“Where is the leaf? Where is the leaf?”
Kata-kata itu diulang beberapa kali. Saya masih bengong
tidak mengerti maksud Mr. Banerjee. Pada waktu itu, memenuhi harapan pak Robby
Baddrudin dari kebun teh Dewata, saya menyerahkan sample teh Golden Angel, TGFBOP
kepada Mr. Banerjee untuk mendapatkan komentar dari beliau mengenai teh ini.
“This tea is made inspired by Darjeeling ”. Begitu penjelasan saya ketika
saya menyerahkan sample tersebut seusai mengikuti workshop dari beliau. Tidak
berlebihan kalau saya bilang inspired by Darjeeling ,
karena memang dibuat awalnya untuk mencoba mirip seperti Darjeeling . Bahkan sempat dinamai Dewjeeling,
Dewata Darjeeling.
Hal ini atas dasar komentar beberapa buyer dari Dewata yang
mengatakan bahwa after taste dari teh ini adalah peachy. Oleh saya teh ini
dinamakan Golden Angel, karena gradenya sudah kategori Golden (Tippy Golden
Flowery Broken Orange Pekoe), Angel artinya Dewata, karena dibuat oleh kebun teh
Dewata. Golden Angel mendapat sambutan yang lumayan bagus, dan ada beberapa
pelanggan saya yang setia memesannya untuk diminum sehari-hari. After tastenya,
menurut saya lebih mendekati rasa buah lychee.
Baru saya paham maksudnya.
“So you never produce Broken grade?”
”Very little”
”Very little”
Sayang sekali, jatah yang saya dapat memang hanya yang
broken grade, sehingga, hanya itu yang saya bawa. Setahu saya, Dewata juga membuat yang whole leaf untuk
jenis teh ini. Mungkin memang baru ini rejeki saya (ngarep.....) J
Niat awalnya Golden Angel mau saya berikan kepada calon
Mitra saya dari Yogjakarta. Tetapi karena saya mendapatkan kesempatan ngobrol
langsung dengan mr Banerjee, kapan lagi saya dapat berikan sample kalau bukan
sekarang.
Sebelum saya lanjutkan mengenai cerita saya, mungkin ada
baiknya saya akan cerita dulu mengenai Darjeeling
dan Mr. Banerjee yang merupakan owner salah satu estate di Darjeeling , tepatnya di Maikabari estate.
Cita rasa Darjeeling begitu
unik, karena memiliki after taste buah peach dan Muscatel (Muscat adalah satu satu variasi dari Anggur),
dimana masing-masing kebun memiliki cita rasa yang bervariasi. Semula saya
pikir semua Darjeeling
memiliki aftertaste Peach, dan Goomtea memiliki after taste Muscatel, ternyata
ini tidak tepat benar. After taste peach hanya didapat dari First flush atau
panenan pertama dan Muscatel didapat dari panenan kedua, ini seperti apa yang
dijelaskan mr. Banerjee kepada saya.
Yang lebih menghebohkan mengenai Darjeeling adalah sistem gradingnya. Dimana
selain sebutan gradenya begitu panjang untuk yang high grade, juga mesti
menyebutkan estate dan waktu panennya. Misalnya ada Margareth Hope SFTGFOP
first Flush. Artinya Darjeeling dari kebun Margareth Hope, dengan grade Super
Fine Tippy Golden Flowery Orange Pekoe dari panenan pertama. Ribet bukan?
Seringkali grade TGFOP diplesetkan orang menjadi Too Good
For Ordinary People. Terlalu bagus untuk orang-orang biasa saja, hiks…. Berarti
peminum Darjeeling
adalah orang-orang luar biasa .. halah….
Keunikan lain dari Darjeeling
adalah variansnya adalah Sinensis, tetapi dibuat black tea. Jadi cita rasanya
sangat berbeda dengan teh Assam Misalnya. Selain dari daerahnya yang foggy,
jenis sinensis membuat teh ini jauh dari rasa sepet. Itu sebabnya Darjeeling tambah kacau
kalau di tambahkan gula. Darjeeling
sangat cocok jika diblend dengan rasa buah, seperti kulit jeruk ataupun kulit
lemon, minim rasa sepetnya tadi. Rasa sepet terkadang begitu mengganggu, ketika
ditambahkan buah. Tahu kenapa? Rasa buah yang sepet biasa didapat dari buah
yang masih mentah.
“It’s about 80% and therest in the convertion progress”,
demikian penjelasan dari Banerjee.
Swaraj Kumar Banerjee, demikian nama lengkapnya, adalah
generasi ke empat, yang bergabung dengan Makaibari sejak tahun 1970. Dia adalah
pioner energy alternatif, dimana dia telah membangun Bio Gas, sebagai energi
alternatif yang bebas polusi.
Orangnya sangat Idealis, bahkan terkadang terkesan sombong.
Tetapi begitu kenal lebih dekat, ternyata memang dia punya komitmen yang kuat,
dan semangat pantang menyerah.
“So you know what I mean?”, lanjut mr. Banerjee. “You should
make the whole leaf to make a good tea. Sorry to say, that you should improved
your quality, and concern only to make a good tea.”
Itu adalah salah satu idealismenya. Dan seperti saya
ceritakan di awal, bahwa kedatangan para tea master adalah dalam rangka sharing
kepada petani teh Indonesia ,
untuk membuat teh yang lebih bagus.
Ini bukan sekedar cerita isapan jempol atau pemanis belaka.
Mereka, sebelum acara Solo Tea festival sudah beberapa hari berada di Indonesia dan berkunjung ke beberapa kebun teh Indonesia ,
salah satunya adalah Tambi, teh yang selalu saya gunakan. Bahkan mereka sempat
berkunjung ke Kraton Yogjakarta, dengan mempersembahkan Chanoyu, dan dibalas
dengan tradisi patehan Keraton Yogja.
Cerita ini saya dengar dari bapak Rachmad Gunadi, presiden
direktur PT. Pagilaran, yang juga membawahi kebun teh tambi. Beliau memang
concern terhadap kemajuan dunia pertehan Indonesia . Bahkan untuk selevel
beliau, masih mau menyempatkan diri mengunjungi kedai teh saya yang sangat
sederhana di Bogor
beberapa waktu yang lalu.
Yang sangat menarik adalah, ketika di kebun teh Tambi,
Banerjee sempat mendemontrasikan memproduksi teh secara manual, yaitu dengan
menggiling dengan tangan. Bibit teh yang digunakan adalah jenis Sinensis, yang
sering disebut teh Jawa atau teh merah. Ternyata ini adalah sisa bibit sinensis
yang pertama kali ditanam oleh belanda, sebelum semuanya digantikan dengan
varians Assamica.
Atas budi baik pak Gunadi, saya bisa mendapatkan sedikit
bagian (tepatnya saya meminta), teh yang dibuat manual oleh Banerjee.
Kami juga sempat mencobanya di omah Sinten, dimana para tea
master menginap. Memang luar biasa. Baru kali ini saya minum teh Indonesia
dengan rasa seperti ini. Rasanya begitu komplek, wangi floral dan fruity yang
begitu tegas. Kalau sekedar bikin white tea, dengan bahan baku yang memang bagus, yaitu pucuk-pucuk
saja, tidaklah terlalu istimewa. Tetapi ini 3 pucuk pertama digiling pakai
tangan menjadi gulungan kecil-kecil, dan menghasilkan cita rasa yang begitu
istimewa.
Teh Indonesia buatan Banerjee |
Pak Rachmad Gunadi, presdir PT. Pagilaran |
CERITA ANGIN DAN MATAHARI
Seperti saya kemukakan sebelumnya, bahwa Banerjee tampak
seperti sombong, tetapi ketika duduk santai dan mengobrol ternyata beliau
sangatlah menyenangkan. Banyak cerita yang beliau sharing, salah satunya adalah
cerita pertempuran angin dan matahari.
“There was an upon of time…”, wah kayak dongeng Disney saja.
Untuk lebih mudahnya saya menulis, sebaiknya saya tuliskan semua dalam bahasa Indonesia .
Alkisah, terjadi perdebatan sengit antara angin dan matahari. Mereka sedang
berdebat, siapa diantara mereka yang kuat dan berkuasa.
“Saya akan buktikan”, ujar Matahari dengan lantang. “Lihat
laki-laki dibawah sana ,
yang sedang mengenakan baju batik”, Banerjee tersenyum lebar sambil memandang
saya yang kebetulan mengenakan baju batik.
“Saya akan membuat laki-laki itu melepaskan baju kebanggaannya”.
Dengan segera di pancarkan energi panas sekuat-kuatnya,
sehingga si laki-laki tadi merasa kegerahan, dan melepaskan bajunya, karena
sudah berpeluh keringat.
Angin tidak mau kalah, dia kerahkan kekuatannya untuk
menghembuskan angin, sehingga tercipta hawa yang begitu dingin. Si Laki-laki,
segera mengenakan bajunya kembali, malahan sekarang ditutup dengan jaket.
“Lihat!”, seru angin. “Bahkan bajunya sekarang dirangkap
dengan jaket”
Matahari tak mau kalah, dia tambahkan panasnya. Demikianlah
terus-menerus si laki-laku buka tutup baju akibat ulah angin dan matahari.
“Teh moral story is,
you should use your spirit, power and effort to achieve your goal”, Banerjee
menutup ceritanya. “But be smart and carefully”, lanjutnya.
Extraordinary. Beberapa idealisme dia memang bisa dijadikan
inspirasi, misalnya hanya memproduksi teh kualitas bagus, sekalipun permintaan teh
kualitas rendah juga banyak. Mulai beralih ke organic, karena selain lebih
sehat, juga untuk keseimbangan ekosistem.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau teh-teh yang dijual di
pasaran Indonesia
adalah teh kualitas rendah sedangkan teh yang kualitas tinggi di export. Dalam
hal ini saya perlu mengapresiasi teh Tambi, karena selama ini hanya menjual teh
kualitas bagus. Teh Tambi yang dijual di daerah Wonosobo, hanya grade BOP
(Broken Orange Pekoe), PS (Pekoe Souchung), dan BPS (Broken Pekoe Souchung),
dan Fanning untk teh celup. Dia tidak
menjual Broken Mix dengan merk tambi, misalnya. Sedangkan teh Kajoe Aro yang
sebenarnya memiliki kualitas sedikit diatas Tambi, masih menjual special blend,
yang isinya broken mix di pasaran lokal.
So let’s take the spirit of Banerjee.
No comments:
Post a Comment