasanya flowery, Yinzhen jutru aromanya nutty, demikian juga rasanya, dan diakhiri dengan rasa manis. Rasa Nutty, sangat mirip dengan Longjing, dari Huang Zhou. Dari beberapa pengalaman saya menyeduh green tea dari
Sedangkan rasa Yabukita juga cukup manis.
Kebetulan tema gathering dari milist pecinta teh adalah White tea, nanti saya akan membawa teh ini untuk dicoba bersama-sama. Kalau dulu pernah dilakukan tea tasting white tea dari beberapa grade (semuanya sinensis), seperti Yinzhen, Bai Mudan, Shou Mei, gathering nanti juga akan dicoba White tea dari varians yang lain.
Sedikit catatan mengenai perbedaan white tea varians Assamica dan Sinensis. Untuk takaran, tetap digunakan takaran yang sama, dan jumlah takaran 2 kali dari takaran teh jenis lainnya. Waktu seduh Assamica cukup 3 menit seduhan pertama, dan hanya enak diseduh 2 kali saja. Seduhan kedua bisa 4 menit. Seduhan ketiga, biasanya rasa sepetnya sudah cukup mengganggu. Hanya sebagian orang justru suka dengan rasa sepet ini. Selain itu, rasa sepet bisa juga sebagai pertanda bahwa kandungan katekinnya tinggi. Dalam tulisan terdahulu, pernah saya singgung, bahwa kandungan katekin teh
White tea varians Sinensis, seduhan pertama minimal 5 menit, dan dapat diseduh ulang 3-4 kali. Untuk aroma, saya lebih suka varians assamica, karena aroma wanginya sangat kuat. Hanya untuk rasa dan after taste varians Sinensis tidak ada rasa sepet yang bagi saya terkadang cukup mengganggu.