Sunday, 16 November 2008

The Way of Tea (1)


Sejarah Chanoyu

Chado atau the way of tea adalah suatu jalan atau cara memahami upacara minum teh dan segala estetikanya untuk dapat diaplikasikan dalam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Chado sering juga disebut sebagai Chanoyu.

Chanoyu sendiri, kalau diartikan secara harafiah artinya adalah air panas untuk teh. Tradisi ini berkembang seiring dengan sejarah panjang masuknya teh ke Jepang.

Sejarah perkembangan teh di Jepang tidak bisa dipisahkan dari peranan para biksu Jepang. Para biksu ini, sepulangnya mereka dari belajar agama Budha di China, mereka juga membawa bibit pohon teh berikut juga budayanya yang dikembangkan untuk keperluan meditasi agama zen dengan membawa adat istiadat Jepang.

Salah seorang Biksu yang dikenal sebagai pendiri Zen Budha Jepang adalah Myōan Eisei. Dialah yang telah membawa dan membudiyakan teh di Jepang, sekembalinya dari China pada tahun 1911. Kalau sebelumnya, teh dibudidayakan untuk pengobatan, Eisei membudidayakan untuk upacara keagamaan. Apakah Eisei budi daya teh ini dilakukan oleh Eisei sendiri memang masih menjadi perdebatan. Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa Eiseilah yang telah membawa budaya teh bubuk ke Jepang. Dia mengajarkan bagaimana cara menggiling teh menjadi bubuk yang halus,

Pada perkembangan berikutnya Chanoyu menjadi suatu kebiasaan dan kegemaran yang biasa dilakukan para Daimyo di Jepang. Acara minum teh juga menjadi acara tebak-tebakan tempat asal air, yang pada akhirnya berkembang menjadi sarana perjudian. Selain itu Chanoyu juga menjadi ajang pamer kekayaan, karena menggunakan peralatan yang mewah dan mahal yang didatangkan dari China dari dinasti Tang.

Kebiasaan ini ditentang oleh Murata Juko. Menurut dia, acara minum teh tidak boleh ada minuman keras dan perjudian. Acara minum haruslah menjadi ajang pertukaran pengalaman spiritual kedua belah pihak. Acara teh yang diperkenalkan oleh Juko akhirnya berkembang menjadi aliran Wabicha.

Wabi secara literal artinya kesunyian, dan ini disimpulkan dalam sebuah kesederhanaan dan keheningan. Oleh Takeno Shoo dan kemudian diteruskan oleh muridnya Sen No Rikyu, Wabicha makin berkembang dan populer di kalangan samurai. Wabicha berkembang menjadi upacara minum teh yang sederhana, tetapi penuh kekhidmatan dan filosofi yang tinggi. Beberapa peralatan dibuat dari bahan sederhana. Seperti sendok teh, pengocok teh, dibuat dari bambu.

Sen No Rikyulah yang meletakkan dasar-dasar filosofi Chado,yaitu Wa, Kei, Sei dan Jaku, yang artinya adalah Harmoni atau keselarasan, Penghormatan, Kemurnian dan Ketenangan. Dasar pijakan Chanoyu adalah keselarasan dengan alam. Rumah teh dan taman dibuat selaras dengan alam sekitarnya. Rumah teh bisa dibuat dari balok kayu berikut kulit kayu yang masih menempel, atau pilar kayu tanpa diserut dan dicat. Dinding dipoles dengan acian tanah liat. Untuk jalan-jalan setapak di taman menuju rumah teh digunakan batu-batu alam.

Kei atau penghormatan adalah dasar pijakan kedua. Dalam chanoyu, manusia tidak ada lagi kelas-kelas. Tidak ada perbedaan status sosial, agama, strata, karena semuanya adalah setara. Ketika mereka duduk dalam satu ruang teh, mereka harus saling menghormati. Tuan rumah menghormati tamunya, begitu juga sebaliknya, apapun status sosial dan perbedaan lainnya. Penghormatan juga ditunjukan terhadap keindahan karya seni manusia. Chawan-chawan yang sekalipun tampak sederhana, tetapi tampak begitu indah karena dibuat oleh seorang ahli tembikar sejati. Dalam buku Novel Musashi, Eiji Yoshikawa bahkan menggambarkan bahwa seorang ahli tembikar tak ubahnya seorang ahli pedang. Goresan kape di Chawan yang tergurat, sama dengan potongan bunga peoni yang dilakukan oleh seorang ahli pedang.

Sei adalah kemurnian yang muncul dari ketulusan hati. Kesungguhan tuan rumah dalam menyiapkan teh, adalah inti sari kemurnian dari Chanoyu. Tanpa ketulusan dan kesungguhan, mustahil tuan rumah mau melakukan suatu ritual yang begitu detail dan ribet Cuma sekedar menyiapkan semangkok teh.

Dan diantara kesemua dasar tersebut dilakukan dengan ketenangan dan sangat khusuk. Itu sebabnya dalam sebuah upacara, hampir dikatakan tidak ada suara sama sekali. Tak ada alunan musik, tak ada suara obrolan riuh rendah yang tidak perlu.Itu sebabnya dalam aliran wabicha, digunakan ruang teh yang kecil dengan jumlah tamu yang tidak terlalu banyak.

Sepeninggal Rikyu, ajarannya berkembang menjadi beberapa aliran. Sansenke adalah aliran yang dimulai oleh Shen No Soan , yang merupakan anak dari istri muda Rikyu dan diteruskan oleh garis keturunannya, hingga sekarang. Urasenke adalah sebuah nama sekolah dari Upacara minum teh Jepang. Ini merupakan aliran dari San Senke, salah seorang dua saudara keturunan Sasenke lainnya, Omotesenke dan Mushanokejisenke.

Dimulai dari Sen No Rikyu, generasi keturunannya sudah mencapai generasi ke 16, yaitu Genmoku Shositsu.

Urasenke selain di negara asalnya, juga berkembang di negara lain, termasuk Indonesia.

Pada awalnya, Urasenke di Indonesia bernama Urasenke Dookookai Indoneisia, yang didirikan pada tahun 1987. Pada tahun 1997, namanya berubah menjadi Urasenke Indoneisa Shibu, dan terakhir berubah menjadi Urasenke Tankokai Indonesia Association. Tujuan dari pendirian assosiasi ini adalah untuk memperkenalkan Chado menurut tradisi Urasenke kepada masyarakat luas di Indonesia, termasuk warga asing yang berdiam di Indonesia. Selain itu tujuan lain adalah untuk merintis pemakaian peralatan buatan Indonesia yang dapat mendukung seni tersebut, sehingga tercapai suatu keterpaduan yang baik kebudayaan Jepang dan Indonesia.

Salah satu contoh yang sudah dipraktekkan secara nyata adalah penggunaan batik sebagai bahan kimono wanita. Selain itu urasenke juga memperkenalkan tradisi Chanoyu ke kampus-kampus dan pesantren. Menurut ibu Suwarni, secretaris Urasenke Tankokai Indonesia Association, karena tujuan memperkenalkan chanoyu bukan sekedar budaya dan tata caranya, tetapi juga kandungan filosofi yang dibawanya, lebih mudah kalau diperkenalkan kepada pelajar.

Dalam kesempatan lain Urasenke juga diperkenalkan kepada masyarakat luas lewat beberapa demo di beberapa tempat, seperti di hotel Nikko bulan beberapa waktu yang lalu, bertepatan dengan ulang tahun Urasenke. Sungguh suatu kesempatan yang langka, karena saya bisa langsung menyaksikan Genshitsu Sen, Grand Master Urasenke generasi ke 15 menyajikan teh.



Photo lengkap klik Chanoyu di Hotel Nikko

2 comments:

Unknown said...

Uraian dan penjelasan Bapak sangat lengkap dan detail sekali. Saya juga sedang belajar dan melakukan penelitian tentang filosofi wabi-sabi didalam chanoyu (khususnya) dan tentang teh dan perilaku peminumnya. Tulisan Bapak bisa menjadi tambahan referensi saya, terima kasih dan saya akan terus mengikuti tulisan-tulisan Bapak. Salam dari Tokyo.

Bambang Laresolo said...

mas Hendri, terima kasih sudah berkunjung. Tulisan saya masih sangat sederhana, karena saya juga baru belajar dasar-dasar Chanoyu