Saturday, 29 December 2007

Teh Goalpara Hijau


Beberapa waktu yang lalu Vanda, salah satu member milist Pecinta Teh bertanya kepada saya. “Bagaimana pendapat bapak mengenai teh Goalpara hijau? Saya terbiasa minum teh ini".

Sekilas, teh hijau seduh yang dijual dalam kemasan, apakah itu merk Kepala Jenggot, Dua tang maupun Goalpara bukan teh kualitas baik. Campuran daun tua dan batang tetaplah mendominasi. Batang teh tampak terlihat pada potongan berwarna putih di daun teh keringnya. Seduhan teh juga berwarna coklat tua, dan cenderung agak keruh.

Belum lama ini, sewaktu tea tasting di rumah Mbak Haley beberapa waktu yang lalu, kebetulan saya membawa teh hijau Goalpara untuk di tasting. Rasanya, mohon maaf dapat dikatakan horible kalau diminum tanpa gula. Selain rasa sepet, ada rasa pahit dan sedikit getir di lidah. Rasa getir ini juga dirasakan oleh peserta tea tasting lain pada waktu itu. Dugaan saya rasa getir ini dihasilkan oleh batang teh yang tercampur.


Kira-kira hanya itu yang dapat saya katakan mengenai teh hijau Goalpara. Kalau menurut saya, lebih enak teh wangi melati cap botol. Dengan komposisi daun teh tidak terlalu banyak dan waktu seduh sekitar tiga menit, menghasilkan teh wangi melati bening. Sekalipun masih ada sedikit rasa sepet, tetapi masih bisa saya nikmati tanpa gula. Yang jelas, sama-sama teh hijau, udah gitu kandungan katekinnya juga lumayan tinggi (sekitar 9%).

Saturday, 8 December 2007

Katekin dan kualitas teh Indonesia

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat forward email dari pak Gatot Purwoko, sobat saya di milist jalansutra yang telah mengencourage saya untuk terus belajar soal teh. Isi email yang diforward kepada saya adalah tentang tulisan yang menyatakan bahwa teh Indonesia lebih menyehatkan dengan alasan kandungan katekin teh Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan teh China, Jepang dan Srilangka. "Saya tunggu koment dari mas Bambang mengenai tulisan ini", begitu kalimat pak Gatot di akhir emailnya.

Tentu saja saya mesti mengumpulkan data-data terlebih dahulu untuk dapat berkomentar. Tulisan lebih lengkap mengenai isi tulisan di atas saya temukan dalam tulisan Kusmiyati Bambang yang berjudul Prospek Teh Indonesia sebagai minuman Fungsional.
Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa teh Indonesia kandungan katekinnya bahkan lebih tinggi dibanding teh Sencha atau teh Oolong China. Berikut saya kutipkan tabel perbandingannya:

Tabel 1. Katekin pada beberapa jenis teh Indonesia (Bambang et al. , 1995)

Negara

Jenis teh

Substansi katekin (% b.k.)

Indonesia

teh hitam Orthodox

8,24

teh hitam CTC

7,02

teh hijau ekspor

11,60

teh hijau lokal

10,81

teh wangi

9,28

Jepang

sencha

5,06

Cina

teh oolong

6,73

teh wangi

7,47

Sri Lanka

teh hitam BOP

7,39

Dari tabel di atas terlihat bahwa kandungan katekin teh Indonesia, khususnya teh hijau dua kali lipat dari Sencha atau teh teh Oolong China.

Katekin adalah salah satu turunan dari Poliphenol yang memiliki khasiat antioxidant yang tinggi. Dipandang dari sisi kesehatan, makin tinggi katekin berarti makin bermanfaat buat kesehatan. Akan tetapi ironisnya, ditinjau dari sisi rasa, memiliki perbandingan yang terbalik.

Katekin, juga berperan penting di dalam menentukan aroma dan rasa. Rasa pahit dan sepet dalam teh sangat dipengaruhi oleh zat ini. Berarti makin tinggi katekin, makin tinggi pula rasa pahit dan sepetnya.

Faktor kadar katekin selain dari waktu panen teh, intensitas sinar matahari, juga kemudaan daun teh. Pucuk pertama daun teh, kandungan katekinnya lebih tinggi dibanding daun teh yang lainnya. Begitu juga waktu panen. Teh Jepang yang dipanen pertama kandungan katekinnya paling rendah dibanding dengan panen-panen pada bulan berikutnya. Gyokuro yang hanya terkena sinar matahari pagi, kandungan katekinnya juga lebih rendah. Dan faktanya teh-teh dengan katekin rendah justru yang rasanya lebih baik. Perkecualian adalah teh putih. Ini ini memiliki kandungan katekin yang paling tinggi. Karena selain mengalami proses yang teramat singkat, daun dipakai adalah pucuk daun yang benar-benar sangat muda. Untuk grade terbuat malahan dibuat dari kuncup daun teh yang belum mekar. Akan tetapi rasa dan aroma teh ini sangat lembut. Hampir tidak ada rasa pahitnya sama sekali.

Factor ini yang juga sering dikeluhkan oleh para buyer teh dari luar negeri. Dan kenyataannya dari sisi rasa, teh hijau Indonesia masih kalah kalau dibandingkan dengan teh hijau Cina dan Jepang. Hal ini juga diakui oleh Kusmiyati Bambang yang dalam tulisannya disebutkan bahwa sebagai minuman fungsional, teh Indonesia yang kaya katekin masih akan menghadapi kendala rasa yang kurang disukai. Teh ini memiliki rasa pahit dan sepet yang menonjol yang membedakannya dengan teh hijau Cina dan Jepang.

Sebagai bahan pembanding lain, coba perhatikan kadar katekin di dalam teh dalam kemasan berikut ini (tabel masih satu sumber dengan tulisan Kusmiyati Bambang):

Tabel 6. Kadar katekin teh dalam kemasan

No

Merek

Jenis

Bentuk kemasan

Katekin (%)

1

2 Tang

teh hit@m1breakfast tea

double tea bag

8,82

9,40

2

2 Tang

teh hitamlafternoon tea

double tea bag

8,78

7,74

3

2 Tang

teh hitam

single tea bag

6,95

7,25

4

SariWangi

teh hitam

double tea bag

5,49

5,19

5

Goalpara

teh hitam

bungkus

5,70

6,12

6

Goalpara-excelentTea

teh hitam

double chamber tea bags

7,85

7,87

7

Gunung Mas

teh hitam CTC

tea bag

8,12

8,06

8

2 Tang

teh hijau

tea bag

10,89

10,85

9

Kepala Jenggot

teh hijau

bungkus

12,31

12,30

10

Nirwana

teh hijau

bungkus

10,97

10,87

11

TEHINDO

teh hijau

bungkus

11,47

Dari daftar di dalam tabel diatas, tampak jelas bahwa kadar katekin teh hijau masih di atas kadar katekin teh hitam. Untuk teh hijau teh hijau cap kepala jenggot memiliki kadar katekin yang paling tinggi. Apakah kadar katekin ini juga memiliki korelasi dengan kualitas daun teh yang dipakai?

Dari sisi rasa, teh hijau dalam kemasan ini banyak yang mengatakan memiliki rasa yang cukup horible. Rasa sepet yang dominan, warna seduhan coklat tua. Dari pengamatan sekilas terhadap teh 2 tang hijau, saya dapatkan daun teh yang dipakai kebanyakan daun tua. Dari pengamatan sekilas tersebut, saya sementara menyimpulkan bahwa tingginya kadar katekin tidak memberikan kontribusi positif terhadap kualitas rasa dari teh.

Dengan kondisi seperti tersebut, dapatkah keunggulan katekin dijadikan suatu positioning dalam marketing untuk meningkatkan brand image teh Indonesia? Positioning yang juga tampaknya dilakukan oleh Mind Tea yang dijual secara MLM dengan jargon sebagai minuman kesehatan berkatekin tinggi.

Kalau dilihat dari trend pasar teh hijau yang menunjukkan grafik menaik, baik dari sisi jumlah penjualan maupun merk yang beredar, tampaknya potensi ini dapat dikembangkan lebih serius. Dan tampaknya brand image teh hijau lebih sehat juga sudah terlanjur melekat konsumen teh Indonesia. Melihat fakta ini saya cukup pesimistis jika mind tea yang dibanderol dengan harga cukup tinggi akan mampu merubah brand image ini. Apalagi kenyataan yang ada kandungan katekin teh hijau jauh lebih besar dibandingkan dengan teh hitam.

Akan tetapi perlu juga disadari faktor rasa teh dapat juga menjadi faktor penghambat Apalagi kalau kita memang mau mensosialisasikan minuman teh sebagai pengganti minum air putih biasa.

Factor rasa sepet ini pula yang menyebabkan teh hijau Indonesia, mesti ditambahkan gula atau pemanis lain untuk menetralisirnya. Dan sudah menjadi pengetahuan umum, untuk menjaga kesehatan gula termasuk hal yang perlu dikurangi dan dihindari. Apalagi kalau teh dengan pemanis gula dijadikan minuman kesehatan yang konsumsinya ditingkatkan sebagai pengganti air putih, tentu akan bertambah masalah karena kelebihan minum gula, yang kemudian akan menjadi pemicu masalah kesehatan lainnya seperti meningkatnya risiko diabetes dan masalah obesitas. Suatu hal yang seharusnya malahan dapat dieliminasi oleh khasiat teh itu sendiri.

Kalau menurut pendapat saya, paling utama adalah justru meningkatkan kualitas rasa dari teh itu sendiri dengan mengurangi faktor biterness dan astringency dalam teh Indonesia. Menurut tulisan Kusmiyati Bambang, rasa pahit dan sepet pada teh hijau Indonesia dapat dikurangi dengan proses pemanasan seperti terjadi pada produk pengolahan teh wangi (Bambang, 1985).

Cara lain bisa juga dengan mengklasifikasikan kualitas teh berdasarkan waktu panen. Akan tetapi itu sama juga artinya dengan mengurangi kandungan katekin dalam teh Indonesia. Apakah dengan begitu berarti kadar kesehatan dari tehnya jadi berkurang?

Tinggi dan rendahnya kadar katekin teh yang kita minum menurut saya dapat disiasati dengan peningkatan jumlah cangkir teh yang kita minum. Kalau anda minum 2 cangkir teh berkatekin 12% misalnya, apakah tidak sama dengan minum 4 cangkir teh dengan kandungan katekin 6% misalnya. Wah, tambah boros dong?

Boros atau tidak memang relatif. Yang perlu diingat adalah satu sendok teh, bisa seduh 2 atau tiga kali, bahkan bahkan berkali-kali (tentu saja rasa dan aroma teh sudah berkurang). Syaratnya adalah jangan merendam daun teh terlalu lama dan menyaringnya. Untuk teh hijau seduhan pertama hanya diperlukan waktu tiga menit, dan ditambahkan satu menit tiap seduhan berikutnya. Yang perlu disosialisasikan adalah bagaimana cara menyeduh teh yang baik dan benar.

Jadi mau teh enak atau teh sehat? Tentu pilih teh enak dan sehat to. Emangnya minum teh seperti minum jamu.

Saturday, 24 November 2007

Myanmar tea



Ketika salah seorang teman kantor mendapat tugas untuk pergi ke Myanmar, iseng-iseng saya berpesan, “Jangan lupa beliin saya teh Myanmar ya”.

Tetapi mungkin karena teman saya kurang paham dengan masalah teh, atau memang dia tidak punya waktu yang luang untuk mencari-cari teh, dia bawakan saya satu bungkus teh yang tampaknya bukan teh kualitas baik. Tertulis di kemasannya Htate Htarr Lay, Natural Green tea. Di dalam kemasan, teh dibungkus dengan plastik bening biasa. Daun teh kering berwarna kehitaman, mirip dengan teh hijau wangi melati Indonesia, yang tentu saja minus aroma melatinya. Alih-alih aroma melati, aroma yang ada malahan aroma apek bau tanah. Karena aromanya tersebut, pada waktu itu saya kurang tertarik untuk mengekplore lebih jauh tentang teh Myanmar.

Selang beberapa waktu, ketika saya menata kembali beberapa teh koleksi saya, teringat bahwa ada teh Myanmar ini belum pernah di coba,dan belum saya ekplore. Informasi yang saya temukan mengenai Htate Htarr lay di internet, hanya beberapa daftar produk mereka. Selain teh hijau, mereka juga memproduksi white tea dan Oolong tea. Akan tetapi, sama seperti halnya teh-teh bermerk lainnya, informasi mengenai grade tidak pernah dijelaskan di dalam kemasannya.

Dari beberapa informasi yang saya dapatkan, ternyata teh Myanmar cukup menarik untuk dieksplore lebih jauh.

Di Myanmar, ada beberapa varians pohon teh yang dibudidayakan. Selain varians Camellia Sinensis (sama halnya dengan pohon teh di China dan Jepang), juga ada varians Camellia Assamica (sama halnya dengan pohon teh di India dan Indonesia). Menurut catatan sejarah, pohon teh asli ditemukan di daerah Ayyeyarwaddy, yang kemudian berkembang ke berbagai daerah di Myanmar. Beberapa pakar teh, menyebutkan Myanmar juga memiliki satu klon pohon teh asli dari Myanmar yang disebut sebagai Camellia Arrawadimis.

Di Myanmar, teh bukan hanya dikenal sebagai minuman, tetapi juga merupakan bagian dari makanan traditional yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Daun teh dibuat semacam pasta yang kemudian akan menjadi semacam asinan, yang disebut sebagai Laphet. Makanan ini sering juga disebut sebagai Pickled tea atau Salad tea. Laphet bukan sekedar makanan biasa, tetapi sudah merupakan bagian dari kultur sosial budaya. Laphet disajikan sebagai bagian acara ceremoni keagamaan, welcoming guest, bahkan juga dijadikan camilan di depan televisi.
(Photo Laphet di ambil dari http://www.sfgam.com/blog/laphet-thote-%e2%80%93-fermented-tea-leaf-salad/)

Saat ini saya belum bisa menulis banyak tentang Laphet, karena sama sekali belum pernah mencoba sendiri. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa mendapatkan kesempatan untuk mencicipi Laphet.


Kembali lagi ke natural green tea merk Htate Htarr lay. Bau apeknya mengingatkan saya kepada bau puerh. Warna daun teh kering, berwarna kehitaman, tetapi tidak segosong teh hijau wangi melati kita. Warna kehitaman kemungkinan karena proses oksidasi, dikarenakan teh hanya dikemas di dalam kemasan plastik sederhana. Daun teh kering masih berbentuk daun utuh. Warna seduhan cenderung berwarna coklat. Rasanya pahit dan aroma tanahnya mirip-mirip dengan raw puerh usia muda. Ada jejak rasa yang tajam yang tertinggal di lidah seusai minum teh ini. Bukanlah teh yang cukup enak dinikmati. Entah karena memang kualitas teh yang kurang baik, atau memang seperti itu rasa teh Myanmar, saya masih belum begitu mengerti. Mesti memiliki perbandingan teh lain. Akan tetapi dari kaidah umum kualitas teh, kualitas yang baik semestinya tidak berasa pahit dan beraroma yang enak. Puerh kualitas baikpun juga tidak lagi beraroma tanah apek.

Mungkin ada teman-teman yang pernah mencoba Myanmar tea dan bisa share pengalamannya? Terus terang saya sangat penasaran dengan yang namanya Laphet. Saking penasarannya saya coba cari informasi tentang Laphet di kedutaan Myanmar. Barangkali saja, saya bisa mendapatkan informasi dimana saya bisa dapatkan Laphet di Indonesia.
"Aduh saya tidak tahu. Disini kebetulan tidak ada divisi budaya. Kami hanya mengurusi soal politik saja". Begitu jawaban yang saya terima dari staff kedutaan Myanmar. Haiya...

Monday, 19 November 2007

Freeze tea


Belum lama ini saya mendapat sample freeze tea yang unik dari Ibu Lim Kim Soan, salah seorang teman di milist jalan sutra yang berdomisili di Jepang. Menurut keterangan ibu Lim Kim Soan Teh ini dikeluarkan oleh Nitto, yang dibuat khusus untuk dysneland shop. Freeze sendiri merupakan tehnologi baru dalam hal tea packing. Teh semacam di press menjadi bentuk tertentu. Freeze tea ini dibuat dari Darjeeling tea dan diblend dengan sari fruit peach dan apricot.

2 keping freeze tea diseduh dengan air panas kurang lebih 250mm. Tadinya saya pikir teh ini mirip dengan instant tea, begitu diseduh akan larut ke dalam air tanpa meninggalkan ampas. Ternyata masih tersisa ampas teh berbentuk bubuk. Aroma peach terasa mendominasi, tetapi tidak sama dengan aroma peach dalam Darjeeling kualitas tinggi. Kalau dilihat dari bentuk tehnya yang bubuk, saya duga Darjeeling yang digunakan adalah Fanning. Tetapi saya belum bisa menduga lebih jauh, apakah grade yang dipakai Tippy Golden Orange Fannings, Golden Orange Fannings atau hanya sekedar Orange Fannings saja.


Teh ini kayaknya cukup cocok juga buat anak-anak. Selain bentuknya lucu rasanya juga rasa buah. Ditambahkan gula dan es batu, teh ini akan terasa lebih segar.

Sunday, 11 November 2007

Malino Hijau: Sencha dari Gowa

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti conference international Logistic di Jakarta Convention Centre. Acara tersebut dibuka langsung oleh bapak wakil presiden Jusuf Kalla, yang juga sekaligus membuka acara pameran Sulawesi Ekspo. Nah, disela-sela rehat, saya menyempatkan diri melihat-lihat stand Sulawesi Ekspo. Pada salah satu stand, mata saya tertumbuk pada sesuatu terpajang yang pernah saya kenal.Ya, itu dia teh Malino hitam kiriman dari Ervita, salah seorang teman dari milist jalan sutra, sebuah milist jalan-jalan dan makan-makan. Tetapi bukan sekedar satu bungkus teh itu saja yang membuat saya enggan beranjak dari stand tersebut, ada satu bungkus lagi yang belum saya kenal: Malino Hijau. Ini dia yang saya cari-cari, begitu kata saya dalam hati.

“Mbak, teh tersebut dijual tidak?”, tanya saya dengan sangat berharap kepada salah satu penjaga stand.

“Wah sayang sekali itu hanya sample pak. Tetapi coba nanti hari terakhir, barangkali kami berubah pikiran, dari pada harus dibawa pulang.” Jawabannya cukup diplomatis, tetapi juga memberi harapan. Pada hari terakhir, ternyata saya tetap kembali ke stand tersebut dengan tangan hampa.

Rupanya keberuntungan tidaklah terlalu jauh dari saya. Saya teringat, tidak berapa lama saya posting review tentang teh hitam Malino, saya mendapatkan email pribadi dari Dewi Puspita. Dia adalah salah seorang sekretaris di perusahaan Mitora, perusahaan baru yang kini mengelola perkebunan teh Malino setelah diambil alih dari PT. Nittoh. Sewaktu perusahaan dia membeli Nittoh, dia coba search tentang teh Malino, dan kebetulan ketemulah blog saya. Di emailnya, dia menjanjikan saya untuk mengirim beberapa sample beberapa grade teh hitam Malino.

Dan suatu kebetulan yang menyenangkan ternyata kantor Mitora lokasinya diseberang kantor saya. Jadi ketika mendapat kabar bahwa sample sudah tersedia, dengan tak sabar saya langsung menjemputnya.

Yang pertama saya coba karena saking penasarannya sudah tentu adalah Malino hijau. Selama ini memang saya masih penasaran karena belum menemukan teh hijau Indonesia dengan kualitas yang cukup memadai. Karena tehnya masih berupa sample tentu kemasan sangat sederhana. Bahkan saya tidak menemukan oxygen absorbser di dalamnya.

Warna daun teh kering berwarna hijau tua. Dari warnanya saya menduga bahwa proses penghentian fermentasi dilakukan dengan sistem steaming. Apalagi teh ini memang khusus diekpor ke Jepang, dimana negeri tersebutlah yang menemukan proses pembuatan teh hijau dengan proses steaming. Ketika saya cium aromanya, saya menemukan aroma yang sangat saya kenal. Ya aroma rumput laut yang lazim terdapat pada sencha teh hijau dari Jepang.

Aroma ini semakin terasa ketika air panas dituang. Dengan waktu seduh pertama 3 menit menghasilkan warna kuning keemasan. Rasanyapun mirip dengan sencha, selain dari aroma rumput air teh terasa sedikit licin di tenggorokan. Hingga seduhan ketika rasa dan aroma masih terasa enak, walaupun memang ada sedikit penurunan kualitas pada seduhan kedua dan ketiga.

Overall, teh hijau Malino hingga saat ini merupakan teh hijau Indonesia terbaik yang pernah saya coba. Rasa dan aroma sangat mirip dengan Sencha. Tidak heran, karena teh ini khusus untuk di ekspor ke Jepang. Jadi jangan tanya teh ini dapat dibeli dimana, karena teh ini memang tidak pernah di jual di Indonesia. Kasihan deh kita ...

Monday, 5 November 2007

Jawa Oolong, teh Oolong Indonesia


Tampaknya nama Jawa dianggap cukup komersial dan mampu menjual. Buktinya, dengan terkenalnya Java Coffe, tercipta Java Computer Language. Lalu Indra Lesmana dan kawan-kawan mendirikan Java Jazz Band yang juga cukup terkenal di dunia international. Terakhir event Jazz International di tanah air menggunakan nama Java Jazz Festival.

Apakah karena alasan ini teh 63 menamakan teh produksi mereka dengan nama Jawa Oolong?

Perkenalan saya dengan Jawa Oolong, secara tidak sengaja saya temukan lewat arsip milist Tea Society Indonesia. Temuan ini seolah menjawab pertanyaan saya selama ini, yang dipenuhi rasa penasaran apakah ada varian teh China yang dibudidayakan di Indonesia.

Teh ini saat ini merupakan satu-satunya teh Oolong yang diproduksi dari perkebunan teh kita dibawah bendera teh 63, yang gerainya banyak terdapat di mall-mall besar.

Dalam artikel majalah Swa, pernah dituliskan bahwa Lei Mei Chu, salah seorang warga keturunan, yang menikah dengan pria Taiwan, membawa bibit teh dari Taiwan dan menanamnya di daerah Bogor. Di bawah bendera teh 63, dia bekerja sama dengan PTP setempat untuk mengembangkan teh Oolong, yang dilakukannya sekitar tahun 1985, dan baru 10 tahun kemudian dapat dipetik hasilnya.

Teh Oolong adalah salah satu jenis teh yang difermentasi sebentar saja. Kelebihan dari teh Oolong dibanding dengan teh hijau atau teh hitam adalah kandungan Polyphenol yang jauh lebih tinggi dibanding dengan jenis teh lainnya. Polyphenol adalah kandungan penting yang sangat mempengaruhi aroma Oolong yang unik dan juga manfaat yang tinggi untuk kesehatan maupun kecantikan, khususnya masalah obesitas.

Perlu diingat bahwa obesitas bukan berarti overweight. Obesitas dapat dipahami sebagai ekses akibat akumulasi penumpukan lemak didalam tubuh. Normalnya toleransi lemak dalam tubuh adalah 15-20% untuk pria, dan 20-25% untuk wanita dibanding dengan berat tubuh. Kelebihan lemak diatas range tersebut sudah dapat dikatakan sebagai obesitas. Polyphenol dipercaya merupakan kandungan yang efektif dalam mengontrol obesitas. Polyphenol juga dipercaya dapat mengurangi kerusakan gigi secara significan.

Jawa Oolong bisa didapatkan dalam bentuk Loose tea atau Tea Bag. Menurut situsnya di tehenamtiga.com ada beberapa jenis aroma yang ditawarkan. Ada Aroma mawar, melati, menthol, lemon dan jeruk. Di Gerainya di Ekalokasari Mall, Bogor, hanya ditawarkan teh Asli, aroma melati dan Ginseng.

Saya mencoba beli loose tea aroma melati dengan harga 45 ribu per 100 gram. Warna tehnya berwarna hijau tua. Di sela-sela teh tampak sedikit serpihan bunga melati kering. Aroma melati terasa samar dan tidak terlalu mencolok.

Warna seduhan berwarna kuning keemasan. Kalau dituang kedalam gelas kaca akan tampak berkilaun bagaikan emas murni cair. Rasa manis yang samar tapi tegas, dengan aroma flowery (mungkin karena pengaruh melati kering). Aroma wangi terasa memenuhi rongga hidung selang beberapa saat setelah kita minum. Ampas seduhan berupa tiga pucuk teh utuh berwarna hijau tua. Menurut Eva Nainggolan, ampasnya bisa dimakan sebagai pencegah bau mulut. Saya coba kunyah ampasnya, terasa sedikit pahit tetapi tidaklah sepahit lalapan seperti daun pepaya misalnya.

Saya mau sedikit sharing mengenai khasiat dari teh ini. Saya adalah penderita hypertensi berat, karena posisi diastolik yang selalu tinggi. Sekalipun saya rajin mengkonsumsi obat darah tinggi secara teratur, jarang sekali diastolik berada di posisi dibawah 100. Sekalipun teman-teman seperti kang Irvan dari jalan sutra, atau saudara saya yang penderita darah rendah merasakan kepala kliyengan ketika minum teh hijau, tetapi bagi saya sama sekali tidak berpengaruh.
Tetapi semenjak saya mengkonsumsi teh jawa oolong secara teratur, ketika mengukur tensi saya sempat tidak percaya melihat posisi sistolik/diastolik sebesar 110/80.
Memang hingga saat ini, kalau tanpa obat tekanan darah masih belum stabil. Saya sendiri belum berani mengambil kesimpulan tegas, apakah penurunan tekanan darah ini hasil konsumsi rutin teh Jawa Oolong atau pengaruh lain. Masih diperlukan observasi lebih lanjut.

Tetapi untuk soal aroma dan rasa, teh Jawa Oolong layak untuk dijadikan minuman teh sehari-hari.

Monday, 29 October 2007

Teh Garut, teh beraroma kopi ringan


Sewaktu berlebaran di kampung istri saya di Garut, saya berkenalan dengan teh Garut yang agak unik. Pertama kali saya minum teh ini, sempat ragu, yang saya minum ini teh atau kopi, karena aromanya sangat mirip dengan kopi. Atau jangan-jangan tekonya yang tercampur bekas tempat menyeduh kopi? Ketika saya tanya Uwak saya, merk teh yang digunakan, dia tunjukkan sebungkus plastik teh dengan tulisan Kopi & Teh cap Ros.
Lha, berarti teh ini dicampur dengan kopi, begitu pertanyaan saya kepada Uwak. Tetapi hal ini tidak dibenarkan oleh uwak saya. Menurut dia, kebetulan si penjual juga jualan kopi. Atau jangan-jangan karena disimpan bersama-sama dengan kopi membuat aroma kopi menyerap ke dalam teh. Asal muasal aroma kopi masih menjadi teka-teki bagi saya.

Pertanyaan saya terjawab ketika saya pergi ke pasar Tradisional. Di sana saya temukan satu hal yang menarik yang mungkin tidak bisa didapatkan di tempat lain. Di dalam pasar, tersedia beberapa Kios teh yang khusus menjual teh kiloan dengan aneka kualitas. Semacam Tea House, tetapi teh yang dijual masih dalam batas teh kelas rakyat. Kios tersebut menjual dua macam teh, yaitu teh merah dan teh hijau. Khusus teh merah hanya tersedia dalam bentuk bubuk, sedangkan teh hijau ada banyak grade yang bisa dipilih. Kualitas paling rendah adalah bubuk teh dengan harga 500 rupiah per ons. Kualitas lain ada yang terdiri dari batang teh semua, ada yang campuran. Kualitas tertinggi dihargai seharga 3,500 rupiah per ons.

Saya coba beli kualitas terbaik, walau secara kasat mata masih tampak beberapa batang teh yang turut tercampur. Dan ketika teh tersebut hendak dibungkus saya ditawari oleh penjual apakah mau dicampur dengan bunga atau tidak. Ketika saya tanya bunga apa, menurut si penjual yang dipakai adalah bunga teh. Karena masih ragu saya minta bunganya di pisah saja.

Sesampainya dirumah, sebelum saya coba seduh saya perhatikan dan cium aroma tehnya. Aroma Gosong. Warnanya juga terlihat hijau kehitaman. Mungkin bagi yang belum tahu, dikira ini adalah teh hitam. Dibandingkan dengan teh merk terkenal seperti Sosro, teh ini jauh lebih hitam dan lebih gosong. Rupanya dari sinilah aroma kopi tersebut muncul. Dan saya masih penasaran dengan bunga teh yang disebutkan si penjual teh tersebut. Bunganya sudah berbentuk bubuk. Ketika saya cium aromanya, rasa-rasanya cukup familiar dengan aroma tersebut. Ya, tidak salah lagi, aroma Camomile. Ternyata bunga yang dibilang bunga teh tersebut adalah Camomile. Cukup unik memang. Kalau selama ini kebanyakan teh selalu dicampur dengan melati, di Garut digunakan Camomile.

Jadi kalau anda bermasalah dengan tukak lambung dan berpantang kopi, tetapi sewaktu-waktu kangen dengan aroma kopi, cobalah teh rakyat dari Garut. Teh dengan aroma kopi. Dan seperti yang saya tulis dalam review saya tentang Camomile tea , yang berkhasiat sebagai obat tidur, campuran camomile pada teh ini tidak akan membuat mata anda begadang seperti halnya sehabis minum kopi.

Sunday, 28 October 2007

Cerita pagi bersama Tongji


Dalam salah satu review teh saya , ada salah satu komentar dari Tresyabedkowska , seorang teman dari jalansutra dan MP yang bermukim di Polandia. “Saya paling suka teh tong tji, bisa kasih ulasan nggak pak? matur nuwun sanget loh!”

Dugaan saya yang dia tanyakan adalah teh Wangi Melati Tongji. Varian teh jenis ini dengan merk Tongji memang telah mengisi hati para penggemar teh.

Untuk jenis teh Wangi melati, ada beberapa merk yang pernah saya coba. Merk Gopek, Cap Botol, Tongji dan Sepeda balap. Sekilas, secara kualitas material daun teh, kesemua merk tersebut hampir sama. Daun teh berikut batang, dengan serpihan beberapa kuntum bunga melati. Kalau untuk aroma, menurut indera penciuman saya teh cap botol masih menjadi pilihan nomor satu. Nanti dalam kesempatan lain saya akan coba tea tasting kesemua merk tersebut untuk membandingkan siapa yang paling unggul.

Untuk varian teh seduh hitam ternyata tidak banyak pilihan. Yang saya temukan di jajaran rak supermarket adalah merk Goalpara, Cap Bendera, Teh Poci dan Tongji.
Karena selama ini teh Wangi melati Tongji cukup terkenal, menemukan teh hitam Tongji cukup menarik bagi saya. Kemasan 50 gram terlihat tampak cantik dengan gambar teko dan dua cangkir teh keramik.

“Hanya diambil dari daun paling muda dan diproses oleh ahli teh untuk menjamin rasa khas dan aroma yang unik” Begitu yang tertulis dikemasannya. Hmm.. cukup menarik untuk dicoba. Harganya cukup murah, sekitar 1500. Lalu saya banding-bandingkan dengan teh hitam Walini Orthodox yang harganya 3000 rupiah per 100 gram. Ekspektasi saya terhadap teh ini tentu tidak jauh dari Walini.

Ketika saya buka kemasannya, ekpekstasi saya bertambah tinggi, karena tehnya dibungkus dengan aluminium foil. Ya, aluminium foil adalah kemasan yang cukup baik untuk menyimpan teh. Tetapi ketika saya buka bungkus aluminium foil, ekpektasi saya langsung turun seketika.

Teh ini diproduksi dengan mesin sistim ortodhox. Warna teh didominasi serpihan warna coklat muda, bercampur dengan sedikit serpihan warna hitam. Ini yang membuat saya kecewa. Warna coklat menandakan teh ini dihasilkan dari daun tua, atau jangan-jangan malahan dicampur batang teh. Untuk daun teh yang muda, warna tehnya adalah hitam (itu sebabnya disebut sebagai teh hitam). Satu poin minus untuk teh ini.

Saya coba cium aromanya. Hmmm… kalau tidak ada yang salah dengan indera penciuman saya, teh ini dicampur dengan sedikit artifisial flavour. Ada sedikit aroma mawar, tetapi tidak sekuat aroma mawar pada teh merk Bendera dan Prenjak.
Saya masukkan teh dalam tea infuser lalu saya masukkan dalam cangkir air panas. Warna air dalam cangkir seketika berubah menjadi warna merah. Dua poin minus saya berikan kepada teh ini. Teh hitam kualitas baik, perubahan warna air menjadi warna merah terjadi secara perlahan. Biasanya dalam waktu 4-5 menit warna merah baru merata dalam keseluruhan air.

Empat menit sudah berlalu, dan ketika saya angkat tea infuser dari dalam cangkir, tampak tertinggal beberapa bubuk teh di dasar cangkir. Poin minus bertambah satu. Dugaan saya, grade yang digunakan oleh teh ini adalah broken mix, dicampur dengan dust dan fanning, dan kemungkinan malahan dicampur dengan pluff. Bubuk teh yang ada didasar cangkir dihasilkan dari grade dust, sedangkan serpihan warna coklat kemungkinan besar dihasilkan dari grade pluff. Rasanya? Ah, dengan beberapa poin minus diatas anda sudah bisa membayangkan sendiri bagaimana rasanya. Akhirnya teh ini hanya akan menjadi penghuni Museum tehku , alias sekedar menjadi koleksi.

Tuesday, 23 October 2007

Teh Malino, Teh Hitam dari Gowa, Sulawesi


“Sudah pernah coba teh Malino? Gimana ya rasanya?”, tulis Ervita , salah seorang teman dari jalan sutra dalam emailnya. “Nanti aku coba beli, karena kebetulan mertua saya dari sana. Kalau sudah dapat, nanti saya kabari bapak untuk dibagi”.
Wah, siapa yang mampu menolak tawaran menggiurkan begini. Dan minggu lalu, saya janjian makan siang dengan Ervita untuk mengambil oleh-oleh teh Malino tersebut.
Saya memang tidak berharap terlalu banyak untuk mendapatkan teh kualitas tinggi, karena hampir semua perkebunan teh di Indonesia hanya menjual teh kualitas tinggi mereka ke luar negeri. Untuk lokal, cukup kualitas dibawahnya saja.

Kemasan teh Malino sangat sederhana. Hanya terbuat dari kantong kertas coklat, dan ditempel dengan merk Malino berwarna hitam. Di dalam kantong, terdapat kemasan aluminum foil pembungkus teh tersebut. Di depan Ervita, kemasan tersebut langsung saya buka. Aroma yang tercium hanya slighty wangi. Ketika saya tabur sebagian di atas tisue, tampak butiran berwarna hitam, tetapi kebanyakan dalam ukuran kecil. Dari bentuk butiran daun, terlihat teh ini diproses dengan mesin Orthodox. Dugaan saya grade teh ini adalah grade I, dengan finest campuran antara sedikit BOP, dust dan fanning.

Tidak banyak informasi yang saya dapatkan dari hasil googling teh ini. Dalam situs resmi mereka, http://malino-tea.com, hanya diceritakan sedikit sejarah perkebunan teh ini, dan sedikit pengetahuan teh umum. Proses pembuatan teh juga dicantumkan, tetapi hanya photo belaka tanpa keterangan teks sedikitpun.

Teh Malino dihasilkan dari kebun teh di dataran tinggi moncong, Gowa, Sulawesi Selatan. Pendirian perusahan teh ini ini merupakan hasil kerja sama dari Mitsui Norin Co. Ltd dan PT. Dharma Incharcop Coy, sebagai share holder, dengan bendera PT. Nittoh Malino Tea.

Sampai di kantor, saya tak sabar untuk mencoba teh ini. Dengan menggunakan tea infuser, tampak jelas banyaknya grade dust yang dicampurkan. Ini tampak dari banyaknya butiran teh seperti debu yang keluar dari tea infuser. Tidak jauh beda dengan aroma teh keringnya, setelah diseduh juga tidak terasa aroma apa-apa. Rasanya cenderung agak flat, hampir mirip dengan teh Kajoe Aro dalam kemasan.

Ah, seandainya saja saya bisa mendapatkan kualitas BOP murninya, tentu ceritanya akan berbeda.

Terima kasih ya Ervita, untuk sharing tehnya.

Tuesday, 16 October 2007

Teh wangi melati: Teh Hijau atau teh Hitam?

Dulu saya hanya tahu dua macam teh, yaitu teh hitam dan teh hijau. Saya hanya tahu berdasarkan warna teh keringnya saja. Pokoknya kalau warna hitam pasti teh hitam, warna hijau ya teh hijau. Makanya tidak heran kalau teh wangi melati yang biasa saya minum saya pikir adalah teh hitam dicampur melati. Makanya saya terkaget-kaget ketika menemukan Chinese Jasmine tea yang terbuat dari green tea.

Ternyata selama ini saya salah sangka. Dan saya tidak sendirian, masih banyak orang mengira teh wangi melati adalah teh hitam. Dalam buku High Tea, gaya sehat ngeteh terbitan Gramedia bahkan dikatakan, kalau kita memesan segelas teh di seluruh Indonesia, niscaya yang terhidang di atas meja adalah teh hitam. Ditambahkan dalam buku tersebut, secangkir teh hangat yang diminum mulai dari bangun tidur, saat bertamu, saat makan siang, makan malam, atau makan apa saja, termasuk makan beling seperti di iklan televisi (pasti iklan teh botol Sosro), tak lain adalah teh hitam. Pernyataan teh wangi melati untuk teh poci sebagai teh hitam dicampur melati juga saya dapatkan disitus tentang kota tegal dan teh poci

Dulu saya juga mengira teh botol Sosro juga teh hitam, lha wong warnanya coklat pekat begitu. Tetapi, kalau diperhatikan dengan cermat, dalam botolnya tertulis bahan yang dipakai adalah teh hijau. Begitu juga dalam tiap kemasan teh wangi melati seduh, pasti disitu tertulis bahan yang dipakai adalah teh hijau dan bunga melati. Di Wikipedia versi Indonesia juga, juga disebut sebagai teh hijau.

Akan tetapi, masih banyak teman-teman pecinta teh yang bertahan pada pendapat bahwa teh wangi melati adalah teh hitam. Dasar argumentasinya adalah karena proses pengeringan yang berkali-kali, sekalipun bahan dasarnya adalah teh hijau membuat teh tersebut menjadi teh hitam juga.

Jadi bagaimana sebenarnya? Teh wangi melati itu teh hijau atau teh hitam?


Baiklah, kita kembali kepada dasar pengertian teh hijau dan teh hitam. Kedua jenis teh ini dibedakan berdasarkan proses produksinya. Teh hijau tidak mengalami fermentasi, teh hitam mengalami full fermentasi. Jangan banyangkan proses fermentasi ini sama halnya dengan proses fermentasi yang terjadi pada tape misalnya, kemudian muncul pertanyaan lha katalisnya apa? Proses fermentasi pada teh hitam lebih tepatnya adalah proses oksidasi. Definisi fermentasi teh yang mudah dimengerti yang saya kutip dari situsnya teh 63 adalah reaksi oksidasi senyawa Polyphenol yang ada di dalam daun teh oleh enzim polyphenol oksidase yang dibantu oleh oksigen dari udara.

Kembali ke Laptop, eh ke proses pembuatan teh. Pada proses pembuatan teh hijau, untuk menghambat terjadinya proses fermentasi, dilakukan proses pelayuan dengan cara frying. Cara ini dilakukan dengan melewatkan daun daun teh pada silinder panas sekitar 5 menit. Atau bisa juga dengan proses steaming, yaitu dengan melewatkan daun pada uap panas bertekanan tinggi untuk beberapa saat.. Menurut proses teh hijau Sosro, setelah didinginkan daun teh digulung dengan mesin jackson untuk memecah sel daun teh, tetapi diusahakan daun teh sedapat mungkin tidak remuk hanya tergulung saja. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan rasa daun yang LEBIH SEPET. Setelah itu baru dilakukan beberapa proses pengeringan lagi untuk menurunkan kadar airnya.

Sedangkan pada proses pembuatan teh hitam, proses pelayuan hanya dilakukan dengan menghembuskan angin pada kotak pelayuan. Setelah itu dilakukan proses berikutnya adalah memecah daun teh terlebih dahulu dengan tujuan agar proses fermentasi terjadi secara merata. Pemecahan daun teh, kalau dengan sistim Orthodox dilakukan dengan proses penggilingan, sedangkan sistim CTC daun teh dipotong-potong dengan mesin pisau pemotong.

Nah, khusus untuk pembuatan teh hijau wangi melati, seperti yang saya kutip dari situsnya Sosro, bahan dasar yang digunakan adalah teh hijau dan bunga melati. Teh hijau tersebut dikeringkan kembali dan menghasilkan teh yang berwarna coklat kehitaman yang dalam situs tersebut disebut sebagai Coi-coi. Kemudian Coi-coi tersebut dilembabkan kembali dengan menambah kadar air sekitar 20%. Kemudian teh ditebarkan bersama-sama dengan bunga melati untuk proses pewangian. (kalau proses chinese jasmine tea, seperti yang pernah dikatakan oleh mbak Ratna, melati tidak dicampur, melainkan hanya disimpan bersama-sama teh dalam satu ruangan hingga bunga melati layu dan diganti lagi dengan bunga baru. Proses penggantian bunga dilakukan hingga 7 kali). Setelah proses pewangian selesai, teh dikeringkan kembali untuk menurunkan kadar airnya. Itulah sebabnya kenapa teh hijau wangi melati warnanya hitam, sehingga sering dikira sebagai teh hitam.

Apakah proses oksidasi ini bisa terjadi walau daun teh sudah dilakukan pemanasan untuk menghambatnya? Jawabannya masih bisa. Itu sebabnya untuk teh hijau yang baik selalu dikemas dalam bungkus aluminium foil (selain bungkus luarnya), dan didalamnya diberikan sekantong kecil Oxygen Absorber. Dalam kemasan biasanya ditulis disarankan untuk disimpan dalam refrigerator. Kalau tidak disimpan dengan baik, sekalipun tidak dilakukan proses penggosongan seperti halnya teh hijau wangi melati, teh hijau perlahan-lahan akan berubah menjadi berwarna kehitaman.

Apakah itu berarti teh hijau tersebut telah berubah menjadi teh hitam? Menurut pendapat saya tidak. Yang berubah hanya warna daun teh keringnya, tetapi untuk aroma dan rasa tidak akan sama dengan teh hitam yang telah mengalamai full fermentasi. Hanya untuk kualitas rasa dan aroma dari teh hijau tersebut sudah mengalami reduksi.

Teh hijau wangi melati kita seringkali sangat pekat karena memang jumlah tehnya banyak, dan diseduh dalam jangka waktu yang lama, bahkan ampasnya tidak pernah diangkat dari teko. Bahkan beberapa orang memiliki kebiasaan menyeduh teh semalam sebelumnya untuk diminum pagi harinya. Dulu sewaktu kecil Nenek saya suka bikin teh cemceman. Satu gelas bir, diisi teh hampir setengah gelas. Tentu saja pekat sekali warnanya.

Karena penasaran saya melakukan percobaan tea tasting teh hitam. Saya gunakan teh hijau wangi melati cap Sepeda balap yang sudah lebih dari setahun tersimpan. Karena timbangan yang saya miliki scale terendahnya adalah 20 gram, maka saya ambil 20 gram untuk cangkir ukuran sekitar 300 ml. Ukuran ini juga biasa dilakukan pada masa kecil saya untuk membuat teh cemceman seperti yang Nenek saya lakukan.Kemudian saya ambil 20 gram teh Kajoe Aro.

Setelah saya seduh selama 4 menit, terlihat teh cap balap warnanya jauh lebih pekat, dan bahkan cenderung hitam dibanding teh Kajoe Aro yang sekalipun pekat, tetapi warnanya cenderung merah.

Ketika saya cicipi teh hitam Kajoe Aro sangat pahit sekali (Ya ialah, lho wong 20 gram). Sedangkan teh cap balap rasanya justru di dominasi RASA SEPET, dan tidak sepahit teh hitam. Rasa sepet ini yang menjadi ciri khas teh hijau kita, karena memang proses pembuatannya dilakukan seperti itu.

Hal lain yang mendasari argumentasi untuk mengatakan teh wangi melati adalah teh hijau adalah bentuk daun teh keringnya.

Seperti saya tulis diparagrap sebelumnya, untuk membuat proses fermentasi terjadi secara merata, daun teh dipecah menjadi ukuran kecil-kecil. Dalam industri teh hitam dikenal dua sistim, yaitu sistim orthodox dan CTC (Curl, Tear & Crush). Dengan sistem orthodox, teh digiling silinder, sehingga menjadi bentuk potongan kecil-kecil. Sedangkan sistim CTC, teh dicacah-cacah dengan pisau. Hasilnya teh akan menjadi bulatan kecil-kecil. Sudah tidak berbentuk daun teh lagi. Perkecualian adalah teh hitam Keemun. Potongan daunnya masih cukup besar, dan ketika diseduh, ampas tehnya juga masih berbentuk daun, tetapi ukurannya tidak sebesar ukuran daun teh wangi melati.

Sedangkan kalau anda perhatikan bentuk daun teh wangi melati, masih berupa potongan daun dalam ukuran yang lebih besar. Ketika diseduh, dia akan mengembang lebih besar dan tampak ujud daunnya (terkadang masih berwarna hijau tua seperti halnya teh Oolong).

Masih belum yakin?

Baik, sekarang saya ajak anda berkelana ke daerah Garut. Masyarakat disana lebih terbiasa mengkonsumsi teh hijau. Semula saya juga ragu ketika disuguhi teh hijau mereka yang aromanya bahkan cenderung seperti aroma kopi. (baca Teh Aroma kopi dari garut) Selain itu warnanya juga coklat, tetapi tidak pekat (kebiasaan orang jawa barat adalah menyeduh teh dengan lebih sedikit teh, sehingga tehnya cenderung lebih bening dibanding dengan dengan seduhan teh di jawa tengah).

Ketika saya pergi ke pasar, saya baru yakin bahwa itu memang teh hijau. Di pasar di daerah Garut, ada semacam Tea House, tetapi sangat traditional. Disana teh dijual kiloan. Ada beberapa macam grade yang bisa dipilih yang dibedakan dari harga. Grade terbagus harganya 3,500 per ons. Sedangkan grade terendah harganya 800 rupiah per ons. Grade terendah ini hanya terdiri dari batang saja. Uniknya, bukan bunga melati yang mereka tambahkan tetapi mereka sebut sebagai kembang teh. Ketika saya amati dan cium aromanya, ternyata yang disebut sebagai kembang teh itu adalah Camomile.

Selain teh hijau mereka juga jual teh merah (disana tidak disebut teh hitam, tetapi teh merah, seperti halnya di China). Teh merah hanya dijual satu macam saja. Warnanya memang kecoklatan, seperti halnya warna teh hitam grade rendah.

Dan ternyata teh hijau gosong bukan hanya ada di Indonesia. Baru-baru ini saya mendapatkan teh hijau dari Myanmar, warnanya mirip sekali dengan teh hijau wangi melati kita. Bedanya hanya tidak tampak batang diantara tehnya.

Masih belum percaya teh Wangi melati itu teh hijau? Tanya deh ama mbah Sosrodjoyo ...

Sunday, 14 October 2007

Bagaimana minum teh dengan cara yang benar?

Kalau anda baca jargon yang saya usung dalam blog ini, yaitu minum teh benar dengan cara yang benar, mungkin anda akan bertanya-tanya emang bagaimana teh yang benar itu? Emang ada teh yang tidak benar? Terus bagaimana cara yang benar? Selama ini cara minum teh saya fine-fine saja.

Sekarang kita coba bicarakan tentang cara yang benar dulu dengan teh yang paling sederhana dulu, yaitu teh celup. Ya betul, dikalangan pecinta teh sejati, teh celup tidak akan masuk dalam daftar penyimpanan teh mereka. Pasalnya, teh celup kebanyakan menggunakan daun teh kualitas terendah. Dalam bahasan teh yang benar, nanti saya akan kemukakan tentang grading tea untuk mengetahui bagaimana kriteria teh berkualitas atau dalam istilah saya teh yang benar.


Angkatlah kantong teh celup anda.

Coba perhatikan iklan teh celup yang ditayangkan di televisi. Tampak visualisasi orang sedang minum teh dengan memegang cangkir teh dengan kantong celup di dalamnya. Ya anda tidak salah kalau ternyata anda juga turut melakukan kesalahan cara menyeduh teh. Produsen teh lewat tayangan iklannya sama sekali tidak mengedukasi, atau bahkan dengan sengaja memperagakan cara menyeduh teh yang salah tersebut.

Contoh nyata saya dapatkan di situsnya Unilever tentang cara menyeduh teh produksi mereka, Sariwangi. Dalam step-stepnya sama sekali tidak disinggung atau bahkan disarankan untuk mengangkat kantong tehnya.

Cara yang benar adalah anda mesti mengangkat kantong teh anda setelah 3-5 menit waktu penyeduhan. Membiarkan teh terlalu lama di dalam cangkir anda, selain membuat rasa teh lebih pahit (mungkin tidak terasa bagi anda, karena anda terbiasa mencampurkan gula di dalam teh anda), juga membuat kandungan kimia lain terurai lebih banyak. Selain itu, anda juga mesti waspada dengan kantong teh celup anda, yang banyak dikatakan memiliki kandungan chlorine yang tinggi akibat proses bleaching dari kantong tersebut.

Waktu ideal adalah 3-5 menit. Bahkan untuk beberapa jenis teh anda dapat menyeduhnya kembali dengan kantong yang sama. Lebih hemat bukan?

Tapi tunggu dulu. Ini hanya satu step untuk teh sederhana. Untuk beberapa jenis teh, dengan beberapa budayanya seperti Gongfu Cha, Chanoyu memiliki cara yang lebih rumit dan pengetahuan teh yang lebih tinggi, dan tentu saja peralatan teh yang lumayan mahal. Contoh peralatan penyeduhan teh ala Gong Fu cha dapat anda lihat di Banner blog ini. Saya akan bahas di kesempatan lain.

Monday, 8 October 2007

Bagaimana cara menyeduh teh yang benar?

Ada satu kebiasaan kita yang salah dalam menyeduh teh, yaitu dengan merendam ampas teh dalam teko atau cangkir. Bahkan beberapa orang ada yang memiliki kebiasaan merendam teh semalaman untuk diminum keesokan harinya. Padahal, merendam teh maksimal 5 menit saja (untuk teh hitam). Lebih dari 5 menit zat Tannin akan keluar, sehingga menyebabkan rasa teh menjadi lebih pahit.

Untuk memisahkan ampas daun teh, bisa digunakan wadah lain atau teko lain, dan menggunakan saringan. Alat lain yang dapat dipergunakan yang disebut sebagai tea infuser. Alat ini cara kerjanya mirip dengan teh celup. Teh dimasukkan dalam kantong yang terbuat dari stainless steel, masukkan dalam cangkir, selesai seduh tinggal angkat. Hanya alat ini cocoknya untuk teh hitam saja. Untuk teh hijau, kurang cocok karena teh hijau butuh ruangan lebih besar untuk mengembang. Selain itu, stainless steel terlalu panas kalau digunakan untuk teh hijau. Kalau anda memilih tea infuser, pilihlah yang ukurannya agak besar, sehingga anda lebih leluasa menggunakannya untuk menyeduh satu cangkir hingga 4 cangkir. Tea infuser ini juga dapat dipergunakan untuk menyeduh teh dalam teko, untuk menggantikan fungsi saringan teh.

Peralatan lain yang cukup praktis disebut Tea Plunger. Alat ini berbentuk silinder, dengan lubang-lubang saringan disekelilingnya, tetapi tidak sampai dibagian bawah silinder. Di tengah silinder ada semacam klep dan tuas yang bisa ditekan kebawah. Ketika waktu seduh dirasa cukup, tuas ditekan kebawah, klep akan menekan teh ke dasar silinder sehingga tidak terkena air lagi. Tea plunger banyak digunakan untuk tea pot press seperti merk Bodum misalnya.



Air apa yang baik dipergunakan untuk menyeduh teh?

Air sumur atau Ledeng? Dipanaskan sampai menggelegak atau hangat-hangat kuku?

Teh, hampir lebih dari 90% bahan yang dipakai adalah air. Kualitas air sangat berpengaruh terhadap kualiatas teh yang anda seduh. Selain itu, suhu air yang ktia masak juga merupakan pengaruh yang besar. Air yang bagus adalah air dari mata air pegunungan. Air Minum dalam kemasan seperti Aqua, adalah salah satu contoh air yang cukup bagus untuk dipergunakan. Suhu air tergantung dari jenis teh yang mau diseduh. Teh hitam suhu air yang digunakan adalah 100 derajat Teh Oolong 80-90 derajat. Untuk teh hijau cukup dengan air 70 derajat, sedangkan teh putih lebih rendah lagi, cukup dengan suhu air 60 derajat.

Seberapa banyak takaran teh yang diperlukan?

Kunci dari keberhasilan seduhan teh anda adalah keseimbangan antara jumlah air dan jumlah teh yang dituangkan. Terlalu sedikit teh akan menyebabkan rasa dan aroma tidak keluar, sebaliknya terlalu banyak teh yang menyebabkan rasa teh menjadi lebih pahit. Rumusan sederhana adalah satu sendok teh seduh, untuk 1 cangkir ukuran 300 mm. Untuk teh Oolong, digunakan lebih banyak teh. 1 Sendok makan teh, untuk 1 cangkir ukuran 300 mm. Tidak ada rumusan yang pasti, karena selera orang berbeda-beda. Ada yang suka dengan teh kental, ada yang suka teh yang lebih bening. Ada bisa mencoba-coba mengurangi atau menambah takaran sesuai selera anda.