Wednesday, 9 April 2008

Antara Yabukita dan Assamica


“Emang teh hijau yang gimana sih pak? Apakah tehnya masih berupa daun seger hijau gitu?”, Pertanyaan salah seorang pembaca blog saya via email mengundang senyum simpul saya. Bukan, saya bukan sedang mentertawakan ketidak tahuan dia, bukan itu maksud saya. Sebaliknya saya malah sedang mentertawakan diri sendiri, karena dulu saya juga berpikiran seperti itu. Teh hijau dalam benak saya adalah daun segar, langsung direbus, dan airnya disajikan seperti halnya teh biasa.

Ternyata saya tidak sendirian. Dan perkembangan berikutnya pengetahuan tentang teh saya, melewati beberapa tahapan, yang terkadang salah kaprah.

Pertama, saya mengira teh wangi melati itu adalah teh hitam, karena warna daun tehnya memang hitam. Dan ternyata saya tidak sendirian lagi, malah lebih banyak temannya. Padahal, faktanya teh wangi melati adalah teh hijau, karena memang proses produksinya melalui tahapan seperti halnya produksi teh hijau. Kedua, saya pernah mengira kalau Oolong adalah sebuah merk teh dari China. Dulu, setiap makan dirumah makan china, dengan pongah dan sok gaya saya selalu bertanya kepada Waitress, “Chinese teanya merk Oolong bukan?” Haiya.. Pada akhirnya ketika tahu kalau Oolong adalah salah satu jenis teh berdasarkan proses produksi, saya jadi malu hati. Penyakit orang bodoh memang selalu berlagak sok tahu dan sok pintar.

Ketiga, saya pernah mengira kalau Peko adalah sebuah merk teh hijau. Padahal, Peko atau sering ditulis sebagai Pekoe adalah pucuk daun teh yang selalu menandakan kualitas bahan teh yang dipakai.

Keempat, semakin dalam saya mempelajari teh, semakin saya menyadari bahwa ilmu tentang teh, luasnya jauh dari total kebun teh diseluruh dunia.

Okay, sebelum ngelantur terlalu jauh sampai ke kebun kopi ..;-), cerita saya arahkan kembali kepada si teh hijau.

Teh ini memang sedang naik daun. Teh hijau adalah salah jenis teh dimana pada proses produksinya tidak mengalami fermentasi. Sering kali saya ditanya, emang teh mengalami fermentasi? Katalisnya apa?

Memang istilah fermentasi dalam teh agak sedikit menyesatkan. Padahal yang terjadi adalah proses oksidasi. Kalau dalam bahasanya orang kimia kira-kira akan di definisikan seperti ini: reaksi oksidasi senyawa Polyphenol yang ada di dalam daun teh oleh enzim polyphenol oksidase yang dibantu oleh oksigen dari udara. Artinya, dalam teh hijau, enzim polyphenol tidak mengalami oksidasi, berarti kandungan polyphenolnya jauh lebih tinggi dibanding dengan teh hitam. Untuk menghentikan proses oksidasi, daun teh yang telah dilayukan langsung dipanaskan.

“Dipanaskan dengan apa? Lho-lho ini dimana? Di Jepang atau di China?”

Ya, proses penghentian oksidasi memang ada dua macam. Kalau di China dilakukan dengan pan frying. Beberapa home industri langsung digoreng kering (di gongso) begitu saja di atas wajan. Malahan untuk jenis teh Long Jing, teh digoreng dengan tangan kosong biasa.

Dalam produksi skala besar, bisa dilakuan dengan pan Frying, yaitu daun teh dilewatkan dibawah cylinder panas.

Sedangkan untuk teh hijau jepang, proses penghentian oksidasi dilakukan dengan cara steaming.

“Apakah teh jepang dan china sama dengan teh Indonesia?”

Pada awalnya memang sama. Menurut sejarah teh Indonesia, yang pertama kali dibudidayakan di Indonesia adalah teh China, karena teh china dianggap sebagai teh hitam. Dan memang pasar yang dituju adalah pasar Eropa, dimana mereka lebih menyukai teh hitam. Sedangkan teh Jepang dianggap sebagai teh hijau.

Baru pada tahun 1845, seorang ahli botani dari Inggris yang bernama Robert Fortune, menyimpulkan bahwa teh hijau atau hitam, bukan berdasarkan bibit pohon teh yang ditanam, melainkan dari proses produksinya. Jadi apapun jenis bibitnya, bisa digunakan sebagai teh hijau atau Jepang.

“Emang ada berapa jenis bibit pohon teh”

Secara garis besar bibit pohon teh dihasilkan dari Camelia Sinensis. Ada dua Varians yang dikenal, yaitu varians Sinensis dan Assamica. Ada juga yang mengatakan di Myanmar ada satu varian lagi yaitu Varians arrawadimis.

Pada tahun 1872, pemerintah belanda secara berangsunr menggantikan bibit pohon teh china yang di tanam di Indonesia (Varian Sinensis), dengan varians Assamica yang didatangkan dari Srilangka. Varians ini jauh lebih disukai di pasar Eropa. Dan semenjak itu hampir seluruh teh di Indonesia adalah varians Assamica.

Seiring dengan meningkatnya trend teh hijau, beberapa perusahaan teh mencoba menanam varians sinensis dengan klon Yabukita untuk tujuan pasar Belanda. Contoh perusahaan teh yang melakukan hal ini adalah Malino (pertama kali menggunakan bendera Nittoh Malino), yang melakukan cultivasi di daerah Malino, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. PTPN VIII juga melakukan hal sama dengan melakukan cultivasi di daerah Cisaruni Tasikmalaya. Di pasaran lokal, teh hijau PTPN VIII dipasarkan dengan merk Teh hijau Walini.

Untuk saat ini, teh hijau Malino masih mendapatkan peringkat pertama untuk jajaran teh hijau Indonesia di lidah saya. Sebagian teh hijau Indonesia lainnya yang saya coba memiliki kelemahan di rasa getir atau sepet yang sangat. Rasa sepet yang khas dari teh hitam dengan varians Assamica.

Semula saya mengira rasa getir ini dikarenakan dari kualitas daun yang digunakan. Ketika saya mencoba sample teh hijau premium dari Tongtjie (begitu yang dikatakan oleh penjualnya) dengan harga 55 ribu/100 gram, yang merupakan teh hijau Indonesia yang cukup mahal yang pernah saya beli, rasa getir tersebut tetaplah ada. Rasa getir ini yang tidak saya dapatkan di teh hijau Malino.

Pada kesempatan lain, saya juga mendapatkan sample teh dari Cisaruni. Untuk mendapatkan perbandingan, langsung saya coba taste berbarengan dengan teh hijau Malino.

Secara kualitas ukuran daun kering, teh hijau Malino jauh lebih unggul, karena masih berbentuk daun lurus panjang, dengan warna hijau tua, khas dari teh sencha Jepang. Sedangkan teh hijau Cisaruni, ukuran daunnya lebih kecil. Warna daun teh kering berwarna kecoklatan.

Ketika diseduh, air seduhan Cisaruni berwarna kuning kecoklat, sedangkan teh hijau Malino berwarna hijau bening. Aroma daun teh kering Cisaruni beraroma khas teh hijau jepang, yaitu aroma rumput laut, walau tidak terlalu nyata. Tetapi ketika diseduh aroma itu tidak terasa lagi. Rasanya cenderung pahit dan getir.


Teh hijau Malino baik daun kering maupun seduhan masih di dapat aroma rumput laut. Purna rasa yang manis, dan sama sekali tidak ada rasa getir seperti yang terdapat di teh Cisaruni.

Lho kenapa kalau sama-sama klon Yabukita kok rasanya jauh beda?

Rasa getir pada teh hijau Cisaruni, mengingatkan saya pada getir rasa teh hijau dari varians Assamica. Untuk sementara saya dugaan saya adalah teh hija Cisaruni tidak 100% digunakan klon Yabukita, melainkan masih dicampur dengan varians Assamica. Itu sebabnya aroma khas dari Yabukita masih terasa, sedangkan rasanya masih rasa varians Assamica.

Jadi untuk saat ini, teh hijau Malino masih tetap menjadi teh hijau Indonesia yang terbaik.

3 comments:

Anonymous said...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/makanan_minuman/antara_yabukita_dan_assamica/

Anonymous said...

Dimana beli membeli teh malino di Indonesia atau Medan khususnya.

Bambang Laresolo said...

Dear reader,
Teh ini tampaknya masih dipasarkan sangat terbatas di mini market Jepang. Belum di retail secara luas.