Thursday, 15 November 2012

WHERE IS THE LEAF

Catatan dari Solo Tea Festival (tulisan ke 2)

“Where is the leaf? Where is the leaf?”
Kata-kata itu diulang beberapa kali. Saya masih bengong tidak mengerti maksud Mr. Banerjee. Pada waktu itu, memenuhi harapan pak Robby Baddrudin dari kebun teh Dewata, saya menyerahkan sample teh Golden Angel, TGFBOP kepada Mr. Banerjee untuk mendapatkan komentar dari beliau mengenai teh ini.

“This tea is made inspired by Darjeeling”. Begitu penjelasan saya ketika saya menyerahkan sample tersebut seusai mengikuti workshop dari beliau. Tidak berlebihan kalau saya bilang inspired by Darjeeling, karena memang dibuat awalnya untuk mencoba mirip seperti Darjeeling. Bahkan sempat dinamai Dewjeeling, Dewata Darjeeling.
Hal ini atas dasar komentar beberapa buyer dari Dewata yang mengatakan bahwa after taste dari teh ini adalah peachy. Oleh saya teh ini dinamakan Golden Angel, karena gradenya sudah kategori Golden (Tippy Golden Flowery Broken Orange Pekoe), Angel artinya Dewata, karena dibuat oleh kebun teh Dewata. Golden Angel mendapat sambutan yang lumayan bagus, dan ada beberapa pelanggan saya yang setia memesannya untuk diminum sehari-hari. After tastenya, menurut saya lebih mendekati rasa buah lychee.

“Yes, you said inspired by Darjeeling, but where is the leaf? All of this is broken leaf”
Baru saya paham maksudnya.
“So you never produce Broken grade?”
”Very little”
Sayang sekali, jatah yang saya dapat memang hanya yang broken grade, sehingga, hanya itu yang saya bawa. Setahu saya,  Dewata juga membuat yang whole leaf untuk jenis teh ini. Mungkin memang baru ini rejeki saya (ngarep.....) J

Niat awalnya Golden Angel mau saya berikan kepada calon Mitra saya dari Yogjakarta. Tetapi karena saya mendapatkan kesempatan ngobrol langsung dengan mr Banerjee, kapan lagi saya dapat berikan sample kalau bukan sekarang.

Sebelum saya lanjutkan mengenai cerita saya, mungkin ada baiknya saya akan cerita dulu mengenai Darjeeling dan Mr. Banerjee yang merupakan owner salah satu estate di Darjeeling, tepatnya di Maikabari estate.

Darjeeling adalah teh yang diproduksi di daerah Darjeeling, Bengal Barat, India. Sekalipun mereka juga memproduksi teh jenis lain seperti Oolong dan white tea, tetapi teh hitam Darjeeling yang sangat terkenal. Bahkan sering disebut sebagai the champagne of tea. Ini merupakan penghargaan kepada origin, dimana daerah tersebut memberi keunikan cita rasa Darjeeling yang tidak dapat diduplikasi di daerah lain. Definisi teh Darjeeling sendiri adalah teh yang di tanam, dan diproduksi di daerah Darjeeling. Seperti halnya Champage, yang boleh disebut sebagai Champage adalah jenis wine yang dibuat dari anggur yang di tanam dan di olah dari daerah Champagne.

Cita rasa Darjeeling begitu unik, karena memiliki after taste buah peach dan Muscatel (Muscat adalah satu satu variasi dari Anggur), dimana masing-masing kebun memiliki cita rasa yang bervariasi. Semula saya pikir semua Darjeeling memiliki aftertaste Peach, dan Goomtea memiliki after taste Muscatel, ternyata ini tidak tepat benar. After taste peach hanya didapat dari First flush atau panenan pertama dan Muscatel didapat dari panenan kedua, ini seperti apa yang dijelaskan mr. Banerjee kepada saya.

Yang lebih menghebohkan mengenai Darjeeling adalah sistem gradingnya. Dimana selain sebutan gradenya begitu panjang untuk yang high grade, juga mesti menyebutkan estate dan waktu panennya. Misalnya ada Margareth Hope SFTGFOP first Flush. Artinya Darjeeling dari kebun Margareth Hope, dengan grade Super Fine Tippy Golden Flowery Orange Pekoe dari panenan pertama. Ribet bukan?

Seringkali grade TGFOP diplesetkan orang menjadi Too Good For Ordinary People. Terlalu bagus untuk orang-orang biasa saja, hiks…. Berarti peminum Darjeeling adalah orang-orang luar biasa .. halah….

Keunikan lain dari Darjeeling adalah variansnya adalah Sinensis, tetapi dibuat black tea. Jadi cita rasanya sangat berbeda dengan teh Assam Misalnya. Selain dari daerahnya yang foggy, jenis sinensis membuat teh ini jauh dari rasa sepet. Itu sebabnya Darjeeling tambah kacau kalau di tambahkan gula. Darjeeling sangat cocok jika diblend dengan rasa buah, seperti kulit jeruk ataupun kulit lemon, minim rasa sepetnya tadi. Rasa sepet terkadang begitu mengganggu, ketika ditambahkan buah. Tahu kenapa? Rasa buah yang sepet biasa didapat dari buah yang masih mentah.

Ada lebih dari 50 estate di Darjeeling, dimana masing-masing estate memiliki ciri khas yang dan keunikan cita rasa yang berbeda. Ada Margareth Hope seperti yang disebutkan diatas, Arya, Goom tea, singbulli, dsb.

Makaibari adalah salah satu estate yang memproduksi khusus organic darjeeling tea
“It’s about 80% and therest in the convertion progress”, demikian penjelasan dari Banerjee.

Swaraj Kumar Banerjee, demikian nama lengkapnya, adalah generasi ke empat, yang bergabung dengan Makaibari sejak tahun 1970. Dia adalah pioner energy alternatif, dimana dia telah membangun Bio Gas, sebagai energi alternatif yang bebas polusi.

Orangnya sangat Idealis, bahkan terkadang terkesan sombong. Tetapi begitu kenal lebih dekat, ternyata memang dia punya komitmen yang kuat, dan semangat pantang menyerah.


“So you know what I mean?”, lanjut mr. Banerjee. “You should make the whole leaf to make a good tea. Sorry to say, that you should improved your quality, and concern only to make a good tea.”

Itu adalah salah satu idealismenya. Dan seperti saya ceritakan di awal, bahwa kedatangan para tea master adalah dalam rangka sharing kepada petani teh Indonesia, untuk membuat teh yang lebih bagus.

Ini bukan sekedar cerita isapan jempol atau pemanis belaka. Mereka, sebelum acara Solo Tea festival sudah beberapa hari berada di Indonesia dan berkunjung ke beberapa kebun teh Indonesia, salah satunya adalah Tambi, teh yang selalu saya gunakan. Bahkan mereka sempat berkunjung ke Kraton Yogjakarta, dengan mempersembahkan Chanoyu, dan dibalas dengan tradisi patehan Keraton Yogja.

Cerita ini saya dengar dari bapak Rachmad Gunadi, presiden direktur PT. Pagilaran, yang juga membawahi kebun teh tambi. Beliau memang concern terhadap kemajuan dunia pertehan Indonesia. Bahkan untuk selevel beliau, masih mau menyempatkan diri mengunjungi kedai teh saya yang sangat sederhana di Bogor beberapa waktu yang lalu.

Yang sangat menarik adalah, ketika di kebun teh Tambi, Banerjee sempat mendemontrasikan memproduksi teh secara manual, yaitu dengan menggiling dengan tangan. Bibit teh yang digunakan adalah jenis Sinensis, yang sering disebut teh Jawa atau teh merah. Ternyata ini adalah sisa bibit sinensis yang pertama kali ditanam oleh belanda, sebelum semuanya digantikan dengan varians Assamica.

Atas budi baik pak Gunadi, saya bisa mendapatkan sedikit bagian (tepatnya saya meminta), teh yang dibuat manual oleh Banerjee.

Kami juga sempat mencobanya di omah Sinten, dimana para tea master menginap. Memang luar biasa. Baru kali ini saya minum teh Indonesia dengan rasa seperti ini. Rasanya begitu komplek, wangi floral dan fruity yang begitu tegas. Kalau sekedar bikin white tea, dengan bahan baku yang memang bagus, yaitu pucuk-pucuk saja, tidaklah terlalu istimewa. Tetapi ini 3 pucuk pertama digiling pakai tangan menjadi gulungan kecil-kecil, dan menghasilkan cita rasa yang begitu istimewa.

Teh Indonesia buatan Banerjee
Pak Rachmad Gunadi, presdir PT. Pagilaran





CERITA ANGIN DAN MATAHARI
Seperti saya kemukakan sebelumnya, bahwa Banerjee tampak seperti sombong, tetapi ketika duduk santai dan mengobrol ternyata beliau sangatlah menyenangkan. Banyak cerita yang beliau sharing, salah satunya adalah cerita pertempuran angin dan matahari.

“There was an upon of time…”, wah kayak dongeng Disney saja. Untuk lebih mudahnya saya menulis, sebaiknya saya tuliskan semua dalam bahasa Indonesia. Alkisah, terjadi perdebatan sengit antara angin dan matahari. Mereka sedang berdebat, siapa diantara mereka yang kuat dan berkuasa.
“Saya akan buktikan”, ujar Matahari dengan lantang. “Lihat laki-laki dibawah sana, yang sedang mengenakan baju batik”, Banerjee tersenyum lebar sambil memandang saya yang kebetulan mengenakan baju batik.
“Saya akan membuat laki-laki itu melepaskan baju kebanggaannya”.
Dengan segera di pancarkan energi panas sekuat-kuatnya, sehingga si laki-laki tadi merasa kegerahan, dan melepaskan bajunya, karena sudah berpeluh keringat.
Angin tidak mau kalah, dia kerahkan kekuatannya untuk menghembuskan angin, sehingga tercipta hawa yang begitu dingin. Si Laki-laki, segera mengenakan bajunya kembali, malahan sekarang ditutup dengan jaket.
“Lihat!”, seru angin. “Bahkan bajunya sekarang dirangkap dengan jaket”

Matahari tak mau kalah, dia tambahkan panasnya. Demikianlah terus-menerus si laki-laku buka tutup baju akibat ulah angin dan matahari.

“Teh moral story  is, you should use your spirit, power and effort to achieve your goal”, Banerjee menutup ceritanya. “But be smart and  carefully”, lanjutnya.

Extraordinary. Beberapa idealisme dia memang bisa dijadikan inspirasi, misalnya hanya memproduksi teh kualitas bagus, sekalipun permintaan teh kualitas rendah juga banyak. Mulai beralih ke organic, karena selain lebih sehat, juga untuk keseimbangan ekosistem.

Sudah bukan rahasia lagi, kalau teh-teh yang dijual di pasaran Indonesia adalah teh kualitas rendah sedangkan teh yang kualitas tinggi di export. Dalam hal ini saya perlu mengapresiasi teh Tambi, karena selama ini hanya menjual teh kualitas bagus. Teh Tambi yang dijual di daerah Wonosobo, hanya grade BOP (Broken Orange Pekoe), PS (Pekoe Souchung), dan BPS (Broken Pekoe Souchung), dan Fanning  untk teh celup. Dia tidak menjual Broken Mix dengan merk tambi, misalnya. Sedangkan teh Kajoe Aro yang sebenarnya memiliki kualitas sedikit diatas Tambi, masih menjual special blend, yang isinya broken mix di pasaran lokal.

So let’s take the spirit of Banerjee.













No comments: