Tanpa
terasa saya sudah melewati 3 tahun menjalankan usaha dibidang teh. Dimulai dari
kedai sederhana, belajar meracik teh, mensupply beberapa kafe yang menyedikan
teh, melayani jasa custom blending untuk signature blend beberapa cafe, menjadi konsultan yang berkaitan dengan teh, juga menjadi pembicara
dibidang teh. Pokoknya core bisnis saya tetap teh.
Banyak
orang menanyakan, bagaimana awalnya saya tertarik kepada teh?
Tentunya
ini sangat berkaitan dengan sejarah dan tradisi keluarga. Saya minum teh dari
kecil, bahkan pada waktu itu saya tidak pernah minum air putih, selalu minum
teh. Sebelum teh botol Sosro terkenal seperti sekarang, kami kemana-mana selalu
bekal air teh yang dimasukkan dalam botol bekas Orson (syrup jeruk). Bisa jadi Mbak Sosro Joyo
terinspiriasi dari tradisi masyarakat Indonesai yang suka bekal teh dibotolin J
Ibu
saya bukanlah seorang yang terpelajar. Sekolah hanya lulus SD, karena sudah
dipaksa menikah pada usia Dini. Tetapi namanya cinta kasih tidak ada
sekolahnya.
Ibu
saya tidak kenal apa itu Afternoon tea, apalagi Puteri Anne yang mempelopori
budaya minum teh dari Inggris tersebut. Bahkan ibu sama sekali tidak tahu apa
itu teh hitam, teh hijau, Oolong, dsb. Bagi beliau teh hanya teh wangi melati.
Teh harus diseduh dengan air mendidih, dan dijaga kehangatannya. Dapat dikatakan
ibulah tea host di rumah kami, dan
tamu-tamunya adalah suami dan anak-anaknya. Tradisi minum teh telah dimulai
dari pagi hari, dan diulang lagi pada
sore harinya.
Saya
ingat betul setiap hari ibu selalu bangun pagi buta. Setelah selesai sholat
subuh, ibu langsung ‘nggodhog wedang’. Ini sebenarnya sebuah bahasa yang
hyperbolic. Nggodok artinya masak. Sedangkan wedang berarti air minum yang
sudah dimasak. Wedang teh, wedang jahe, wedang ronde, semua adalah air yang
sudah siap dan layak diminum. Jadi kalau diterjemahkan, nggodhog wedang adalah
memasak air minum yang sudah dimasak. Wah, mbulet banget.
Tempat
menyeduh teh disebut porong, yaitu sebuah teko yang terbuat dari semacam
campuran besi dan aluminium. Saya tidak tahu pasti material yang dipakai. Tidak
ada ritual atau cara-cara khusus untuk menyeduh teh. Setelah teh selesai
diseduh dengan air panas, porong ditutup dengan tutup yang berbentuk bantal.
Ya, bentuknya memang mirip sekali dengan bantal karena memakai kapuk yang
dibungkus kain. Ibu biasanya membuat sendiri tutup porong tersebut. Tujuannya
agar teh yang diseduh tetap awet panas. Tentu saja kami belum kenal dengan apa
yang namanya warmer. pun bukan Teapot cover yang dijual di Alibaba.com Apalagi teapot cover ala TWG atau Marriage Freres, gak
pernah kebayang.
Teh yang sering digunakan ibu adalah teh 999
atau teh cap sepeda balap. Kadang-kadang teh gopek. Terkadang ibu juga mencampur beberapa merk teh tersebut.
Setiap
bangun pagi, di meja makan pasti sudah tersedia gelas teh yang masing-masing
gelas memiliki warna tutup yang berbeda. “Le, iki wedange le”, begitu sapa ibu
setiap membangunkan saya. Biasanya ibu akan menunjukkan gelas mana yang punya
saya, dan gelas mana yang punya bapak atau kakak. Sebagai teman minum pasti
sudah tersedia tempe goreng dan beberapa cabe rawit. Karena kebetulan tetangga
sebelah rumah yang memproduksi tempe tersebut, ibu selalu pesan tempe yang
belum jadi. Yaitu tempe yang belum sempurna proses peragiannya sehingga butiran
kedelai masih tampak nyata. Selain tempe yang selalu tersedia adalah kerupuk
pasar yang berwarna merah muda atau kuning. Terkadang tersedia juga karak,
yaitu kerupuk dari gendar. Kerupuk memang tidak pernah hilang dalam kuliner
keluarga saya. Bahkan tukang kerupuk sempat meminjamkan blek atau kaleng
kerupuk yang berbentuk kotak dari seng dengan tutup bulat macam topi, dan satu
sisi memiliki kaca tembus pandang. Karak disimpan dalam lodhong atau toples
kaca berbentuk silider dan bertup bulat . Gurih tempe, dipadu pedas rawit,
disusul kriuk kerupuk kemudian digelontor teh melati manis. Hmm…nikmat sekali.
Itu
baru menu pembukaan makan pagi. Setelah itu biasanya tersaji pondoh pecel,
yaitu semacam gendar tetapi digunakan santan sebagai pengganti bleng. Selain
itu juga tersedia pecel bongko yang terbuat dari kedelai. Itu baru appetizer
semacam salad. Main coursenya adalah nasi putih dengan lauk tumis kulit melinjo
dan tentu saja tempe goreng dan kerupuk.
Ritual
minum teh tersebut akan berulang lagi pada sore harinya dan yang pasti tidak
ketinggalan sebagai teman adalah tempe goreng dan kerupuk. Ritual minum teh
sore biasanya dilanjutkan dengan mengobrol ringan di meja makan sampai tiba
waktu magrib. Selesai Sholat, kami kembali ke meja makan untuk makan malam.
Hingga
kini, setiap kami pulang kampung, dalam kerentaannya, dengan tertatih-tatih ibu
masih saja menyediakan teh buat anak-anaknya. Padahal kami sudah besar semua.
Punya anak dan istri masing-masing. Bahkan ibu sudah punya buyut, tetapi ibu
tetap merasa itu adalah sebuah kewajiban dalam menunjukkan cinta kasihnya
terhadap keluarga. Beliau merasa bahwa jabatan sebagai host dalam tradisi minum
teh keluarga tidak tergantikan. Teh untuk cinta
1 comment:
viagra asli
viagra
obat viagra
viagra asli
harga viagra
viagra asli
jual viagra
viagra asli jakarta
viagra jakarta
toko viagra
viagra usa
viagra original
obat kuat viagra
obat kuat asli jakarta
obat kuat jakarta
hammer of thor
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli
cialis
cialis jakarta
cialis asli
vimax
vimax jakarta
vimax asli
Post a Comment