Sunday, 11 May 2008

Gyokuro: Lembut dan menawan

Sewaktu siaran bersama Ida Arimurti di Delta FM hari Rabu, tgl 6 Mei lalu, saya juga berkesempatan ngobrol secara on air dengan mbak Ratna Soemantri, salah seorang penggemar teh, yang kebetulan juga mentor saya. Banyak sekali ilmu teh yang saya serap dari beliau.

Seperti biasa, suara mbak Ratna yang renyah dan luwes langsung terdengar di udara:
“Selamat malam mbak Ratna”, sapa kami bersama-sama.
“Selamat malam juga. Disana sedang hujan gak? Disini hujan lho, dan hujan gini enaknya ngeteh,” wah sebuah pancingan yang menggoda.
“Sedang ngeteh apa mbak Ratna?”, tanya saya.
“Saya sedang menyeduh teh Gyokuro,”
“Apa itu Gyokuro,” Ida Arimurti langsung memalingkan kepalanya kepada saya.
“Mbak Ratna bisa menjelaskan kepada pendengar semua”, jawab saya.

Sebenarnya penjelasannya mbak Ratna tidak off record, tetapi dari pada terjadi pengulangan, saya akan tuliskan belakangan. Obrolan tersebut diakhiri dengan perkataan mbak Ratna:
“Nanti saya akan kirim ke Gyokuronya ke mbak Ida dan pak Bambang”.


Selesai siaran HP saya langsung berbunyi, dan terbaca SMS dari mbak Ratna berbunyi demikian:
”Tolong kasih alamat Delta FM dan juga alamat pak Bambang Saya akan kirim Gyokuronya”.


Wah tentu ini sebuah surprise bagi saya, karena terus terang saya juga belum pernah mencoba Gyokuro. Harganya yang sangat mahal, tentu membuat saya masih selalu punya alasan untuk menunda membelinya. Bayangkan saja, dengan harga teh mencapai 10 juta per kg, siapa tidak keder dibuatnya. Dan kali ini ada orang begitu baik itu memberi saya kesempatan untuk mencobanya.

Teh hijau Jepang memang unik. Dari bibit yang, beda proses penanaman, beda waktu petik akan mendapatkan grade dan nama yang berbeda. Pola penanaman tanpa diberi penaungan, dan dipetik pada musim semi akan menghasilkan Sencha. Sedangkan pemetikan musim panas dan musim gugur akan menghasilkan Bancha. Kemudian roasting rice dicampur dengan Bancha akan menghasilkan Genmaicha (Kalau Genmaicha kualitas bagus, digunakan Sencha). Kalau yang digunakan tangkai daun teh dinamakan Kukicha.

Matcha, menurut salah satu sumber dari Internet dikatakan terbuat dari Gyokuro yang dibuat bubuk. Tetapi, menurut mbak Ratna, Matcha dibuat dari Tencha, hampir mirip dengan proses penananaman Gyokuro, tetapi digunakan daun yang lebih besar. Matcha adalah jenis teh yang selalu dipergunakan dalam Chanoyu, yaitu upacara minum teh bangsa Jepang.

Gyokuro adalah best of the best teh hijau Jepang. Proses cultivasi yang rumit membuat teh ini harganya sangat mahal. Teh ini diproduksi dengan pola tanaman diberi penaungan hampir 100% gelap selama tiga minggu sebelum masa petik. Diatas kebun, diberi penutup, sehingga daun teh terlindung dari sinar matahari. Dengan pola ini, kadar chlorophyl akan meningkat, tetapi kadar tannin menurun tajam. Itu sebabnya warna daun teh Gyokuro akan berwarna hijau zamrud, dan tampak sedikit berkilauan. Sekalipun aroma cukup kuat namun rasanya cukup lembut.


(Photo diambil dari http://www.maiko.ne.jp/english/images/gyokuro-en.jpg)

Bisa dibayangkan betapa senang dan surprisenya saya mendapatkan teh kualitas premimum seperti ini. Surprise kedua, teh saya terima lebih cepat dari saya duga.

Surprise ketiga, selain Gyokuro saya juga mendapatkan beberapa sample teh lainnya, seperti Sencha hasil panenan ke 88 musim semi. Satu bungkus sample Yinzhen Organic (White Tea), dari Zhejiang, dan satu bungkus Genmaicha, yang terbuat dari Sencha, Kukicha dan Roasting rice.

Untuk mendapatkan perbandingan, saya coba seduh Gyokuro dan Sencha berbarengan. Dari penampilan fisik daun teh kering, Gyokuro sudah tampak sangat menawan. Warna Hijau zamrud berkilauan dengan aroma wangi lembut. Sedangkan Sencha warnanya lebih muda dan pucat.

Menurut saran dari mbak Ratna, Gyokuro cukup diseduh 2 menit dengan suhu air 70ยบ. Sencha saya seduh sekitar 3 menit. Sebenarnya cara seduh yang benar Gyokuro melalui beberapa step yang tidak sederhana, tetapi karena tidak sabar saya sederhanakan dengan cara seduh ala china.

Warna seduhan dari Gyokuro berwarna hijau bening, sedangkan Sencha jauh lebih pekat. Aromanya wangi dan ketika diminum, terasa smooth, sangat lembut di tenggorokan. Rasanya tenggorakan saya dibelai oleh sutra halus. Lembut sekali, tetapi aormanya Sehalus kulit lembut Zang Zhiyi ketika memerankan Sayuri dalam the memoar of Geisha. Afternya sangat manis sekali. Tidak sedikitpun terasa jejak pahit seperti biasanya terjadi pada teh-teh hijau Jepang. It’s very delicate. Pikiran terasa melayang, seakan sedang mendengarkan Sayuri memainkan Shamisennya.





Sedangkan untuk Sencha aroma dan rasa jauh lebih garang, dan meninggalkan jejak rasa pahit. After manis masih terasa, tetapi kalah jauh kalau dibandingkan dengan Gyokuro. Minum Sencha seolah sedang merindukan cinta Hatsumomo, salah satu saingan Sayuri dalam Memoar od Geisha. Menawan namun terasa lebih garang. Menawan namun mudah untuk dilupakan. Berbeda dengan Gyokuro, dimana kenangan bersamanya akan terpatri secara abadi. Ingin rasanya tetap bersama-sama menikmati kebersamaan dengan Gyokuro, tetapi ... Luaarange iku lho rek!

9 comments:

Unknown said...

Aduh menarik sekali (baca di milis JS tadi) karena saya juga suka teh, tp biasanya minum Teh Taiwan. Hampir semua Teh Jepang yang pernah saya coba itu daun tehnya hancur, itu kualitas rendah ya? Saya blum pernah ketemu yg daun teh penuh seperti di gambar. Pingin sekali coba.

Salam kenal ya :)

Bambang Laresolo said...

Dear Sri, ukuran daun memang mempengaruhi kualitas rasa. Saya juga dapat Sencha bubuk, rasanya lebih pahit dibanding Sencha Daun. Tetapi tidak berarti daun besar juga kualitas tinggi. Bancha, daunnya lebih besar, tetapi aromanya minim sekali. Jadi yang menentukan kualitas adalah waktu petik, asal daun (kuncup, P1, P2,dst), juga ukuran daun setelah pemosresan. Terkecuali Matcha, semuanya pasti bubuk dan rasanya memang pahit. Tetapi bukan pula berarti Matcha adalah kualitas rendah.

Unknown said...

Pak Bambang, maksud saya bukan berarti ukuran daun menentukan, tp mungkin krn daun teh hancur itu isinya bukan yang berkualitas tinggi (yang itu di preserve untuk proses sendiri). Itu hanya tebakan saya sih :)

Waktu itu saya pernah beli teh jepang waktu transit di jepang, 1000 yen, dipak kayak 30g, isinya bubuk/hancuran gitu juga. Karena itu awalnya saya kira semua teh jepang memang bubuk.

Sebenarnya saya kurang suka teh jepang, karena seperti kopi, harus ditunggu mengendap baru bisa diminum. Kadang2 di tenggorokan kurang enak gitu :D

Bambang Laresolo said...

Dear Sri, kamu memang tidak salah kok . Kualiatas Sencha, selain dari waktu panen, juga ditentukan oleh ukuran daun atau finest. Makin kecil finestnya, kualitasnya makin rendah (ini juga berlaku untuk teh lainnya, kecuali Matcha). Selain menyebabkan rasa pahit, bubuk teh juga membuat warna air seduhan lebih kotor. Dalam hal penyaringan juga lebih menyulitkan, karena sering mampet disaringan. Sekali-kali cobain Sencha yang daunnya lebih utuh. Salah satu Sencha Indonesia (Malino Hijau), kualitas daunnya cukup oke, dan kualitas rasa juga yang paling baik diantara teh hijau Indonesia yang pernah saya coba.

Unknown said...

Malino Hijau? Belinya di mana?

Oh ya satu pertanyaan lagi, bapak pernah coba Java Oolong yang dijual di Teh 63? Rasanya bagaimana ya? :)

Bambang Laresolo said...

Jawa Oolong, tentu pernah coba. Waktu itu saya coba yang wangi melati. Kalau yang original rasanya agak flat. Malino hijau baru saja di Launching, ntar saya tanyain dapat di beli di mana.

Bambang Laresolo said...

Oh jawa Oolong juga sudah ada reviewnya kok. Silahkan klik di Teh Indonesia

Anonymous said...

dear mas bambang, saya tertarik dengan usaha kedai teh yang anda geluti sekarang ini,pengetahuan anda akan teh sangat membuat saya penasaran,bolehkah saya meminta alamat email anda yang sering anda buka? saya ingin menulis email kepada anda secara pribadi ( kalau tidak keberatan)
email saya sam.budiyanto@gmail.com

Bambang Laresolo said...

Dear pak Budiyanto, saya sudah kirim email ke bapak. Ingin lebih jelas lagi bapak bisa kirim email ke laresolo@gmail.com