Saturday 24 November 2007

Myanmar tea



Ketika salah seorang teman kantor mendapat tugas untuk pergi ke Myanmar, iseng-iseng saya berpesan, “Jangan lupa beliin saya teh Myanmar ya”.

Tetapi mungkin karena teman saya kurang paham dengan masalah teh, atau memang dia tidak punya waktu yang luang untuk mencari-cari teh, dia bawakan saya satu bungkus teh yang tampaknya bukan teh kualitas baik. Tertulis di kemasannya Htate Htarr Lay, Natural Green tea. Di dalam kemasan, teh dibungkus dengan plastik bening biasa. Daun teh kering berwarna kehitaman, mirip dengan teh hijau wangi melati Indonesia, yang tentu saja minus aroma melatinya. Alih-alih aroma melati, aroma yang ada malahan aroma apek bau tanah. Karena aromanya tersebut, pada waktu itu saya kurang tertarik untuk mengekplore lebih jauh tentang teh Myanmar.

Selang beberapa waktu, ketika saya menata kembali beberapa teh koleksi saya, teringat bahwa ada teh Myanmar ini belum pernah di coba,dan belum saya ekplore. Informasi yang saya temukan mengenai Htate Htarr lay di internet, hanya beberapa daftar produk mereka. Selain teh hijau, mereka juga memproduksi white tea dan Oolong tea. Akan tetapi, sama seperti halnya teh-teh bermerk lainnya, informasi mengenai grade tidak pernah dijelaskan di dalam kemasannya.

Dari beberapa informasi yang saya dapatkan, ternyata teh Myanmar cukup menarik untuk dieksplore lebih jauh.

Di Myanmar, ada beberapa varians pohon teh yang dibudidayakan. Selain varians Camellia Sinensis (sama halnya dengan pohon teh di China dan Jepang), juga ada varians Camellia Assamica (sama halnya dengan pohon teh di India dan Indonesia). Menurut catatan sejarah, pohon teh asli ditemukan di daerah Ayyeyarwaddy, yang kemudian berkembang ke berbagai daerah di Myanmar. Beberapa pakar teh, menyebutkan Myanmar juga memiliki satu klon pohon teh asli dari Myanmar yang disebut sebagai Camellia Arrawadimis.

Di Myanmar, teh bukan hanya dikenal sebagai minuman, tetapi juga merupakan bagian dari makanan traditional yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Daun teh dibuat semacam pasta yang kemudian akan menjadi semacam asinan, yang disebut sebagai Laphet. Makanan ini sering juga disebut sebagai Pickled tea atau Salad tea. Laphet bukan sekedar makanan biasa, tetapi sudah merupakan bagian dari kultur sosial budaya. Laphet disajikan sebagai bagian acara ceremoni keagamaan, welcoming guest, bahkan juga dijadikan camilan di depan televisi.
(Photo Laphet di ambil dari http://www.sfgam.com/blog/laphet-thote-%e2%80%93-fermented-tea-leaf-salad/)

Saat ini saya belum bisa menulis banyak tentang Laphet, karena sama sekali belum pernah mencoba sendiri. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa mendapatkan kesempatan untuk mencicipi Laphet.


Kembali lagi ke natural green tea merk Htate Htarr lay. Bau apeknya mengingatkan saya kepada bau puerh. Warna daun teh kering, berwarna kehitaman, tetapi tidak segosong teh hijau wangi melati kita. Warna kehitaman kemungkinan karena proses oksidasi, dikarenakan teh hanya dikemas di dalam kemasan plastik sederhana. Daun teh kering masih berbentuk daun utuh. Warna seduhan cenderung berwarna coklat. Rasanya pahit dan aroma tanahnya mirip-mirip dengan raw puerh usia muda. Ada jejak rasa yang tajam yang tertinggal di lidah seusai minum teh ini. Bukanlah teh yang cukup enak dinikmati. Entah karena memang kualitas teh yang kurang baik, atau memang seperti itu rasa teh Myanmar, saya masih belum begitu mengerti. Mesti memiliki perbandingan teh lain. Akan tetapi dari kaidah umum kualitas teh, kualitas yang baik semestinya tidak berasa pahit dan beraroma yang enak. Puerh kualitas baikpun juga tidak lagi beraroma tanah apek.

Mungkin ada teman-teman yang pernah mencoba Myanmar tea dan bisa share pengalamannya? Terus terang saya sangat penasaran dengan yang namanya Laphet. Saking penasarannya saya coba cari informasi tentang Laphet di kedutaan Myanmar. Barangkali saja, saya bisa mendapatkan informasi dimana saya bisa dapatkan Laphet di Indonesia.
"Aduh saya tidak tahu. Disini kebetulan tidak ada divisi budaya. Kami hanya mengurusi soal politik saja". Begitu jawaban yang saya terima dari staff kedutaan Myanmar. Haiya...

5 comments:

Anonymous said...

Halo Mas Bambang,tulisan tehnya semakin OK aja,gua percaya ntar kalau ada majalah/tabloid kuliner khusus tentang Teh, pasti Mas Bambang yang nerbitin.Mungkin kerja sama dengan P Bondan nerbitin majalah Kuliner Mas Bambang.

Tentang teh dan budaya menarik itu sekali Mas Bambang.Juga Myanmar saking bingung gonjang ganjing politik ngak sempat ngurusin Budaya.Gua pernah baca buku Mushashi ada Upacara Minum Teh juga sebelum memasuki 'Jalan Pedang' sebagai seorang Samurai,menarik itu Mas Bambang kalau ditulis.
Orang Tionghoa kalau 'makan meja'/'makan besar' pasti ada disediakan teh hijau yang ditambah terus oleh pelayan ( konon untuk menghilangkan rasa 'neg' dan nglontor lemak, supaya makan bisa berlanjut sampai 10 sesi dari pembuka sampai penutup).Budaya Eropa gemar minum teh saat sore,seperti orang Belanda minum teh biasanya ada 'Verkade'/biskuit khas Belanda (bukan iklan merk biskuit lho walau ada mungkin merk tsb).
Juga ulasan Mas Bambang tentang Teh di Garut kental yang dengan budaya Sunda (banyak kebun teh di Jawa Barat sejak dulu).
Satu lagi dulu saya lama kerja di Jakarta kalau pesan teh atau Es Teh pasti diberi Teh Tawar,sekarang gua pulang kampung di Semarang selalu diberi Teh Manis, begitu deh Mas Bambang.Herannya di jaman susah begini tetap saja orang Jateng/Jatim kalau bikin teh di Warung2 pasti gula pasir diberi banyak (pemborosan,kebanyakan gula tersisa walau teh sudah habis, mungkin yang pesan juga malas ngaduk) sebenarnya lebih hemat kalau pihak warung mau repot sedikit menggunakan gula cair (gula direbus dulu).

Sayang saya tidak punya pengalaman tentang teh secara specifik Mas Bambang,cuma waktu kecil di Madiun seingat gua ada teh yang sampai sekarang masih diproduksi, bukan iklan tapi saya rasa masih OK menurut saya,teh 'GOPEK' bikinan Slawi,ngak tahu masih kategory 'Recomended' ngak oleh Mas Bambang.Waktu gua di Jakarta paling kalau pengen teh kental /'Ginastel' gua beli Teh Cap Botol karena yang di warung banyak merk tsb,juga pas perut pas ada gangguan saya minum setelah disedu ama ampasnya,tokcer dibanding oralit atau obat sakit perut lainnya.Dulu almarhumah nenek gua juga sering ngasih 'Oolong Cha'/teh merah Cina kalau saya panas dalam/sariawan,belinya di toko obat Cina,kalau di Jakarta di Glodok/Pecenongan/Toko Tiga juga banyak yang jual.

OK Sukses Mas Bambang, Salam dan doa Buat Mbak Elly dan 2 jagoan kecil di rumah.

Bambang Laresolo said...

Hai Edy, makasih ya komentarnya udah bisa jadi artikel sendiri nih. Teh Gopek, Cap Botol, Tong Tjie tidak begitu jauh beda. Daun teh yang dipakai bukanlah kualitas terbaik. Gopek sendiri sebenarnya singkatan dari Golden Orange Pekoe, salah satu grade teh cukup baik yang digunakan oleh Darjeeling dan Ceylon teh.

Bambang Laresolo said...

Ada lagi yang kelupaan, kalau budaya teh di Jepang, namanya Chanoyu atau Chado. Ritualnya lebih kepada ritual agama. Teh memang bisa dijadikan alat meditasi.

chacha said...

mas..saya sudah coba rasa daun teh myanmar yang di bilang salad teh.rasanya aneh bgt, mereka makan dengan bermacam kacang2 trus ditambah minyak sayur, garam dan msg, rasa tehnya tak terlalu terasa, mereka jual di myanmar shop 1 package lengkap ada kacang dengan tea leaf nya.. rasa teh salad itu lembut, tapi kurang menarik cara penyajiannya.. kalau teh myanmar memang benar rasanya pahit dan berbau tanah..
kalau mas mau tau tentang teh myanmar mas datang ke malaysia disana banyak warga myanmar yang tinggal di malaysia dan mereka buat kedai2 di setiap wilayah malaysia pasti ada

Bambang Laresolo said...

Makasih untuk infonya ya Okta. Nanti saya tanyakan ke teman saya yang tinggal di Malaysia.