Saturday 4 December 2010

Outlet di Jogja Bogor Junction

Mulai tanggal 22 November, Kedai teh Laresolo memiliki outlet baru. Tepatnya di Rafles Food Life, Jogja Bogor Junction. Tempatnya yang cozy, dengan design interior vintage, cocok menjadi pilihan outlet baru saya.

Di tambah lagi fasilitas Hotspot, membuat pengunjung semakin dimanjakan. Sembari ngeteh, memilih aneka pilihan makanan yang cukup lengkap, dapat browsing secara gratis.

Kedai teh Laresolo at Tweeter

Walau belum jadi trending topik, melihat tweet para pelanggan kedai teh laresolo, senang juga.

  1. adisisjasmine Okay. Preparing.. Mandi, solat, makan, dandan yg cantik, then kumpul bersama teman-teman dan.. Mmmh hem hahaha wait me at @laresolo guys ;)
  2. Adisty Primatya adisisjasmine Sebentar lagi sampai bogor langsung bergegas heading to kedai teh @laresolo!!! Iiihay punya twitter hehe
  3. bunga fatimah bungafatimah Gw gak kuliah kali del. Hahaha @laresolo jd rame yah, hahaRT @fadelgnrdi: @bungafatimah hahaha gw ada aja,lu sibuk kuliah yah?
  4. bunga fatimah bungafatimah @laresolo wah tentu tidak salah seduh om,sayakan handal..hehee ,orang rumah pd suka om, mantabh! Ohh ya bunga blm bk fb nnti sya app
  5. Egie Hendriawan eggiegoy I'm @Laresolo
  6. bunga fatimah bungafatimah @laresolo ..
  7. megawati iskandar megaaisk Jd ora? RT @bungafatimah: Pgn beli french fries mcd yg medium trus sambil nge teh di @laresolo beuh mantab!
  8. bunga fatimah bungafatimah Pgn beli french fries mcd yg medium trus sambil nge teh di @laresolo beuh mantab!

Friday 1 October 2010

White Puerh

Mendengar kata teh Puerh, bagi yg pernah meminumnya, langsung terbayang konde
atau batu bata hitam, dengan aroma apek kayak karung goni.

Tidak banyak yg dapat menikmati puerh, karena aromanya yg kurang enak tadi.

Puerh adalah sebuah teh yang unik. Kalau teh lain kualitasnya akan menurun
sejalan dengan waktu, sebaliknya puerh tertentu, makin lama makin berkualitas
dan makin mahal harganya.

Salah satu keunikan dan menjadi ciri khas dari puerh adalah, walau diseduh
sebentar, warnanya akan menjadi pekat, tetapi tidak ada rasa pahit atau sepat.
Yang mengganggu cuma aromanya tadi. Keunikan lain adalah teh ini tahan seduh.
Artinya diseduh berkali-kali, kualitas rasa dan warna air tidak mengalami
perubahan yg significant.

Salah satu penikmat Puerh adalah sobat dan pelanggan kedai teh saya: Marchel.
Baik saya dan Marchel, diam2 sepakat, kalau sifat tahan seduh Puerh dikarenakan
proses agingnya. Dan akhirnya, kami juga sepakat, bahwa dugaan itu ternyata
keliru. Sifat tahan seduh Puerh merupakan DNA dari Puerh itu sendiri.
Kesimpulan itu kami ambil setelah kami berdua mencoba white Puerh.

Sesuai dengan namanya, teh ini berwarna putih, berbentuk lempengan bulet. Kalau
Puerh biasanya dibuat dari daun yg cukup tua, white puerh terbuat dari bud,
tepatnya tiga pucuk daun pertama yg masih kuncup. Ampas hasilnya seduhan,
bentuknya mirip lungching preming, sekalipun tiga daun, tetapi tetap muda,
bedanya ukurannya lebih besar.

Semula kami bimbang, menentukan treatment bagaimana yg mesti dilakukan untuk
menyeduh teh ini. Menimbang daunnya yg muda, akhirnya kami putuskan memakai suhu
80 derajat, lama seduh 25 detik.

Kami sempat tidak percaya, kalau yg kamu minum adalah puerh. Betapa tidak, aroma
flowery dan rasa fruity dari teh ini jauh dari karakter puerh yg kami kenal.
Aromanya mengingatkan saya pada wangi Lavemder. Hanya ketika dibandingkan dengan
Lavender kering, ternya berbeda. Entahlah, saya belum menemukan padanan yang pas
untuk aromanya. Seduhan kedua, ketiga berjalan lancar, dengan aroma dan rasa
yang tidak berubah.

Menjelang seduhan keempat, rupanya Marchel makin penasaran.
"Coba pakai air mendidih mas".
Hasilnya cukup mencengangkan. Ketika dituang air mendidih, flowery langsung
keluar. Rasa juga lebih kuat.
Tidak cukup sampai disitu, seduhan ke lima Marchel minta brewing timenya
dipanjangin menjadi 3 menit. Amazing, rasa dan aroma tetap bagus, tanpa ada rasa
pahit sedikitpun.

Seduhan keenam, kembali ke hitungan detik, rasa dan aroma tidak mengalami
penurunan yang signifikan.

Sampai seduhan ke tujuh, ternyata itu seduhan terakhir. Marchel bilang, sudah
cukup, sudah kembung, tidak perlu masak air lagi.

Karena masih penasaran, ampasnya saya bawa pulang ke rumah dan disimpan di
kulkas.

Ke esokan harinya saya seduh hingga empat kali rasa dan aroma masih cukup bagus.
Istri saya yang biasanya menganut madzab teh manis, cukup dapat menikmatinya.

Teh ini cukup worthed untuk dicoba. Materialnya yg terbuat dari pucuk daun teh,
menjamin kualitasnya. Hanya yang masih menjadi sisa pertanyaan, kualitas apakah
warna daun kering tetap putih, sejalan dengan waktu? Kualitas bakal naik atau
turun?
Saya belum mendapatkan informasi yang memadai untuk dishare. Sementara ini,
biarlah waktu yang menjawabnya.

White Puerh ini rencananya juga akan saya pamerkan di acara Bandung Tea Festival
tgl. 2-3 October. Mau nyicip? Sok Atuh ditungguan di Metro Indah Mall, jl.
Soekarno Hatta Bandung.

Thursday 23 September 2010

Kedai Teh Laresolo di Wisata Seru dot com


Saya mengenal Yuyun secara tidak sengaja karena menemukan tulisan tentang teh di blog dia http://wisataseru.com
Tampaknya dia seorang pecinta teh juga, jadi saya undang dia untuk mampir ke kedai saya. Senang rasanya kalau dapat berbagai. Berikut liputan dia:

Teh, merupakan salah satu minuman terbaik yang direkomendasikan untuk anda konsumsi setiap hari. Karena secara singkat, teh memiliki kandungan alami bebas lemak, kalori dan sodium yang berkhasiat untuk menyegarkan sekaligus menenangkan otak, memperbaiki ingatan, mengurangi resiko kanker dan serangan virus, menurunkan kadar kolesterol, memperbaiki kesehatan gigi bahkan dalam survei kebiasaan minum teh dalam memperbaiki kualitas hubungan dengan orang lain. Maka tak heran jika alasan yang terakhir ini bahkan digunakan sebagai alur cerita dalam sebuah iklan produk teh di media elektronik.


Kedai Teh Laresolo

Mengingat jenis teh yang sangat beragam dengan rasa, aroma dan khasiat nya, tentu anda bingung kira kira jenis teh apa yang paling cocok untuk anda. Hm, daripada bingung, langsung saja kita menuju ke Kedai Teh Laresolo. Sebuah kedai sederhana yang terletak di tengah taman nan hijau dan teduh di kota Bogor Jawa Barat.

Mengapa saya ajak anda kemari? karena disini terdapat banyak sekali koleksi teh dari berbagai negara termasuk aneka teh Premium Indonesia yang di hunting sendiri oleh Pak Bambang pemilik Kedai Laresolo hingga ke pelosok kampung di Indonesia. Jadi, disini anda bisa menikmati aneka rasa teh sebelum anda benar benar memutuskan untuk ‘tahu’ selera teh anda adalah yang seperti apa

selanjutnya dapat anda baca di sini

Sunday 12 September 2010

Oolong Ratu Bayah menurut pelanggan kedaiku

Ada salah satu pelanggan kedai teh saya yang masih cukup muda, Farid namanya. Pertama kali dia datang, langsung memesan white tea. Khawatir dia tidak mengerti atau kecewa ternyata rasa white tea tidak seperti yg dia harapkan, saya terangkan terlebih dahulu, bahwa teh ini tidak enak kalau digulain, warnya beningm dsb. Farid hanya tersenyum dan tetap memesan white tea. Semenjak itu, dia selalu datang untuk memesan white tea.

Pada suatu hari, ketika Farid tengah menikmati white teanya, saya sedang sample Oolong Ti Kuan yin. Saya ajak dia ikut menikmati teh tersebut.

Ternyata selama ini saya terlalu under estimate terhadap selera teh Farid. Dia memiliki ketajam lidah yg luar biasa. Ketika dia coba Ti Kuan Yin, dia langsung berkomentar:
"Kok kayak bau anggrek ya pak".
Saya cukup terkejut dengan pernyaatan Farid. Tidak banyak orang yg mampu mendeteksi aroma anggrek, secara tidak banyak juga anggrek yang beraroma.
Hanya anggrek tertentu yang mengeluarkan aroma wangi.

Untuk lebih meningkatkan apresiasi dia, saya berikan sebagian sample baru Oolong Banten tea dari pak Alex. Dia berkomentar lewat email.

Assalamua'laikum pak bambang, maaf sebelumnya saya Farid Wajdi , saya ingin bertanya kepada bapak tentang sampel teh yg pak bambang berikan pd hari sabtu malam kemarin. Jujur pak, Teh tersebut saya akui nikmat sekali diantara teh yang pernah saya cicipi, bahkan saya suka sekali dengan teh tersebut.
yang saya ingin tanyakan kenapa ya pak, pas saya dua kali meminum teh yg bapak berikan kpd saya, kepala saya jadi terasa pening.
apakah hal tersebut merupakan efek samping dari teh Oolong tersebut atau tubuh saya tidak cocok dengan teh tersebut?..tetapi teh tersebut dimulut saya mmg yang paling pas..
mohon penjelasannya ya pak bambang. hatur nuhun pak..

Ini kasus terbaru yang pernah saya dengar. Saya menduga dia penderita tekanan darah rendah. Hanya berdasarkan pengalaman, biasanya setelah minum teh hijau, mereka merasa kliyengan. Semula, saya menduga ini masalah sugesti saja. Walau, berdasarkan penelitian, kandungan Theanin dalam teh hijau memiliki kemampuan untuk menurunkan tekanan darah.

Untuk lebih menguatkan dugaan saya, saya minta Farid coba minum Unitea, dan melaporkan efeknya. Berikut laporan Farid dalam emailnya:

Iya pak saya mempunyai tekanan darah rendah yang saya derita semenjak dari SMP hingga sekarang.. kalau teh hijau yang saya minum itu tidak ada efek sampaing seperti kepala pening tersebut, ttp benar pak, saya sudah mencoba minum 2 kali, kepala saya langsung pening sehabis meminum teh Oolong tersebut.
untuk Unitea yang saya minum, tidak berdampak seperti halnya saya minum teh Oolong (tidak terlalu pening, ttp masih berasa pening sedikit) apakah kandungan teh Oolong tersebut tidak cocok dengan kondisi tubuh saya pak? ttp saya sangat menyukai Teh Oolong yg bapak berikan tempo hari.

Saya jg bingung pak knp hal tsb bs terjadi.. Yg pasti teh tersebut dimulut sy bnr2 yg paling pas deh,ya tp gitu abis minum malah kliyengan.. Teh nya enak pak,rasanya seperti kayak buah mahkota dewa dan sedikit rasa ketan.. oiya,,kira" setelah idul fitri kedai buka lg tgl brp pak?
Isyaallah nanti sy berkunjung lg ke kedai bpk.sy msh ingin berexplor ttg teh yg pas dgn sy..Hatur nuhun ya pak bambang.

Ini semua baru dugaan, belum ada bukti empiris bahwa rasa pening Farid disebabkab oleh turunnya tekanan darah. Ketika dia minum Unitea, dia mendapatkan efek pening yang lebih sedikit, kemungkinan besar karena di Unitea selain terdapat Oolong Banten tea, juga dicampur dengan teh hijau dan teh putih.

Perlu diekplore lebih lanjut, bila perlu mesti diukur tekanan darah sebelum dan sesudah minum teh. Juga dicoba Oolong jenis lain, apakah memiliki efek yg sama atau tidak.

Yang saya tidak mengerti adalah, kalau memang itu efek Theanine, kenapa Farid tidak memiliki reaksi yg sama. Kandungan Theanine dalam teh putih, cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding teh hijau.. Atau barangkali kandungan Theanine di Banten Tea cukup tinggi?

Barangkali PT. Harendong, selaku pemiliki kebun teh ini perlu membawa teh ke tempat pak Dadan di Gambung, untuk ditakar berapa persen kandungan Theanine, berapa persen kandungan katekin, dsb.

Yang perlu diketahui adalah, efek penurunan tekanan darah karena makanan bukanlah bersifat permanen. Seperti kambing misalnya, bagi penderita darah tinggi seperti saya, efek kenaikan tekanan darah setelah makan kambing, tetapi tidak berapa lama akan kembali normal. Inipun juga belum pernah diukur dengan alat tensi meter secara pasti, jadi terkadang saya masih menganggapnya sebagai sugesti.

Saya juga pernah membaca, teh hitam dengan konsentrasi kepekatan yang tinggi (berarti kandungan kafeinnya juga lebih tinggi), memberi efek menaikkan tekanan darah sementara.

Jadi sekalipun misalnya nanti terbukti, bahwa Banten tea ini memiliki efek menurunkan tekanan darah, tetap kontrol makanan dan olah raga, tetap dilanjutkan. Yang penting, jangan lupa minum teh minimal 4 cangkir sehari.

Tuesday 31 August 2010

Laresolo: Merayakan Khazanah Teh Dunia

Kedai Teh Laresolo at Vivanews

Kedai ini memiliki koleksi teh hijau, teh hitam, teh oolong dan teh putih cukup lengkap.
Senin, 23 Agustus 2010, 15:13 WIB Bonardo Maulana Wahono



VIVAnews - Teh, orang bilang, menyimpan harapan. Sejarah keberadaannya yang berusia ribuan tahun serta menyentuh begitu banyak kebudayaan telah membuatnya begitu berwibawa. Tapi kurangnya pengetahuan masyarakat kita terhadap berlapis-lapis varian teh menyebabkan apresiasi terhadap minuman ini begitu rendah. Sementara di beberapa tempat kehadiran teh senantiasa dinantikan dengan penuh debar dan dibarengi upacara istimewa - misal Inggris, Cina, atau Jepang - kita kerap menganggapnya tak berharga.

Di tengah tandusnya penilaian baik itu, Kedai Teh Laresolo seakan membawa terang dan meneruskan harapan. Tempatnya berdiri mungkin tak terlihat 'canggih' jika dibandingkan dengan kedai-kedai kopi nomor satu yang ada di Jakarta. Namun dari pojok yang bersahaja itu, di kompleks Agri Park, Taman Kencana, Bogor, nan teduh, para pengunjung dapat mencecap bentangan rasa teh yang didapatkan dari beberapa negara.

Warung yang disusun dari bilah-bilah bambu itu cukup memiliki koleksi lengkap teh hitam, teh hijau, oolong, serta teh putih. Sebut saja Ti Kuan Yin (Ti Guan Yin), teh oolong Cina kualitas premium dari provinsi Fujian yang termasyhur itu. Atau oolong Bengkulu, sebuah varian teh Indonesia yang juga punya posisi mulia di industri ini. Kita juga dapat dengan mudah memesan teh putih (white tea) ketika sudah di sana. Teh putih terbuat hanya dari pucuk dauh teh, yang jumlahnya, dalam satu pohon, sangatlah sedikit, sesuatu yang mendongkrak harga jualnya. Pue erh juga tak boleh alpa disebutkan. Di dunia teh, pu erh dapat disejajarkan dengan anggur (wine) dari segi lama penyimpanan. Laresolo menyediakan teh pu erh yang sudah berusia empat tahun. Pemilik kedai ini, yang nyaman dipanggil Bambang Laresolo, memiliki teh yang berusia 15 tahun.
"Suhu amat mempengaruhi proses penyajian teh," tukas Pak Bambang ketika meracik Wedding Imperial untuk saya. Teh ini berasal dari Sri Lanka dan diracik oleh pabrik teh ternama asal Perancis, Mariage Freres. Setiap jenis teh memiliki suhu ideal yang diperlukan untuk mengungkapkan kelebihannya. Jika suhu air terlalu panas, rasa dan aroma teh akan rusak. Karena itu, merebus teh dalam air mendidih adalah sebuah keteledoran, ungkapnya.

Teh putih, contohnya. Suhu air terbaik untuk menyiapkan teh jenis itu berkisar antara 70-80 derajat Celsius. Setelah itu, lama merendam daun teh pada air cukup antara 1 sampai 5 menit. Teh hijau hanya butuh air yang bersuhu kurang lebih 60-70 derajat Celsius. Teh hijau cukup ditenggelamkan selama satu hingga dua menit. Sementara teh hitam dan oolong dapat disiapkan pada suhu air 90-95 derajat Celsius.


Laresolo, yang secara harafiah berarti Bocah Solo, resmi menghuni Agri Park pada bulan Juni yang basah tahun 2010. Dengan luas sekitar 2x2 meter persegi, kedai itu bertetangga dengan sebuah kolam yang menenangkan serta sehimpunan rumah makan. Pada awalnya, kedai itu semata merupakan, seperti yang termaktub dalam blog-nya, "kedai virtual" yang hanya terlibat dalam interaksi di jagat maya. Sebagaimana pengakuannya, dari internet pula ia berkenalan dengan dunia teh, yakni di milis jalan-jalan dan makan-makan Jalansutra. Di milis itu ia bertemu dengan orang-orang yang membuka jalannya untuk menyelami lebih dalam hal-ihwal teh. Persinggungan yang kian intensif itu kemudian mendorongnya untuk sering berbagi pengalaman dan pengetahuannya tentang teh di Jalansutra.

Salah satu hal yang ia bagikan adalah khasiat teh. Pak Bambang mendedahkan bahwa masing-masing teh menyasar pada bagian tubuh yang berbeda. Sebagai misal, khasiat teh hijau berbeda dengan teh oolong. "Teh hijau banyak mengandung asam amino, karena itu dia berguna untuk otak. Ia juga baik untuk kulit wajah," terangnya. Sedangkan teh oolong banyak berguna untuk kesehatan jantung. Bagi anda yang memiliki masalah pencernaan, cobalah untuk mengonsumsi teh Pu Erh secara teratur sebab ia bertanggung jawab pada wilayah perut.

Kebiasaan berbagi itu terus ia salurkan di Kedai Laresolo. Jika kebetulan sedang ada di sana, ia tak sungkan menjawab berbagai pertanyaan tentang teh. Ia juga tak terlihat ragu untuk merekomendasikan teh yang kiranya akan cocok dengan lidah para pelanggannya. Ia mungkin menamai tindakannya sebagai kewajiban melayani. Saya menyebutnya hospitality.

Ada cerita menarik mengenai keramah-tamahan ini, yang kini kian langka di dunia kuliner. Suatu ketika, ia bercerita, ada seorang gadis SD datang ke sana dengan seorang temannya. Mereka berniat membeli. Si gadis menanyakan harga termurah teh di kedai itu kepada salah satu stafnya. Setelah dijawab, si gadis kemudian beranjak sambil berkata "oh, ya udah. nggak jadi. Uangnya kurang."

Pak Bambang sedang menyiapkan komposisi teh leci yang pas ketika mendengar itu. Setelah sedikit percakapan, ia memberikan teh leci itu kepada si gadis dan temannya. "Dia tamu spesial saya. Butuh keberanian dan passion untuk bertanya apakah uangnya mencukupi," jelasnya. Dua hari kemudian, sang gadis datang lagi ke sana dengan empat temannya. Dan kali itu, mereka membawa cukup uang.

Teh, memang, menyimpan harapan. Dengan mematok harga sekitar Rp 5.000 hingga Rp 15.000, Laresolo tidak hanya meluaskan cakrawala lidah kita akan kekayaan rasa teh yang tak tepermanai. Ia juga sekaligus menyinggung kita akan kenikmatan berbagi.

Saturday 28 August 2010

Es teh dan Batu ginjal


Tulisan di Vivanews mengatakan, di balik kenikmatan es teh menyimpan potensi merugikan bagi kesehatan. Penelitian Loyola University Chicago Stritch School of Medicine mengungkap bahwa konsumsi es teh berlebih meningkatkan risiko menderita batu ginjal.

Seperti dikutip dari laman Times of India, es teh mengandung konsentrasi tinggi oksalat, salah satu bahan kimia kunci yang memicu pembentukan batu ginjal. "Bagi mereka yang memiliki kecenderungan sakit batu ginjal, es teh jelas menjadi minuman terburuk," kata Dr John Milner, asisten profesor Departemen Urologi, yang tergabung dalam penelitian.

Milner mengatakan, teh panas sebenarnya juga menyimpan efek buruk yang sama. Hanya, takaran penyajian teh panas biasanya lebih kecil. Logikanya, orang meminum teh panas tak akan sebanyak minum es teh. Jarang orang yang mengonsumsi teh panas saat haus. Berbeda dengan es teh, di mana banyak orang sanggup meminumnya lebih dari segelas saat haus dan udara panas.

Benarkah demikian?

Sudah lama rumor mengenai efek negatif teh terhadap ginjal ini beredar. Sebagai pecinta dan peminum teh, saya merasa berkepentingan untuk meluruskan agar kita lebih bijak bagaimana menyikapi rumor tersebut.

Dari tulisan tersebut, dapat disimpulkan sebenarnya bukan masalah es
tehnya, tetapi kepekatan teh serta jumlah teh yg diminum. Dengan kata lain
jangan minum teh terlalu banyak. Dikatakan minum es teh bisa lebih dari satu
gelas, karena diminum saat haus. Lha saya minum panas, bisa satu teko sendirian,
haus atau tidak haus. Total jumlah teh yang saya minum dalam satu hari berkisar 1-2 liter. Bagaimana ini?

Kalau anda sempat membeli, silahkan cari buka Real Tea Real Hearat, karangan Prawoto Indarto. Berbagai rumor negatif teh dibahas dan dijawab dengan penuh masuk akal, termasuk teh dan efek buruk terhadap ginjal. Saya akan mencoba menyarikannya secara singkat.

Pertama pembentukan batu ginjal terjadi akibat garam dan mineral dalam urine
mengalami kristalisasi. Faktor kualitas air yang sangat berperan. Kepekatan
warna teh (thearubigin)
Sangat dipengaruhi oleh garam mineral dari air yg digunakan.

Kedua, ada jenis batu ginjal kalsium oksalat yg dihubungkan dengan kandungan
asam oksalat dlm teh. Dari penelitian yg pernah dilakukan, kemungkinan asam
oksalat dalam teh hitam membentuk batu ginjal sangat kecil. Bahkan, dari
penelitian yg dilakukan selama 2 minggu, peminum teh kadar asam oksalat dalam
urine sangat rendah.

Ketiga teh memiliki sifat diuretik, sehingga air selalu bergerak, dan
memperkecil kemungkinan terbentuknya kristal.

Ke empat, kandungan kreatin peminum teh tergolong rendah. Ini merupakan indikasi
sehatnya ginjal.

Saya minum teh dari kecil, dan pernah memiliki batu ginjal sehingga harus
dilakukan ESWL. Tetapi faktor pembentukan batu ginjal saya bukan karena teh,
melainkan krn banyaknya kandungan kapur dalam air tanah di daerah saya. Ini
terlihat dari batu ginjal yg terangkat, mirip dengan kerak kapur yg terdapat di
dasar panci masak di rumah.

Jadi menurut saya air putih yg tidak bagus jauh lebih berbahaya dibanding teh.
Setelah batu diangkat, saya hanya minum air putih aqua atau menyeduh teh dng
aqua. Hingga sekarang batu ginjal saya belum terbentuk lagi. Padahal orang yg
memiliki batu ginjal tergolong memiliki bakat terjadinya pembentukan batu
ginjal.

Begitu pendapat saya, selanjutnya terserah anda.

Friday 27 August 2010

Oolong Ratu Bayah

Banyak yg mengatakan bahwa dunia itu sempit. Seringkali kita menjumpai sesuatu
memerlukan waktu, padahal dia ada disekitar kita.

Kalau dikaitkan dengan teh, saya pernah menuliskan pengalaman saya menemukan
Oolong Bengkulu. Ternyata hal yg tidak jauh berbeda, terjadi pada Oolong yg
hendak saya ceritakan ini.

Bagi yg pernah ikut tea gathering di KPB, 2 tahun yg lalu, mungkin masih ingat
disitu kita pernah mencoba Oolong yg dibawa Julian (waktu itu masih menjadi
pertanyaan apakah itu Oolong Bengkulu yg kami cari). Disitu juga pertama kalinya
kami mengenal pak Robby, dimana pada waktu itu beliau membaw teh racikannya
sendiri yg disebut sebagai Robby's Blend, yaitu campuran white tea, Oolong dan
teh hijau.

Pada saat mencoba racikan pak Robby (sekarang diberi nama Unitea), saya sempat
terhenyak. Ini Oolong cakep banget. Aroma flowerynya cakep. Saya sempat tidak
percaya kalau dikatakan itu Oolong lokal. Bahkan saya sempat menduga-duga,
apakah ini oolong dari bengkulu. Ditambah lagi saya dapat informasi, bahwa
Chakra, bekerja sama dengan petani oolong.

Belakangan baru semua terjawab. Chakra memang punya kebun di Bengkulu, tetapi
tidak ada hubungannya dengan Oolong bengkulu. Sedikit informasi, bahwa Oolong yg
dipakai pak Robby berasal dari Pelabuhan ratu.

Ternyata memerlukan waktu 2 tahun, kalau akhirnya Oolong tersebut saya temukan
langsung dari sumbernya. Tepatnya Oolong tersebut datang sendiri ke rumah saya,
dan tidak tanggung-tanggung, Presdir dari pemilik Oolong ini sendiri yg datang
ke rumah, diantar oleh staf Marketingnya. Luar biasa. Ini sebuah kehormatan
besar bagi saya.

Pak Effendi datang bersama pak Alex, presdir dari PT. Harendong. Ketika pak Alex
menyebutkan bahwa produknya adalah teh Oolong dari daerah Bayah, yang dapat
dilalui lewat Pelabuhan Ratu, saya langsung teringat teh Oolong yang pernah saya
coba di Uniteanya pak Robby.

Dunia memang sempit benar adanya. Ternyata Oolong yang dibawa pak Alex adalah
Oolong yang sama. Unitea saya pernah review, tetapi Oolongnya sebagai single
Origin membuat saya penasaran dan pingin segera mencobanya.

Tehnya bentuknya sama denganteh Oolong pada umumnya, berupa gumpalan kecil
dengan warna hijau Jamrud. Dengan takaran 2 sendok teh China (sekitar 5 gram),
saya seduh tehnya dengan Gaiwan. Aroma bunga langsung menyergap nuansa indera
penciuman saya. Fresh banget.Seduhan pertama saya lakukan 25 detik, liquornya
tampak kuning keemasan. Rasanya fresh banget, tetapi memang lack of sweatness.
Seduhan kedua dan ketiga, taste dan flavour tampaknya tidak bertahan lama
dimulut. Begitu masuk mulut, aftertaste yang lebih mendominasi adalah
astringentnya. Mereka yang gemar dengan rasa sepet teh khas kita, mungkin akan
menyukainya. Dengan sergapan wangi diawal tegukan, diakhiri dengan rasa sepet
yang khas.

Teh ini juga sudah dicoba oleh Marchel. Beliau adalah adik Yohan Handoyo, yang
gemar melakukan wine tasting dan kuliner. Jadi kepekaan lidah mereka beberapa
tingkat diatas saya.

Beberapa paramater, seduhan pertama hingga ketiga, mirip dengan apa yang saya
rasakan. Hanya kejutan dari Marchel adalah ketika mencoba seduhan kelims. Fruit
tastenya mulai keluar. Rasa Nanas katanya. Saya penasaran dan ikut mencobanya.
Memang samar-samar, ada hint nanas yang muncul.

Anyway, Oolong ini cukup worthed dengan harganya yang tidak mahal. Saya
menamakannnya Oolong Ratu Bayah, singkatan dari Pelabuhan Ratu dan Bayah.

Thursday 26 August 2010

Young Taster

Ada yang mengatakan bahwa seorang tea taster adalah memang dilahirkan. Kepekaan indera perasa dan penciuman adalah sebuah bakat. Apakah benar demikian, masih dapat diperdebatkan. Beberapa orang memang memiliki kepekaan dan memory yang sangat kuat terhadap aroma dan rasa. Cerita tentang si kecil Bitha, mungkin bisa menjadi contoh.

Seperti biasa, pada hari minggu, saya buka mulai jam 8 pagi. Ketika sedang membuka saung, di tenda seberang kedai saya duduk sebuah keluarga yang sedang memesan mie ayam. Sang Ibu, bertanya kepada saya, apakah saya menjual minuman teh ready to drink (sambil menyebutkan merk terkenal).

"Oh kebetulan tidak ada ibu. Tetapi kalau es teh dingin, bisa saya sajikan", jawab saya. Sang Ibu setuju.
Saya lalu tawarkan lagi, kalau suka aroma mint, saya juga dapat menyajikan teh hijau mint dingin ditambah kulit lemon.
Lagi2 sang ibu mengiyakan.

Mungkin karena merasa cocok tehnya, mereka sekeluarga pindah tempat di kedai saya.

Pak Herry, demikian nama dari kepala keluarga tersebut, mengajak 2 anaknya, Bitha dan Farhan. Bitha yang kecil tampak menyukai tehnya, tetapi tidak dengan Farhan. Pak Harry minta rekomendasi teh yang lain.
"Bapak, suka teh manis dengan aroma kuat?", tanya saya.
Ketika pak Harry mengiyakan, saya tawarkan Earl Grey, dan saya minta cium dulu aromanya, apakah cocok atau tidak.
Berdasarkan pengalaman saya, para newbie teh, biasanya menyukai Earl Grey. Benar saya, tawaran saya langsung disambut dengan suka cita. Lagi-lagi Bitha menyukai, tetapi tidak berlaku buat Farhan.

Saya bertekad untuk meluluhkan hati Farhan. Saya suruh dia coba cium aroma Red Berry, salah satu koleksi Tisane saya yg cukup banyak penggemarnya. Tetap saja, Farhan tidak suka. Wah, tampaknya Farhan tidak suka flavouring. Saya, mesti kasih dia coba aroma teh asli. Saya keluarkan Sencha Jepang. Ternyata Farhan tetap saja tidak suka. Saya nyerah deh.

Yang mencengangkan adalah komentar Bitha ketika mencium aroma Sencha.
"Ma, kok seperti bau rumput laut?"

"Emang Bitha tahu bau rumput laut?", tanya mamanya.
"Khan pernah dikasih teman waktu itu"

Amazing! Bitha baru sekali mencium aroma rumput laut, dan dia tetap mengingatnya. Masih banyak para newbie pecinta teh yang masih belum dapat merasakan aroma teh Jepang ini.

Bitha, probably she was born to be a real taster.

Monday 26 July 2010

My Special guest

Para pelanggan di kedai teh Laresolo terdiri dari berbagai usia dan
kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, mahasiswa hingga keluarga. Tentu
saja, teh kesukaan mereka juga berbeda-beda. Untuk kalangan remaja hingga
mahasiswa, Madzabnya masih madhab teh manis. Senchapun mereka tambahkan
gula.

Adalah salah satu calon pelanggan yang membuat saya terkesan. Dia adalah
seorang gadis kecil, kira-kira kelas 4 SD. Dia datang bersama temannya.
Bukannya di depan kedai, tetapi langsung ke belakang, dibagian dapur kami,
dan diterima oleh salah satu staff kedai teh Laresolo, Yulia.
Si gadis, menanyakan teh paling murah berapa? Di Jawab Yulia, 5000 dik,
tambah pajak, jadi 5,500.
"Oh ya udah, gak jadi uangnya kurang"

Saya sedang meracik komposisi Lechy tea yang pas, ketika itu. Dari dalam
kedai saya lihat si gadis tampak murung meninggalkan kedai. Dalam hati saya
mengatakan, dia adalah tamu special saya. Butuh suatu keberanian dan
passionate, ketika tidak punya uang dan memaksakan diri untuk bertanya,
apakah uangnya akan mencukupi untuk mencicipi teh di Kedai Teh Laresolo.
Saya panggil dia.
"Dik, kesini".
"Uangnya kurang pak"
"Gak papa, sini aja"
"Tapi saya mau dibawa pulang"
"Baik, saya akan bungkuskan"

Saya tuangkan lechy tea yang baru selesai diracik, kedalam kantong plastik.
"Uangnya pak?"
"Ambil saja"

Lalu dia pergi sambil mengucapkan terima kasih.

Kejadian tersebut, terjadi pada hari Jumat. Hari Sabtu, saya libur, karena
ikut acara Bazar Jalan sutra.
Hari minggu, saya datang sekitar jam 8 untuk buka warung. Saya lihat si
Gadis kecil, sudah duduk menunggu disamping kedai saya sambil mengajak 4
temannya. Awalnya saya pikir, dia cuma sekedar main saja disitu, karena
kebetulan kedai saya terletak di taman umum Agripark.

Ketika warung saya sudah siap, si Gadis kecil seperti biasa, dia bertanya
lewat pintu belakang.
"Pak, teh yang paling murah berapa?, saya lihat ditangannya ada beberapa
lembar ribuan. Rupanya dia ajak temannya untuk patungan beli teh.
Saya hargai effort mereka, dengan menerima mereka sebagai paying customer.
"Lima ribu dik, tapi bisa kok untuk berempat"
Saya persilahkan mereka duduk di depan, sama seperti pelanggan tetap
lainnya. Saya layani mereka dengan sebaiknya-baiknya. Kalau standar saya
satu teko hanya saya isi 400cc air, sengaja saya penuhi menjadi 600cc agar
cukup untuk berempat. Mereka tampak antusias duduk di depan sambil menikmati
tehnya. Saya berikan mereka kompliment 1 piring Singkong Manis ala Thai.
Makin bersemangat mereka. Ketika satu teko tampaknya belum cukup, saya
tawarkan refill lagi.

Ketika refill habis, salah satu teman si gadis kecil ternyata masih punya
uang, dan dia memesan satu teko lagi untuk mentraktir teman-temannya.

Oh, what a wonderful kids. I Love their effor & passion.

Wednesday 21 July 2010

SAYA TEH JALANSUTRA

Dengan intonasi yang berbeda, judul di atas dapat memiliki dua arti. Kalau kita baca dengan logat dan intonasi Sunda, mungkin dapat dibaca begini, Saya teh, Jalansutra ...

Artinya bisa menjadi semacam pengakuan atau kebanggaan telah menjadi salah satu bagian dari milist jalansutra. Nama jalansutra, memang sering saya gunakan ketika meminta izin melakukan pemotretan entah tempat atau makanan kepada pemilik restaurant. Bukan bermaksud untuk mendapatkan servis lebih atau Discount, tetapi lebih kepada kemudahan memberikan alasan kenapa saya harus motret tempat mereka.
Hal tersebut saya lakukan, karena iasanya, ketika meminta izin, pasti akan ditanya, “Bapak dari mana?”.

Saya tidak mungkin menjawab dari sebuah media, karena memang bukan wartawan. Satu jawaban yang masuk akal, adalah saya jawab, dari klub jalansutra, sebuah klub pencinta jalan-jalan dan makan-makan. Kebutuhan saya untuk memotret adalah untuk sharing kepada teman-teman lain.

Nama jalan sutra secara tidak sengaja juga saya gunakan sebagai kartu pers. Ceritanya dalam rangka ulang tahun Urasanke Indonesia, diadakanlah sebuah CHANOYU, yaitu upacara minum teh ala Jepang yang diselenggarakan di Hotel Nikko. Kebetulan salah satu panitia acara ini adalah ibu Suwarni yang saya kenal lewat kegiatan jalansutra. Lewat ibu Diah, dari teh Malino (yang saya kenal berkat tulisan saya di jalansutra juga), saya diundang dan ditanya mau duduk di kursi tamu atau pers? Karena saya ingin bebas memotret, saya pilih duduk di kursi Pers. Oleh karena itu, ketika saya datang, saya mendapatkan kartu pers dengan tulisan JALANSUTRA.

Tentu saja tidak semua orang kenal dengan nama jalansutra. Untuk menghadapi situasi seperti ini, untuk mempermudah biasanya memang saya pinjam nama pak Bondan Winarno, yang memang jauh lebih dikenal. Saya katakan klub jalansutra adalah asuhan pak Bondan Winarno, pengasuh acara wisata Kuliner. Banyak dari mereka yang langsung memahaminya.

Faktanya memang alasan pertama saya masuk klub ini karena kesukaan saya membaca tulisan pak Bondan Winarno. Saya menyukai tulisan pak Bondan, bahkan jauh sebelum beliau menulis tentang jalan-jalan dan makan. Saya mengikuti tulisan beliau semenjak beliau menulis KIAT, yang membahas tentang manajemen dengan gaya yang ringan tetapi sangat menarik (kalau gak salah sekitar tahun 80-an). Kebetulan, saat masih kuliah, saya ikut aktif dalam Bulletin Kampus, dimana saya sering menulis tentang pemasaran dan periklanan dalam buletin tersebut. Tulisan KIAT pak Bondan, banyak memberi inspirasi saya.

Semenjak tulisan KIAT menghilang dari majalah Tempo, (dan walaupun saya telah mengkoleksi 2 buah buku kumpulannya), saya merasa kehilangan tulisan beliau. Baru pada tahun 2005, saya menemukan kembali tulisan beliau di Kompas On-line di kolom jalansutra. Hanya kali ini memang apa yang ditulis jauh berbeda dengan sebelumnya.Beliau tidak lagi menulis tentang manajement, tetapi menulis tentang makanan dan tempat makan, tetap dengan gaya yang sama menariknya. Dalam kolom ini, di pokok kanan atas ada satu banner kecil bertuliskan Milist Jalansutra. Banner itulah yang menjadi titik awal saya bergabung dengan milist jalansutra.


Arti kedua dari judul di atas dapat dibaca SAYA, TEH dan JALANSUTRA. Faktanya, lewat jalansutra akhirnya saya menemukan passion khusus mengenai teh, yang pada akhirnya membuat saya banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan teh. Walaupun belum merubah jalan hidup saya, tetapi paling tidak telah memberi arah, mimpi dan cita-cita saya.

Berkenaan dengan ulang tahun jalan sutra pada tanggal 22 besok, saya coba merenungi dan menelusuri perjalanan saya di milist ini.

Satu hal yang sempat membuat saya terkejut adalah pertanyaan tentang teh merupakan postingan saya ketiga di awal-awal saya bergabung dengan jalan sutra. Postingan pertama saya adalah menjawab pertanyaan tentang Rafting (dimana menjadi passion saya pada waktu itu), dan postingan kedua adalah tentang pengalaman rafting saya.

Pertanyaan tentang teh tersebut saya posting setelah membaca tulisan pak Bondan tentang Etika minum teh. Dari postingan tersebutlah, akhirnya saya berkenalan dengan mas Arie Parikesit, yang kata cak Uding, koleksi tehnya satu lemari penuh. Beliaulah yang membukakan mata saya betapa teh ada banyak macamnya. Dapat saya katakan mas Arie merupakan mentor pertama saya khusus mengenai teh.

Semenjak itu, saya rajin mencoba berbagai merk teh (merk, bukan jenis teh), dan menuliskan pengalaman saya di milist ini. Sewaktu saya menuliskan pengalaman saya mencoba teh cap Mawar, Tiurlan Sitompul, salah satu Jser yang juga pecinta teh, mengirimkan saya 2 bungkus teh. Sebagai barter, beliau minta saya mengirimkan cap mawar saya. Walaupun Tiur tidak menulis jenis teh apa yang dia kirim, tetapi lewat hasil searching di Google dan berdasarkan photo-photo yang ada, saya tahu dia kirim Silver Needle atau Teh putih, yang tentu saja harganya cukup mahal. Teh kedua yang dia kirm adalah teh Puerh. Sedangkan barter yang dia minta Cuma teh cap mawar (kelak, saya akan mengetahui bahwa teh ini jenis teh hitam, grade II, finest dust yang diberi aroma mawar).

Semenjak itu, minat saya terhadap teh semakin besar. Bukan sekedar jenis dan macam-macam teh, tetapi berikut budayanya.

Pertama kali saya belajar tentang budaya teh adalah belajar Gong Fu cha di tempat ibu Suwarni yang terselenggara berkat bantuan dari Elisa Sutanujaya. Beliaulah yang menjadi mentor kedua setelah mas Arie. Saya semakin giat untuk mengekplore berbagai macam jenis teh dan menuliskan pengalaman saya, baik di Jalansutra maupun di blog saya. Kalau sebelumnya saya menuliskan semua jenis tulisan, baik review tentang makanan, tentang keluarga juga teh di http://laresolo.multiply.com saya memutuskan untuk membuat blog khusus tentang teh di http://kedai-teh-laresolo.blogspot.com


Berkat tulisan-tulisan di jalansutra dan di Blog, makin banyak yang membaca tulisan saya sehingga, sehingga kiriman teh juga semakin banyak. Selain dari beberapa perkebunan teh, juga dari pribadi-pribadi yang memang menggemari teh.

Salah satunya adalah pak Yopie Hendrik, Jser yang mengirim saya Ceylon Silver tip tea (White tea dari Ceylon), juga Long Tjing grade premium, Dragon pearl, Blooming tea, serta beberapa jenis teh lainnya. Ibu Lim Kim Soan, yang sering saya titipi beberapa peralatan teh dari Jepang, dan baru-baru ini mengirimkan teh Sincha untuk saya. Masih banyak teman-teman yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Lewat teh pula akhirnya saya dipertemukan dengan Ratna Somantri. Beliau selain seorang pecinta teh, juga profesional di bidang teh. Pernah mengelola Tea Gallery dan menjadi konsultan dan pembicara khusus mengenai teh. Kami sering ketemu lewat beberapa event tea class yang diselenggarakan oleh Jalansutra. Karena persamaan visi dan misi (kayak partai aja), akhirnya kami sepakat membuat sebuah milist khusus tentang teh. Nama milistnya adalah Pecinta_teh@yahoogroups.com. Salah satu Visi dari milist ini adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap teh.

Pada awalnya, member dari milist ini adalah member jalansutra juga. Milist ini tak ubahnya sebuah kelompok kecil dari jalansutra. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, member milis ini makin luas, walau ditinjau dari jumlah masih dapat dikatakan sangat kecil sekali. Beberapa produsen teh, peneliti teh, Dewan teh dan para profesional dibidang teh yang turut pula bergabung, membuat milist ini makin berwarna. Belum lama ini, milist ini juga sempat masuk dalam tulisan di harian Jakarta Post ( http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/14/that-tantalizing-taste-tea.html ). Sebuah langkah kecil yang diharapkan dapat merupakan langkah awal untuk dapat mewujudkan visi dan cita-cita.

Ada satu hal yang saya tidak pernah lupa, Captain Gatotlah yang selama ini mengencourage saya untuk tekun mempelajari teh.
“Suatu saat nanti, saya yakin anda akan menjadi salah satu tempat bertanya khusus mengenai teh”, itu kata-kata beliau yang selalu saya kenang.

Pada akhirnya kata-kata pak Gatot memang menjadi pertanyaan. Beberapa media atau pribadi sering menanyakan saya hal-hal yang berkenaan dengan teh. Ada yang untuk bahan skripsi, ujian akhir, dsb. Satu hal yang membuat saya suka tersenyum simpul adalah beberapa pertanyaan sederhana, seperti tentang jenis-jenis teh, apa beda teh hijau dan teh hitam, karena ternyata pertanyaan-pertanyaan itu pula yang pada awal-awalnya juga saya tanyakan di milist ini.

Masih ada banyak hal yang masih ingin saya lakukan. Pelajaran masih jauh dari usai. Saya masih ingin mendalami Chanoyu, serta budaya-budaya lain yang berkaitan dengan teh. Masih banyak cita-cita yang masih jauh dari jangkauan. Salah satunya adalah, bagaimana kita sendiri masyarakat Indonesia, dapat menikmati teh kualitas nomor satu hasil produksi kita sendiri. Sebagai contoh, teh hitam Orange Pekoe dari Malabar, adalah termasuk teh hitam kualitas nomor satu. Teh tersebut saya temukan di sebuah situs dan hanya dapat dibeli di perancis sana. Bukan satu hal yang mudah untuk meyakinkan para trader teh atau produsen teh untuk memasarkan teh premium mereka di Indonesia. Kalau secara hitung-hitungan rugi laba, memang cita-cita tersebut belumlah berhasil mendapatkan angka.

Lewat jalansutra pada akhirnya membuat saya suatu perenungan, bahwa lewat support, effort, dukungan, pengalaman dan kesempatan, membuat kita terpacu untuk melakukan sesuatu yang dapat memberi nilai tambah kepada diri kita sendiri pada khususnya, dan memberi manfaat kepada orang banyak pada umumnya.

Teh bukanlah sekedar minuman pelepas dahaga belaka, lebih dari itu teh merupakan sebuah budaya. Sejauh mana nilai dari budaya tersebut, tergantung dari bagaimana kita mengapresiasinya. Apakah sekedar menjadikannya minuman komoditas belaka, atau sebuah kegiatan yang memiliki nilai spritualitas yang bermakna.

Terima kasih jalansutra, yang menjadikan telah hidup saya jauh lebih bermakna.

Sunday 11 July 2010

Hari pertama kedai Teh Laresolo

Dengan sedikit grudak-grudak, akhirnya hari ini Kedai Teh Laresolo buka. Pagi hari, saya sempat stress juga. Kedai saya tidak dilirik sama sekali. Bahkan ketika saya coba ngobrol dengan bule yang berkunjung ke situ, dia tampak antusias, tetapi juga tampak tidak mau beli. Ketika ditawari sample for free, diterima dengan senang hati.

Saya merasa, alangkah menyedihkannya kalau dalam sehari sampai nol sama sekali tidak ada yang beli. Ditambah lagi, kabar buruk dari rumah, Croisant agak overbaking, Fermipan yang saya beli kemarin ketlisut, sehingga tidak dapat membuat dough lagi.

Melihat tamu tampaknya sepi-sepi saja, akhirnya saya lari sebentar ke Yuk,toko kue langganan kami, yang tidak terlalu jauh dari kedai. Ternyata Yuk sudah tutup, larilah saya ke Surya Kencana (baca ngebut:Karena pakai motor). Mau Belum sampai kebun Raya, antrian kendaraan sangatlah panjang. Bujubuset! Baru teringat, hari ini hari terakhir liburan.
Setelah berjibaku belok kanan kiri, akhirnya berhasillah saya menembus kemacetan, dan mendapatkan fermipan. Karena saya mesti pulang bawa mobil,jadi saya mesti kembali ke Saung untuk mengambilnya.

Sampai di Saung, ternyata tamu sudah mulai banyak.Bahkan ada sekelompok tamu dengan asyiknya duduk lesehan dipinggir kolam (tanpa tikar pula), disampingnya tampak tray Gongfucha, dan teko teh yang lainnya.

Sangat menyenangkan. Asistant saya, ternyata cukup sigap juga,walaupun dia baru sebentar belajar. Bahkan tamu saya cukup puas dengan penjelasan banu mengenai menu-menu yang ada di kedai saya.
Mereka bilang, mereka tidak merasa beli kucing dalam karung. Mereka order white tea, Morrocant lemon mint tea, dan paling favorite apalagi kalau bukan white tea. Apalagi ketika saya recommend untuk mencoba Oolong Bengkulu, tambah puas mereka. Senang rasanya tamu saya dapat menikmat teh yang saya sajikan. Salah satu diantara mereka adalah seorang bule dari Rumania, dia berkata, "I'll bring my girlfriend here"

Tak lama kemudian beberapa teman dari FB, Milist pada datang. Itulah gunanya network. Dukungan dan suport selalu mengalir. Mango green tea dan Original Chai, mendapat pujian.
Malamnya sebenarnya berencana tutup warung agak awal. Badan sudah terlalu lelah, karena hari sebelumnya sudah seharian jalan (tambah nonton bola pula)."Kita tutup habis magrib ya Banu".

Belum sempat tutup, datang serombongan tamu yang ingin melihat-lihat. Saya coba tawarkan minuman teh,adalah salah seorang berbadan gempal yang jawabannya bikin ilfill:
"Saya tidak minum teh, tidak ngopi"
"Oh, jadi minum apa?""Air putih saja," Jawabnya singkat.
"Kalau begitu, silahkan ngobrol saja disini gak papa" Saya pikir, dia mungkin olahragawan pingin menjalanai hidup sehat.
Teman-temannya mulai bertanya-tanya tentang teh. Setelah saya jelaskan aneka macam teh yang ada disitu,langsung deh mulai borong white tea untuk diminum dirumah. Satu lagi pingin teh hitam plain saya tawarkan Tambi.
Satu lagi mau coba Earl grey, satu lagi mau coba white tea untuk diminum ditempat.
Rata-rata setelah minum white tea, langsung pada jatuh cinta. Dan Lucunya si Gempal,mulai tertarik komen-komen temannya yang mencoba white tea. Akhirnya tidak tahan dia dan mememesan white. Benar saja, kesinisannya terhadap teh langsung luruh,dan mulai banyak bertanya tentang teh.
Akhirnya obrolan menjadi hangat dan lancar. Sehangat teh-teh yang saya sajikan.

Well, hari yang melelahkan tetapi menyenangkan. Benar kiranya moto kedai saya, EVERY DAY IS TEA GATHERING


Wednesday 7 July 2010

Dari Virtual menjadi Actual

Seringkali saya mendapatkan email yang menanyakan, dimana lokasi kedai teh Laresolo. Banyak juga wartawan yang menanyakan hal serupa. Saya selalu jawab, kedai teh laresolo adalah kedai virtual, kedai masa depan. Suatu saat, saya bermimpi untuk memiliki kedai teh sendiri, yang menjual teh Indonesia kualiatas premium.

Ternyata mimpi itu sebentar lagi menjadi kenyataan. Akhirnya telah berdiri sebuah kedai teh actual ditempat yang nyaman, Komplek Agripark, Jl.Taman Kencana No. 3 Bogor.

Rencana Soft Opening tanggal 11 July. Bagi yang rumahnya jauh dari Bogor, kami juga melayani pembelian teh kering lewat TIKI.
Terima kasih pembaca setia. Atas kesetiaan anda membaca blog saya memberi spirit luar biasa untuk mewujudkan visi dan misi saya : Meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap teh.
Bagi yang berkunjung ke Bogor, silahkan mampir. Moto kedai saya adalah : Every day is Tea gathering.

Saturday 12 June 2010

Grey Dragon

Beberapa waktu yang lalu saya iseng-iseng googling teh premium Indonesia.

Saya ketika di searching keyword “Orange Pekoe Indonesia”. Ini merupakan grade teh hitam full leaf yang cukup tinggi.

Tidak berapa lama kemudian, Google menginformasikan adanya situs tentang Orang Pekoe Malabar. Wah tentunya ini sangat menarik. Tenyata Malabar, ada memproduksi teh Orange Pekoe. Ketika saya klik, ternyata teh tersebut dijual di Paris. :-(

Ternyata orang perancis banyak yang menyukai teh hitam grade orange pekoe. Belum lama ini, dikebun teh Dewata, saya bertemu dengan Franquize. Beliau adalah seorang penulis, yang juga pecinta teh. Dia membawa sample teh dari Malabar untuk kami coba bersama-sama. Sample yang dia bawa, adalah OPS atau orange Pekoe Souchung.

Di Paris, ada satu cafe teh yang cukup terkenal, yaitu Mariage Freres. Disana dijual teh-teh kualitas premium. Cafe ini cabang, salah satunya di Ginza Jepang. Belum lama ini rekan saya Ratna Somantri, berkunjung ke Ginza. Menurut Ratna, cafenya sangat ramai. Orang pada antri untuk membeli teh. Salah satu teh yang dibeli Ratna adalah, teh hitam dari Talun Sentosa. Grade yang dibeli adalah TGFOP (Tippy Golden Flower Orange Pekoe), satu grade yang belum pernah saya dengar diproduksi di Indonesia. Biasanya grade-grade ini diproduksi untuk teh-teh dari Darjeeling.

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menuliskan pengalaman saya tasting white dari beberapa tempat, seperti Dewata dan Malino. Dalam tulisan tersebut, saya menjanjikan akan mengulas salah satu grade teh yang menarik, yaitu Grey Dragon.

Terus terang saya masih cukup bingung untuk mengklasifikasikan teh ini, dan bagaimana treatmen yang mesti saya lakukan.

Grey Dragon, terbuat dari pucuk daun teh yang belum mekar, sama seperti halnya white tea, hanya prosesnya yang sedikit berbeda. Grey Dragon mengalami semi oksidasi, jadi mirip-mirip teh Oolong. Tetapi tidak mengalami proses pelayuan seperti halnya teh Oolong. Dari bentuk dan warna, sebenarnya teh ini lebih cocok kalau masuk klasifikasi teh hitam. Bukan sekedar Orange Pekoe, menurut saya mestinya bisa disamakan dengan grade STGFOP (Super Tippy Golden Flower Orange Pekoe). Tetapi bedanya, proses produksinya tidak sama dengan teh hitam. Bingung bukan....

Warna teh ini sangat menarik. Warna ungu kehitaman dengan seleret putih di tengahnya. Bentuknya yang runcing seperti jarum, dan agak melengkung, memang memberi kesan seperti bentuk naga. Ditambah seleret putih, memberi kesan perut. Jadi memang cocok, kalau disebut sebagai Grey Dragon. Dari sebuah sumber, saya mendapatkan info, bahwa teh Grey Dragon ini telah menjadi salah satu koleksi dari Mariage Freres. Cukup membanggakan bukan.


Mengenai treatmen menyeduh teh ini, saya diberitahu oleh pak Iskandar salah satu pejabat dari PTPN 8, bahwa teh ini diseduh dengan air mendidih 100 derajat.

Jadi treatment yang dilakukan kurang lebih mirip dengan teh hitam. Dibanding teh dengan White tea, aromanya tentu masih kalah. Bingung juga kenapa bisa begitu, mengingat dari material yang sama. Rasanya sedikit ada kemiripan, hanya grey dragon karena semi fermented, jadi lebih bold. Dengan seduhan yang tepat, bisa didapatkan slighty rasa antara lengkeng dan lechy.

Thursday 6 May 2010

Unitea: Teh segala rasa

Mungkin judulnya sedikit lebay. Judul ini saya buat karena terinpirasi dari cerita tentang permen segala rasa di buku Harry Potter. Dalam Novel tersebut, diceritakan bahwa tiap permen yang dimasukkan kemulut, memberi kejutan rasa yang berbeda-beda. Teh ini, sesuai dengan namanya, Unitea, merupakan campuran dari tiga macam teh, yaitu Oolong, Hijau dan White tea. Teh ini dapat juga disebut sebagai unik tea. Karena, memang unik.

Keunikan pertama adalah, campuran teh ini sedikit keluar dari pakem. Blend tea, biasanya menggunakan teh dari jenis yang sama. Jadi teh hijau blend dengan teh hijau, atau dengan herbal lain. Misalnya teh hijau dengan daun mint.

Semula sedikit bingung, bagaimana cara seduh teh ini. White tea dan green tea biasanya diseduh menggunakan air sekitar 70 derajat, sedangkan Oolong, membutuhkan air yang lebih panas, sekitar 90 derajat.

Ketika saya tanyakan kepada pak Mustopha dari PT. Chakra (beliaulah yang mengkreasi teh ini), saya diberitahu untuk di treatment seperti halnya teh hijau. Oolong yang digunakan, masih kategori Oolong green, begitu asalannya.

Keunikan lain adalah, ketika kita menyendok teh untuk diseduh, akan tersusun komposisi yang berbeda untuk teko yang lainnya.

Kebetulan sendok saya mendapatkan komposisi Oolong yang lebih banyak, beberapa helai white tea dan teh hijau.

Ketika saya seduh, rasanya memang dominan Oolong. Rasa fruity, cukup menonjol, tetapi ada litle bit bitter khas teh hijau. White tea, kurang begitu terasa, karena kebetulan komposisinya tidak terlalu banyak.

Jadi itu yang saya maksud teh segala rasa. Anda bisa mendapatkan seduhan yang berbeda dari tiap takaran sendok teh yang diambil.

Monday 19 April 2010

Morrocan Mint tea

Pada awalnya, sebenarnya saya kurang begitu suka dengan aroma mint. Sampai akhirnya, saya mencoba teh yang diblend dengan daun mint, selera saya jadi berubah.

Saya pertama kali mengenal blend teh dengan daun mint, ketika ada acara Warna-warni teh Indonesia, dimana pada waktu itu bekerja sama dengan jalansutra, saya dan Ratna Somantri ikut pameran dan mengisi talk show tentang teh.

Salah satu koleksi teh Ratna Somantri yang dipamerkan saat itu adalah Morrocan mint tea, keluaran Twinning. Morrocant mint Twinning merupakan blend teh hijau grade Gun Powder1, dengan daun mint kering. Satu hal yang membanggakan (atau mungkin menyedihkan), teh yang digunakan, produksi perkebunan teh Dewata di daerah Jawa Barat.

Morrocan mint, merupakan teh yang sangat digemari dan menjadi budaya ngeteh tersendiri di daerah Afrika Utara dan sebagian Arab. Teh ini disebut sebagai Tuareg Tea. Dalam dialel Arab disebut sebagai Attay

Teh yang digunakan adalah teh hijau pan Frying, grade Gun Powder atau Chunmee, kemudian ditambahkan daun mint segar dan gula. Cara penyeduhan, kurang lebih sama dengan penyeduhan teh wangi ala Indonesia, walaupun jenis teh hijau, tetapi digunakan air mendidih.


Step pertama penyeduhan, mirip dengan penyeduhan teh china, seduhan pertama dibuang airnya untuk menghilangkan debu yang timbul akibat rusaknya teh selama transportasi, dan juga sedikit mengurangi rasa sepat. Kemudian ditambahkan gula dan daun mint segar, seduh sekitar 3-menit, tuang ke gelas. Terkadang dari gelas, tuang kembali ke teko, tuang ke gelas, diulang sampai tiga kali supaya rasanya lebih tercampur.

Teko yang digunakan adalah teko tradisional dengan leher panjang berbentuk V. Dengan teko model seperti itu,memungkinkan teh dituang ke dalam gelas kecil dari ketinggian sekitar ½ meter, sehingga teh yang tertuang di cangkir akan sedikit muncul busa dipermukaannya.

Saya mulai menyukai mint tea, ketika bersama teman-teman dari milist pecinta teh berkunjung ke kebun teh Dewata, sebelum terjadi bencana longsor. Disana kami disuguhi teh hijau Yabukita, dengan ditambahkan daun mint segar. Entah karena suasana yang dingin, daun mint terasa sangat menyegarkan dan membuat lebih fresh.

Pada waktu itu saya juga baru tahu, kalau ternyata di Indonesia banyak sekali ditanam daun mint. Kuper ya. Bahkan, istri saya bercerita, kalau di Garut, daerah asal nenek moyang dia, daun mint biasa dibuat lalapan. Disana disebutnya daun colgate, karena rasanya mirip salah satu merek pasta gigi.

Beberapa waktu yang lalu, pak Robby Baddudin, pemilik kebun teh Dewata, memberi saya sample Teh hijau mint produksi mereka sendiri. Berbeda dengan Morrocan minta buatan Twinning, grade yang digunakan kali ini adalah Chunmee. Sedangkan daun mint yang digunakan diambil dari kebun sendiri, yang kemudian dikeringkan.

Perbedaan Gun Powder dan Chunmee adalah bentuknya. Gun Powder berbentuk bulat-bulat, sedangkan chunmee bentuknya memanjang. Ketika saya buka kemasannya, aroma mint langsung menyeruak menyegarkan.

Segera saya siapkan air mendidih untuk menyeduhnya. Saya bilas sebentar dengan air mendidih untuk mengurangi debu remukan teh yang rusak. Karena saya tidak minum teh manis, lama seduhan Cuma sekitar 90 detik saja. Dengan waktu seduh 90 detik, aroma teh dan mint sudah keluar, tetapi rasa sepat khas teh hijau assamica tidaklah terlalu mengganggu. Kecuali kalau memang mau ditambahkan gula, seduhan bisa dilakukan 3-5 menit.

Segar sekali rasanya. Aroma mint dan rasa khas sepat teh Indonesia berbaur menjadi satu. Aroma mint ini, juga berfungsi menghilangkan bau langu yang biasa terdapat dalam teh hijau varians assamica. Kalau biasanya, kita hanya mengenal teh hijau dengan flavouring wangi melati, ternyata ditambahkan daun mint okay juga. Bagi yang masih menjadi anggota peminum teh manis, teh ini masih cocok juga. Mau coba?

Sebenarnya anda bisa menambahkan sendiri daun mint segar kedalam teh hijau anda. Cuma agak hati-hati, jangan sampai daun mintnya kena panas langsung. Ini akan mengakibatkan daun mint berwarna kehitaman, dan baunya agak kurang menyenangkan. Sedikit kelemahan menggunakan daun mint segar, teh tidak bisa diseduh lebih dari satu kali. Seduhan kedua, aroma daun mint sudah kurang nyaman. Kecuali anda ganti daun mintnya dengan yang baru.

Monday 22 March 2010

White tea tasting

Tampaknya white tea akhir-akhir ini sedang naik daun. Kandungan EGCG yang tinggi, yang bermanfaat untuk aktioksidan, banyak yang mengasosiasikannya bermanfaat buat kecantikan. Banyak sekali produk komestik yang menambahkan kandungan white tea ke dalam produk mereka. Mungkin saja ada benarnya, mengingat antioksidan bermanfaat buat penangkal kerusakan sel dari pengaruh radikal bebas. Dengan dijaganya sel-sel dari kerusakan, white tea dipercaya dapat membuat awet muda.

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa white paling banyak bermanfaat sebagai anti kanker. Juga disebutkan bahwa white tea memiliki kandungan antiviral dan antibakterial lebih tinggi dibanding teh hijau.

Kepopuleran white tea, makin bertambah seiring dengan musibah yang menimpa kebun teh Dewata. Entah apa sebabnya dalam berita yang disajikan, disebutkan Kebun teh Dewata sebagai penghasil teh putih, walau sebenarnya kebun ini juga menghasilkan jenis teh lain seperti green tea Gun Powder dan juga Sencha. Bahkan beberapa orang yang baru saya kenal, dan ketika saya ajak ngobrol soal teh, mereka langsung menanyakan, apa itu teh putih. Saya katakan dari mana tahu tentang teh putih. Mereka jawab, dari berita di Televisi yang meliput musibah longsor di kebun teh Dewata.

Tak kurang dari Malino Tea rupanya juga mencoba membuat white tea. Beberapa waktu yang lalu saya sempat di Undang oleh salah satu direksi dari Malino, ibu Diah untuk diperlihatkan hasil percobaan produksi teh putih mereka.

“Apakah white tea harus selalu putih?”, demikian pertanyaan pertama yang tercetus. Pertanyaan itu muncul, karena white yang diperlihatkan kepada saya berwarna kehitaman, dengan seleret putih, yang mengingatkan saya dengan Grey Dragon punya kebun teh Dewata (tulisan berikutnya saya akan mereview tentang Grey Dragon ini).

Logikanya, disebut white tea, dikarenakan warna daun teh keringnya berwarna putih keperakan. Di China white tea disebut sebagai Yinzhen, kalau diartikan dalam bahasa Inggris disebut sebagai Silver Needle. Bentuknya yang runcing seperti jarum, dengan warna putih keperakan.

White tea dari Malino ada dua macam, yaitu dari varians Assamica Klon TRI, dan varians Sinensis dari klon Yabukita. Saya teringat, bahwa saya juga memiliki stock white tea Sinensis dari Fujian China, dan Assamica dari Dewata. Semula saya mengira klon yang digunakan oleh Dewata adalah Klon Gambung, seperti kebanyakan kebun teh Indonesia. Tetapi menurut pak Robby dari Kabepe Chakra, klon yang digunakaan adalah Klon Dewata 27. Klon ini merupakan hybrid antara varians Sinensis dan Assamica.

Supaya tahu perbedaan dari masing-masing white tea tersebut, saya lakukan tea tasting bersama-sama. Dari beberapa pengalaman saya, ternyata treatment penyeduhan white tea assamica dan sinensis sedikit berbeda. Untuk Assamica, lama brewing cukup 3 menit. Lebih dari itu akan overbrew, dan menimbulkan astringency yang kurang menyenangkan. Sedangkan untuk varians Sinensis, justru 3 menit, belum keluar semua rasa dan aroma. Minimal seduh 5 menit, baru keluar semua.

Supaya lebih adil, membandingkan dari dua jenis varians yang sama. Jadi pertama-tama saya seduh white tea assamica TRI dan Dewata 27.

Secara appearance, Dewata 27 paling cantik. Teh hanya terdiri dari pucuk daun yang masih kuncup, dengan warna putih jernih. TRI, seperti yang saya ceritakan di awal, tampaknya memang teroksidasi, sehingga warnanya kehitaman. Walaupun begitu, secara aroma memang wangi sekali, mengingatkan saya wangi rose, hanya sedikit grassy.

Warna seduhan, Dewata 27 kelihatan jernih dan bening, sedang TRI putih kecoklatan.

Untuk rasa, saya membenarkan pendapat beberapa teman mengenai white tea assamica, ada rasa buah lengkeng. Apalagi ketika sedikit bersendawa, rasa buah lengkengnya terasa banget. Beberapa orang luar, mengatakan rasanya Peachy. Mungkin karena mereka belum kenal buah lengkeng ya, tahunya buah peach. Kalau dibandingkan dengan rasa peachy di teh Darjeeling, tentu beda. Kalau mereka kenal buah lengkeng, mungkin akan menyebutnya rasanya Lengky he..he...

Sedang TRI, rasa fruity ada Cuma perbendaharaan memory saya belum ketemu buah apa yang pas. Aroma wanginya terasa panjang, tetapi juga grassy.

Rasa grassy, mungkin karena proses pengeringan yang belum sempurna. Hal ini juga tampak dari daun teh kering yang terasa agak lembek belum terlalu kering. Mengingat ini masih percobaan, dan kondisi cuaca juga tidak bagus, mungkin saya hasil percobaannya belum terlalu sempurna.

Berikutnya saya seduh white tea dari Fujian dan Yabukita. White tea Fujian saya dapat dari Terry, member milis pecinta teh.

Untuk lebih mudahnya White tea Fujian saya sebut Yinzhen, sedangkan Malino saya sebut Yabukita white.

Warna Yinzhen putih sedikit kehijauan. Beberapa daun sedikit hancur. Kemungkinan karena pada saat terima kondisinya dipacking dengan sistem vakum. White tea memang sangat rapuh banget, kalau divakum akan banyak yang hancur. Yabukita white, kondisinya sama mirip dengan TRI, tampak teroksidasi.

Warna seduhan Yinzhen, bening, sedikit kuning keemasan. Warna Yabukita white, lebih tebal cenderung kekuningan. Aroma seduhan, tidak seperti white tea lainnya yang biasanya flowery, Yinzhen jutru aromanya nutty, demikian juga rasanya, dan diakhiri dengan rasa manis. Rasa Nutty, sangat mirip dengan Longjing, dari Huang Zhou. Dari beberapa pengalaman saya menyeduh green tea dari China, kebanyakan memang rasa dan aroma nutty.Mungkin itu salah satu ciri khas teh China.

Sedangkan rasa Yabukita juga cukup manis.

Kebetulan tema gathering dari milist pecinta teh adalah White tea, nanti saya akan membawa teh ini untuk dicoba bersama-sama. Kalau dulu pernah dilakukan tea tasting white tea dari beberapa grade (semuanya sinensis), seperti Yinzhen, Bai Mudan, Shou Mei, gathering nanti juga akan dicoba White tea dari varians yang lain.

Sedikit catatan mengenai perbedaan white tea varians Assamica dan Sinensis. Untuk takaran, tetap digunakan takaran yang sama, dan jumlah takaran 2 kali dari takaran teh jenis lainnya. Waktu seduh Assamica cukup 3 menit seduhan pertama, dan hanya enak diseduh 2 kali saja. Seduhan kedua bisa 4 menit. Seduhan ketiga, biasanya rasa sepetnya sudah cukup mengganggu. Hanya sebagian orang justru suka dengan rasa sepet ini. Selain itu, rasa sepet bisa juga sebagai pertanda bahwa kandungan katekinnya tinggi. Dalam tulisan terdahulu, pernah saya singgung, bahwa kandungan katekin teh Indonesia memang jauh lebih tinggi dibandingkan teh Varians Sinensis dari China maupun Jepang.

White tea varians Sinensis, seduhan pertama minimal 5 menit, dan dapat diseduh ulang 3-4 kali. Untuk aroma, saya lebih suka varians assamica, karena aroma wanginya sangat kuat. Hanya untuk rasa dan after taste varians Sinensis tidak ada rasa sepet yang bagi saya terkadang cukup mengganggu.