Sunday 14 March 2010

Duka di Lembah Dewata

“Saya suka bekerja disini, karena pemilik kebun ini sayang sama kita semua.Tetapi, sekarang kami harus bagaimana”, begitulah sekilas wawancara salah seorang korban longsor Kampung Dewata yang saya lihat di Televisi.

Saya tercenung. Saya paham, apa yang dirasakan oleh pekerja tersebut. Dia sudah bekerja bertahun-tahun disitu. Bahkan mungkin entah sudah berapa generasi, mereka beranak pinak disitu. Saya yang baru 2 kali mengunjungi Lembah Dewata, sudah dapat merasakan betapa kedamaian, keakraban dan kesahajaan, seluruh warga kampung dewata, termasuk pejabat-pejabat perkebunan bahkan hingga pemiliknya.

Jadi ketika saya mendengar kabar adanya longsor di kampung Dewata pada hari Selasa , saya pikir Cuma longsor biasa yang tidak terlalu parah. Tetapi ketika mendengar berita betapa jumlah korban yang meninggal maupun hilang cukup banyak, apalagi ketika saya melihat photo di kompas dibawah ini, hati saya terasa sangat pilu.


Coba bandingkan dengan photo yang diambil Willy Suwandi, rekan dari komunitas pecinta teh ketika berkunjung ke tempat ini bulan October 2009, sungguh sangat menyedihkan.



Ingatan saya melayang beberapa bulan silam, awal-awal sa

ya berkenalan dengan pak Robby Baddrudin, salah seorang putra dari Rahmad Baddrudin, pemilik kebun teh Dewata ini.

Pak Atik Dharmadi, salah seorang mantam tea scientist dari Bandung, yang membawa dan memperkenalkan pak Robby dengan komunitas pecinta teh. Pada waktu itu kami mengadakan gathering di Kantor Pemasaran Bersama, Gondangdia Jakarta.

Saya pikir, Cuma sekedar basa-basi ketika pak Robby menawarkan kami untuk datang berkunjung ke kebunnya. Apalagi menurut beliau, jalanan yang ditempuh medannya cukup berat, dan harus menggunakan mobil offroad untuk mencapainya dengan lebih nyaman.

Cerita tentang kunjungan ke kebun mungkin saya akanceritakan di lain waktu. Yang saya ingat adalah, keramahan dari seluruh pekerja kebun. Mereka menyiapkan kedatangan kami dengan sepenuh hati. Bahkan pak Irvan, salah seorang Administratur kebun, rela meminjamkan rumah dinasnya kepada kami, sementara beliau dan keluarga mengungsi ke tempat lain.

Dan ternyata rumah yang dulu kami inapi, sekarang sudah tertutup dengan tanah. Yang lebih menyedihkan, putra terkecil dari pak Irvan menjadi salahsatu korban yang tidak selamat dari bencana tersebut.

Kali kedua saya berkunjung ke Lembah Dewata adalah ketika saya mengikuti acara program jurnalistik yg diadakan bu Maria dari kantor berita Antara.

Di kali kedua, tersebut saya merasa sudah menjadi bagian dari keluarga Dewata. Bahkan saya menginap satu kamar bersama pak Darso dan pak Robby di mess 2, yg sekarang hanya tampak gundukan tanah seperti halnya Mess 1 dan rumah pak Irvan. Disitu kami sempat ngobrol semalaman bicara mengenai visi, filosofy serta impian-impian kami.



Saya teringat, betapa ceria dan gembiranya wajah para pemetik teh, ketika kami memotret mereka. ”Nanti dikirim ya pak”, kata mereka sambil tersenyum lebar.
Saya teringat, betapa sepanjang jalan, mereka melambaikan tangan kepada kami.

Betapa menyedihkannya, ketika melihat betapa mereka sekarang harus mengungsi dari kampung yang telah mereka tinggali entah berapa generasi.




Saya teringat, betapa saya telah bersama-sama memasak di dapur mess mereka, ketika menyiapkan baberque untuk makan malam. Kemana ikan-ikan super besar hanya mau memakan rumput saja. Kemana sekarang sebuah pohon teh besar yang telah berusia 50 tahun lebih.

Hal yang membuat saya gundah, demikian juga dengan pertanyaan Nilam Zubir, salah satu peserta loka karya menulis di Lembah Dewata, yaitu kenapa sebuah bukit penuh pepohonan bisa runtuh? Bukankah alam dan manusia telah bersahabat sebelumnya. Betapa pohon-pohon tersebut dirawat, dan tidak ada ekploitasi alam yang berlebihan. Bukankah akar-akar pohon teh tersebut akar yang kuat. Bahkan para tamu, diwajibkan menanam pohon sebagai kenangan dan juga pelestarian lingkungan.


Beberapa analisa para ahli sedikit menjawab kegundahandan pertanyaan saya. Gempa Tasik yang melanda pengalengan beberapa waktu yang lalu, ternyata telah menyebabkan retakan tanah. Ketika turun hujan, dimana pada masa-masa sebelum bukit tersebut runtuh, air hujan mengisi retakan tanah tersebut, sehingga menyebabkan ikatan antar tanah jadi melunak. Selainitu, menurut pak Robby, memang terjadi hujan yang curahnya hujannya sangat hebat, sekitar 5 kali dari curah hujan .

Menurut teman saya, Pak Dhe Rovicky, si pendongeng Gempa, pepohonan, terkadang memang bisa menjadikan beban tanah makin berat.


Apapun analisanya, yang terpenting adalah, lembah Dewata segera dapat pulih kembali.


No comments: