Ketika salah seorang teman kantor mendapat tugas untuk pergi ke Myanmar, iseng-iseng saya berpesan, “Jangan lupa beliin saya teh Myanmar ya”.
Tetapi mungkin karena teman saya kurang paham dengan masalah teh, atau memang dia tidak punya waktu yang luang untuk mencari-cari teh, dia bawakan saya satu bungkus teh yang tampaknya bukan teh kualitas baik. Tertulis di kemasannya Htate Htarr Lay, Natural Green tea. Di dalam kemasan, teh dibungkus dengan plastik bening biasa. Daun teh kering berwarna kehitaman, mirip dengan teh hijau wangi melati Indonesia, yang tentu saja minus aroma melatinya. Alih-alih aroma melati, aroma yang ada malahan aroma apek bau tanah. Karena aromanya tersebut, pada waktu itu saya kurang tertarik untuk mengekplore lebih jauh tentang teh Myanmar.
Selang beberapa waktu, ketika saya menata kembali beberapa teh koleksi saya, teringat bahwa ada teh Myanmar ini belum pernah di coba,dan belum saya ekplore. Informasi yang saya temukan mengenai Htate Htarr lay di internet, hanya beberapa daftar produk mereka. Selain teh hijau, mereka juga memproduksi white tea dan Oolong tea. Akan tetapi, sama seperti halnya teh-teh bermerk lainnya, informasi mengenai grade tidak pernah dijelaskan di dalam kemasannya.
Dari beberapa informasi yang saya dapatkan, ternyata teh Myanmar cukup menarik untuk dieksplore lebih jauh.
Di Myanmar, ada beberapa varians pohon teh yang dibudidayakan. Selain varians Camellia Sinensis (sama halnya dengan pohon teh di China dan Jepang), juga ada varians Camellia Assamica (sama halnya dengan pohon teh di India dan Indonesia). Menurut catatan sejarah, pohon teh asli ditemukan di daerah Ayyeyarwaddy, yang kemudian berkembang ke berbagai daerah di Myanmar. Beberapa pakar teh, menyebutkan Myanmar juga memiliki satu klon pohon teh asli dari Myanmar yang disebut sebagai Camellia Arrawadimis.
Di Myanmar, teh bukan hanya dikenal sebagai minuman, tetapi juga merupakan bagian dari makanan traditional yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Daun teh dibuat semacam pasta yang kemudian akan menjadi semacam asinan, yang disebut sebagai Laphet. Makanan ini sering juga disebut sebagai Pickled tea atau Salad tea. Laphet bukan sekedar makanan biasa, tetapi sudah merupakan bagian dari kultur sosial budaya. Laphet disajikan sebagai bagian acara ceremoni keagamaan, welcoming guest, bahkan juga dijadikan camilan di depan televisi.
Kembali lagi ke natural green tea merk Htate Htarr lay. Bau apeknya mengingatkan saya kepada bau puerh. Warna daun teh kering, berwarna kehitaman, tetapi tidak segosong teh hijau wangi melati kita. Warna kehitaman kemungkinan karena proses oksidasi, dikarenakan teh hanya dikemas di dalam kemasan plastik sederhana. Daun teh kering masih berbentuk daun utuh. Warna seduhan cenderung berwarna coklat. Rasanya pahit dan aroma tanahnya mirip-mirip dengan raw puerh usia muda. Ada jejak rasa yang tajam yang tertinggal di lidah seusai minum teh ini. Bukanlah teh yang cukup enak dinikmati. Entah karena memang kualitas teh yang kurang baik, atau memang seperti itu rasa teh Myanmar, saya masih belum begitu mengerti. Mesti memiliki perbandingan teh lain. Akan tetapi dari kaidah umum kualitas teh, kualitas yang baik semestinya tidak berasa pahit dan beraroma yang enak. Puerh kualitas baikpun juga tidak lagi beraroma tanah apek.
Mungkin ada teman-teman yang pernah mencoba Myanmar tea dan bisa share pengalamannya? Terus terang saya sangat penasaran dengan yang namanya Laphet. Saking penasarannya saya coba cari informasi tentang Laphet di kedutaan Myanmar. Barangkali saja, saya bisa mendapatkan informasi dimana saya bisa dapatkan Laphet di Indonesia.
"Aduh saya tidak tahu. Disini kebetulan tidak ada divisi budaya. Kami hanya mengurusi soal politik saja". Begitu jawaban yang saya terima dari staff kedutaan Myanmar. Haiya...