Saturday, 24 November 2007

Myanmar tea



Ketika salah seorang teman kantor mendapat tugas untuk pergi ke Myanmar, iseng-iseng saya berpesan, “Jangan lupa beliin saya teh Myanmar ya”.

Tetapi mungkin karena teman saya kurang paham dengan masalah teh, atau memang dia tidak punya waktu yang luang untuk mencari-cari teh, dia bawakan saya satu bungkus teh yang tampaknya bukan teh kualitas baik. Tertulis di kemasannya Htate Htarr Lay, Natural Green tea. Di dalam kemasan, teh dibungkus dengan plastik bening biasa. Daun teh kering berwarna kehitaman, mirip dengan teh hijau wangi melati Indonesia, yang tentu saja minus aroma melatinya. Alih-alih aroma melati, aroma yang ada malahan aroma apek bau tanah. Karena aromanya tersebut, pada waktu itu saya kurang tertarik untuk mengekplore lebih jauh tentang teh Myanmar.

Selang beberapa waktu, ketika saya menata kembali beberapa teh koleksi saya, teringat bahwa ada teh Myanmar ini belum pernah di coba,dan belum saya ekplore. Informasi yang saya temukan mengenai Htate Htarr lay di internet, hanya beberapa daftar produk mereka. Selain teh hijau, mereka juga memproduksi white tea dan Oolong tea. Akan tetapi, sama seperti halnya teh-teh bermerk lainnya, informasi mengenai grade tidak pernah dijelaskan di dalam kemasannya.

Dari beberapa informasi yang saya dapatkan, ternyata teh Myanmar cukup menarik untuk dieksplore lebih jauh.

Di Myanmar, ada beberapa varians pohon teh yang dibudidayakan. Selain varians Camellia Sinensis (sama halnya dengan pohon teh di China dan Jepang), juga ada varians Camellia Assamica (sama halnya dengan pohon teh di India dan Indonesia). Menurut catatan sejarah, pohon teh asli ditemukan di daerah Ayyeyarwaddy, yang kemudian berkembang ke berbagai daerah di Myanmar. Beberapa pakar teh, menyebutkan Myanmar juga memiliki satu klon pohon teh asli dari Myanmar yang disebut sebagai Camellia Arrawadimis.

Di Myanmar, teh bukan hanya dikenal sebagai minuman, tetapi juga merupakan bagian dari makanan traditional yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Daun teh dibuat semacam pasta yang kemudian akan menjadi semacam asinan, yang disebut sebagai Laphet. Makanan ini sering juga disebut sebagai Pickled tea atau Salad tea. Laphet bukan sekedar makanan biasa, tetapi sudah merupakan bagian dari kultur sosial budaya. Laphet disajikan sebagai bagian acara ceremoni keagamaan, welcoming guest, bahkan juga dijadikan camilan di depan televisi.
(Photo Laphet di ambil dari http://www.sfgam.com/blog/laphet-thote-%e2%80%93-fermented-tea-leaf-salad/)

Saat ini saya belum bisa menulis banyak tentang Laphet, karena sama sekali belum pernah mencoba sendiri. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa mendapatkan kesempatan untuk mencicipi Laphet.


Kembali lagi ke natural green tea merk Htate Htarr lay. Bau apeknya mengingatkan saya kepada bau puerh. Warna daun teh kering, berwarna kehitaman, tetapi tidak segosong teh hijau wangi melati kita. Warna kehitaman kemungkinan karena proses oksidasi, dikarenakan teh hanya dikemas di dalam kemasan plastik sederhana. Daun teh kering masih berbentuk daun utuh. Warna seduhan cenderung berwarna coklat. Rasanya pahit dan aroma tanahnya mirip-mirip dengan raw puerh usia muda. Ada jejak rasa yang tajam yang tertinggal di lidah seusai minum teh ini. Bukanlah teh yang cukup enak dinikmati. Entah karena memang kualitas teh yang kurang baik, atau memang seperti itu rasa teh Myanmar, saya masih belum begitu mengerti. Mesti memiliki perbandingan teh lain. Akan tetapi dari kaidah umum kualitas teh, kualitas yang baik semestinya tidak berasa pahit dan beraroma yang enak. Puerh kualitas baikpun juga tidak lagi beraroma tanah apek.

Mungkin ada teman-teman yang pernah mencoba Myanmar tea dan bisa share pengalamannya? Terus terang saya sangat penasaran dengan yang namanya Laphet. Saking penasarannya saya coba cari informasi tentang Laphet di kedutaan Myanmar. Barangkali saja, saya bisa mendapatkan informasi dimana saya bisa dapatkan Laphet di Indonesia.
"Aduh saya tidak tahu. Disini kebetulan tidak ada divisi budaya. Kami hanya mengurusi soal politik saja". Begitu jawaban yang saya terima dari staff kedutaan Myanmar. Haiya...

Monday, 19 November 2007

Freeze tea


Belum lama ini saya mendapat sample freeze tea yang unik dari Ibu Lim Kim Soan, salah seorang teman di milist jalan sutra yang berdomisili di Jepang. Menurut keterangan ibu Lim Kim Soan Teh ini dikeluarkan oleh Nitto, yang dibuat khusus untuk dysneland shop. Freeze sendiri merupakan tehnologi baru dalam hal tea packing. Teh semacam di press menjadi bentuk tertentu. Freeze tea ini dibuat dari Darjeeling tea dan diblend dengan sari fruit peach dan apricot.

2 keping freeze tea diseduh dengan air panas kurang lebih 250mm. Tadinya saya pikir teh ini mirip dengan instant tea, begitu diseduh akan larut ke dalam air tanpa meninggalkan ampas. Ternyata masih tersisa ampas teh berbentuk bubuk. Aroma peach terasa mendominasi, tetapi tidak sama dengan aroma peach dalam Darjeeling kualitas tinggi. Kalau dilihat dari bentuk tehnya yang bubuk, saya duga Darjeeling yang digunakan adalah Fanning. Tetapi saya belum bisa menduga lebih jauh, apakah grade yang dipakai Tippy Golden Orange Fannings, Golden Orange Fannings atau hanya sekedar Orange Fannings saja.


Teh ini kayaknya cukup cocok juga buat anak-anak. Selain bentuknya lucu rasanya juga rasa buah. Ditambahkan gula dan es batu, teh ini akan terasa lebih segar.

Sunday, 11 November 2007

Malino Hijau: Sencha dari Gowa

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti conference international Logistic di Jakarta Convention Centre. Acara tersebut dibuka langsung oleh bapak wakil presiden Jusuf Kalla, yang juga sekaligus membuka acara pameran Sulawesi Ekspo. Nah, disela-sela rehat, saya menyempatkan diri melihat-lihat stand Sulawesi Ekspo. Pada salah satu stand, mata saya tertumbuk pada sesuatu terpajang yang pernah saya kenal.Ya, itu dia teh Malino hitam kiriman dari Ervita, salah seorang teman dari milist jalan sutra, sebuah milist jalan-jalan dan makan-makan. Tetapi bukan sekedar satu bungkus teh itu saja yang membuat saya enggan beranjak dari stand tersebut, ada satu bungkus lagi yang belum saya kenal: Malino Hijau. Ini dia yang saya cari-cari, begitu kata saya dalam hati.

“Mbak, teh tersebut dijual tidak?”, tanya saya dengan sangat berharap kepada salah satu penjaga stand.

“Wah sayang sekali itu hanya sample pak. Tetapi coba nanti hari terakhir, barangkali kami berubah pikiran, dari pada harus dibawa pulang.” Jawabannya cukup diplomatis, tetapi juga memberi harapan. Pada hari terakhir, ternyata saya tetap kembali ke stand tersebut dengan tangan hampa.

Rupanya keberuntungan tidaklah terlalu jauh dari saya. Saya teringat, tidak berapa lama saya posting review tentang teh hitam Malino, saya mendapatkan email pribadi dari Dewi Puspita. Dia adalah salah seorang sekretaris di perusahaan Mitora, perusahaan baru yang kini mengelola perkebunan teh Malino setelah diambil alih dari PT. Nittoh. Sewaktu perusahaan dia membeli Nittoh, dia coba search tentang teh Malino, dan kebetulan ketemulah blog saya. Di emailnya, dia menjanjikan saya untuk mengirim beberapa sample beberapa grade teh hitam Malino.

Dan suatu kebetulan yang menyenangkan ternyata kantor Mitora lokasinya diseberang kantor saya. Jadi ketika mendapat kabar bahwa sample sudah tersedia, dengan tak sabar saya langsung menjemputnya.

Yang pertama saya coba karena saking penasarannya sudah tentu adalah Malino hijau. Selama ini memang saya masih penasaran karena belum menemukan teh hijau Indonesia dengan kualitas yang cukup memadai. Karena tehnya masih berupa sample tentu kemasan sangat sederhana. Bahkan saya tidak menemukan oxygen absorbser di dalamnya.

Warna daun teh kering berwarna hijau tua. Dari warnanya saya menduga bahwa proses penghentian fermentasi dilakukan dengan sistem steaming. Apalagi teh ini memang khusus diekpor ke Jepang, dimana negeri tersebutlah yang menemukan proses pembuatan teh hijau dengan proses steaming. Ketika saya cium aromanya, saya menemukan aroma yang sangat saya kenal. Ya aroma rumput laut yang lazim terdapat pada sencha teh hijau dari Jepang.

Aroma ini semakin terasa ketika air panas dituang. Dengan waktu seduh pertama 3 menit menghasilkan warna kuning keemasan. Rasanyapun mirip dengan sencha, selain dari aroma rumput air teh terasa sedikit licin di tenggorokan. Hingga seduhan ketika rasa dan aroma masih terasa enak, walaupun memang ada sedikit penurunan kualitas pada seduhan kedua dan ketiga.

Overall, teh hijau Malino hingga saat ini merupakan teh hijau Indonesia terbaik yang pernah saya coba. Rasa dan aroma sangat mirip dengan Sencha. Tidak heran, karena teh ini khusus untuk di ekspor ke Jepang. Jadi jangan tanya teh ini dapat dibeli dimana, karena teh ini memang tidak pernah di jual di Indonesia. Kasihan deh kita ...

Monday, 5 November 2007

Jawa Oolong, teh Oolong Indonesia


Tampaknya nama Jawa dianggap cukup komersial dan mampu menjual. Buktinya, dengan terkenalnya Java Coffe, tercipta Java Computer Language. Lalu Indra Lesmana dan kawan-kawan mendirikan Java Jazz Band yang juga cukup terkenal di dunia international. Terakhir event Jazz International di tanah air menggunakan nama Java Jazz Festival.

Apakah karena alasan ini teh 63 menamakan teh produksi mereka dengan nama Jawa Oolong?

Perkenalan saya dengan Jawa Oolong, secara tidak sengaja saya temukan lewat arsip milist Tea Society Indonesia. Temuan ini seolah menjawab pertanyaan saya selama ini, yang dipenuhi rasa penasaran apakah ada varian teh China yang dibudidayakan di Indonesia.

Teh ini saat ini merupakan satu-satunya teh Oolong yang diproduksi dari perkebunan teh kita dibawah bendera teh 63, yang gerainya banyak terdapat di mall-mall besar.

Dalam artikel majalah Swa, pernah dituliskan bahwa Lei Mei Chu, salah seorang warga keturunan, yang menikah dengan pria Taiwan, membawa bibit teh dari Taiwan dan menanamnya di daerah Bogor. Di bawah bendera teh 63, dia bekerja sama dengan PTP setempat untuk mengembangkan teh Oolong, yang dilakukannya sekitar tahun 1985, dan baru 10 tahun kemudian dapat dipetik hasilnya.

Teh Oolong adalah salah satu jenis teh yang difermentasi sebentar saja. Kelebihan dari teh Oolong dibanding dengan teh hijau atau teh hitam adalah kandungan Polyphenol yang jauh lebih tinggi dibanding dengan jenis teh lainnya. Polyphenol adalah kandungan penting yang sangat mempengaruhi aroma Oolong yang unik dan juga manfaat yang tinggi untuk kesehatan maupun kecantikan, khususnya masalah obesitas.

Perlu diingat bahwa obesitas bukan berarti overweight. Obesitas dapat dipahami sebagai ekses akibat akumulasi penumpukan lemak didalam tubuh. Normalnya toleransi lemak dalam tubuh adalah 15-20% untuk pria, dan 20-25% untuk wanita dibanding dengan berat tubuh. Kelebihan lemak diatas range tersebut sudah dapat dikatakan sebagai obesitas. Polyphenol dipercaya merupakan kandungan yang efektif dalam mengontrol obesitas. Polyphenol juga dipercaya dapat mengurangi kerusakan gigi secara significan.

Jawa Oolong bisa didapatkan dalam bentuk Loose tea atau Tea Bag. Menurut situsnya di tehenamtiga.com ada beberapa jenis aroma yang ditawarkan. Ada Aroma mawar, melati, menthol, lemon dan jeruk. Di Gerainya di Ekalokasari Mall, Bogor, hanya ditawarkan teh Asli, aroma melati dan Ginseng.

Saya mencoba beli loose tea aroma melati dengan harga 45 ribu per 100 gram. Warna tehnya berwarna hijau tua. Di sela-sela teh tampak sedikit serpihan bunga melati kering. Aroma melati terasa samar dan tidak terlalu mencolok.

Warna seduhan berwarna kuning keemasan. Kalau dituang kedalam gelas kaca akan tampak berkilaun bagaikan emas murni cair. Rasa manis yang samar tapi tegas, dengan aroma flowery (mungkin karena pengaruh melati kering). Aroma wangi terasa memenuhi rongga hidung selang beberapa saat setelah kita minum. Ampas seduhan berupa tiga pucuk teh utuh berwarna hijau tua. Menurut Eva Nainggolan, ampasnya bisa dimakan sebagai pencegah bau mulut. Saya coba kunyah ampasnya, terasa sedikit pahit tetapi tidaklah sepahit lalapan seperti daun pepaya misalnya.

Saya mau sedikit sharing mengenai khasiat dari teh ini. Saya adalah penderita hypertensi berat, karena posisi diastolik yang selalu tinggi. Sekalipun saya rajin mengkonsumsi obat darah tinggi secara teratur, jarang sekali diastolik berada di posisi dibawah 100. Sekalipun teman-teman seperti kang Irvan dari jalan sutra, atau saudara saya yang penderita darah rendah merasakan kepala kliyengan ketika minum teh hijau, tetapi bagi saya sama sekali tidak berpengaruh.
Tetapi semenjak saya mengkonsumsi teh jawa oolong secara teratur, ketika mengukur tensi saya sempat tidak percaya melihat posisi sistolik/diastolik sebesar 110/80.
Memang hingga saat ini, kalau tanpa obat tekanan darah masih belum stabil. Saya sendiri belum berani mengambil kesimpulan tegas, apakah penurunan tekanan darah ini hasil konsumsi rutin teh Jawa Oolong atau pengaruh lain. Masih diperlukan observasi lebih lanjut.

Tetapi untuk soal aroma dan rasa, teh Jawa Oolong layak untuk dijadikan minuman teh sehari-hari.

Monday, 29 October 2007

Teh Garut, teh beraroma kopi ringan


Sewaktu berlebaran di kampung istri saya di Garut, saya berkenalan dengan teh Garut yang agak unik. Pertama kali saya minum teh ini, sempat ragu, yang saya minum ini teh atau kopi, karena aromanya sangat mirip dengan kopi. Atau jangan-jangan tekonya yang tercampur bekas tempat menyeduh kopi? Ketika saya tanya Uwak saya, merk teh yang digunakan, dia tunjukkan sebungkus plastik teh dengan tulisan Kopi & Teh cap Ros.
Lha, berarti teh ini dicampur dengan kopi, begitu pertanyaan saya kepada Uwak. Tetapi hal ini tidak dibenarkan oleh uwak saya. Menurut dia, kebetulan si penjual juga jualan kopi. Atau jangan-jangan karena disimpan bersama-sama dengan kopi membuat aroma kopi menyerap ke dalam teh. Asal muasal aroma kopi masih menjadi teka-teki bagi saya.

Pertanyaan saya terjawab ketika saya pergi ke pasar Tradisional. Di sana saya temukan satu hal yang menarik yang mungkin tidak bisa didapatkan di tempat lain. Di dalam pasar, tersedia beberapa Kios teh yang khusus menjual teh kiloan dengan aneka kualitas. Semacam Tea House, tetapi teh yang dijual masih dalam batas teh kelas rakyat. Kios tersebut menjual dua macam teh, yaitu teh merah dan teh hijau. Khusus teh merah hanya tersedia dalam bentuk bubuk, sedangkan teh hijau ada banyak grade yang bisa dipilih. Kualitas paling rendah adalah bubuk teh dengan harga 500 rupiah per ons. Kualitas lain ada yang terdiri dari batang teh semua, ada yang campuran. Kualitas tertinggi dihargai seharga 3,500 rupiah per ons.

Saya coba beli kualitas terbaik, walau secara kasat mata masih tampak beberapa batang teh yang turut tercampur. Dan ketika teh tersebut hendak dibungkus saya ditawari oleh penjual apakah mau dicampur dengan bunga atau tidak. Ketika saya tanya bunga apa, menurut si penjual yang dipakai adalah bunga teh. Karena masih ragu saya minta bunganya di pisah saja.

Sesampainya dirumah, sebelum saya coba seduh saya perhatikan dan cium aroma tehnya. Aroma Gosong. Warnanya juga terlihat hijau kehitaman. Mungkin bagi yang belum tahu, dikira ini adalah teh hitam. Dibandingkan dengan teh merk terkenal seperti Sosro, teh ini jauh lebih hitam dan lebih gosong. Rupanya dari sinilah aroma kopi tersebut muncul. Dan saya masih penasaran dengan bunga teh yang disebutkan si penjual teh tersebut. Bunganya sudah berbentuk bubuk. Ketika saya cium aromanya, rasa-rasanya cukup familiar dengan aroma tersebut. Ya, tidak salah lagi, aroma Camomile. Ternyata bunga yang dibilang bunga teh tersebut adalah Camomile. Cukup unik memang. Kalau selama ini kebanyakan teh selalu dicampur dengan melati, di Garut digunakan Camomile.

Jadi kalau anda bermasalah dengan tukak lambung dan berpantang kopi, tetapi sewaktu-waktu kangen dengan aroma kopi, cobalah teh rakyat dari Garut. Teh dengan aroma kopi. Dan seperti yang saya tulis dalam review saya tentang Camomile tea , yang berkhasiat sebagai obat tidur, campuran camomile pada teh ini tidak akan membuat mata anda begadang seperti halnya sehabis minum kopi.

Sunday, 28 October 2007

Cerita pagi bersama Tongji


Dalam salah satu review teh saya , ada salah satu komentar dari Tresyabedkowska , seorang teman dari jalansutra dan MP yang bermukim di Polandia. “Saya paling suka teh tong tji, bisa kasih ulasan nggak pak? matur nuwun sanget loh!”

Dugaan saya yang dia tanyakan adalah teh Wangi Melati Tongji. Varian teh jenis ini dengan merk Tongji memang telah mengisi hati para penggemar teh.

Untuk jenis teh Wangi melati, ada beberapa merk yang pernah saya coba. Merk Gopek, Cap Botol, Tongji dan Sepeda balap. Sekilas, secara kualitas material daun teh, kesemua merk tersebut hampir sama. Daun teh berikut batang, dengan serpihan beberapa kuntum bunga melati. Kalau untuk aroma, menurut indera penciuman saya teh cap botol masih menjadi pilihan nomor satu. Nanti dalam kesempatan lain saya akan coba tea tasting kesemua merk tersebut untuk membandingkan siapa yang paling unggul.

Untuk varian teh seduh hitam ternyata tidak banyak pilihan. Yang saya temukan di jajaran rak supermarket adalah merk Goalpara, Cap Bendera, Teh Poci dan Tongji.
Karena selama ini teh Wangi melati Tongji cukup terkenal, menemukan teh hitam Tongji cukup menarik bagi saya. Kemasan 50 gram terlihat tampak cantik dengan gambar teko dan dua cangkir teh keramik.

“Hanya diambil dari daun paling muda dan diproses oleh ahli teh untuk menjamin rasa khas dan aroma yang unik” Begitu yang tertulis dikemasannya. Hmm.. cukup menarik untuk dicoba. Harganya cukup murah, sekitar 1500. Lalu saya banding-bandingkan dengan teh hitam Walini Orthodox yang harganya 3000 rupiah per 100 gram. Ekspektasi saya terhadap teh ini tentu tidak jauh dari Walini.

Ketika saya buka kemasannya, ekpekstasi saya bertambah tinggi, karena tehnya dibungkus dengan aluminium foil. Ya, aluminium foil adalah kemasan yang cukup baik untuk menyimpan teh. Tetapi ketika saya buka bungkus aluminium foil, ekpektasi saya langsung turun seketika.

Teh ini diproduksi dengan mesin sistim ortodhox. Warna teh didominasi serpihan warna coklat muda, bercampur dengan sedikit serpihan warna hitam. Ini yang membuat saya kecewa. Warna coklat menandakan teh ini dihasilkan dari daun tua, atau jangan-jangan malahan dicampur batang teh. Untuk daun teh yang muda, warna tehnya adalah hitam (itu sebabnya disebut sebagai teh hitam). Satu poin minus untuk teh ini.

Saya coba cium aromanya. Hmmm… kalau tidak ada yang salah dengan indera penciuman saya, teh ini dicampur dengan sedikit artifisial flavour. Ada sedikit aroma mawar, tetapi tidak sekuat aroma mawar pada teh merk Bendera dan Prenjak.
Saya masukkan teh dalam tea infuser lalu saya masukkan dalam cangkir air panas. Warna air dalam cangkir seketika berubah menjadi warna merah. Dua poin minus saya berikan kepada teh ini. Teh hitam kualitas baik, perubahan warna air menjadi warna merah terjadi secara perlahan. Biasanya dalam waktu 4-5 menit warna merah baru merata dalam keseluruhan air.

Empat menit sudah berlalu, dan ketika saya angkat tea infuser dari dalam cangkir, tampak tertinggal beberapa bubuk teh di dasar cangkir. Poin minus bertambah satu. Dugaan saya, grade yang digunakan oleh teh ini adalah broken mix, dicampur dengan dust dan fanning, dan kemungkinan malahan dicampur dengan pluff. Bubuk teh yang ada didasar cangkir dihasilkan dari grade dust, sedangkan serpihan warna coklat kemungkinan besar dihasilkan dari grade pluff. Rasanya? Ah, dengan beberapa poin minus diatas anda sudah bisa membayangkan sendiri bagaimana rasanya. Akhirnya teh ini hanya akan menjadi penghuni Museum tehku , alias sekedar menjadi koleksi.

Tuesday, 23 October 2007

Teh Malino, Teh Hitam dari Gowa, Sulawesi


“Sudah pernah coba teh Malino? Gimana ya rasanya?”, tulis Ervita , salah seorang teman dari jalan sutra dalam emailnya. “Nanti aku coba beli, karena kebetulan mertua saya dari sana. Kalau sudah dapat, nanti saya kabari bapak untuk dibagi”.
Wah, siapa yang mampu menolak tawaran menggiurkan begini. Dan minggu lalu, saya janjian makan siang dengan Ervita untuk mengambil oleh-oleh teh Malino tersebut.
Saya memang tidak berharap terlalu banyak untuk mendapatkan teh kualitas tinggi, karena hampir semua perkebunan teh di Indonesia hanya menjual teh kualitas tinggi mereka ke luar negeri. Untuk lokal, cukup kualitas dibawahnya saja.

Kemasan teh Malino sangat sederhana. Hanya terbuat dari kantong kertas coklat, dan ditempel dengan merk Malino berwarna hitam. Di dalam kantong, terdapat kemasan aluminum foil pembungkus teh tersebut. Di depan Ervita, kemasan tersebut langsung saya buka. Aroma yang tercium hanya slighty wangi. Ketika saya tabur sebagian di atas tisue, tampak butiran berwarna hitam, tetapi kebanyakan dalam ukuran kecil. Dari bentuk butiran daun, terlihat teh ini diproses dengan mesin Orthodox. Dugaan saya grade teh ini adalah grade I, dengan finest campuran antara sedikit BOP, dust dan fanning.

Tidak banyak informasi yang saya dapatkan dari hasil googling teh ini. Dalam situs resmi mereka, http://malino-tea.com, hanya diceritakan sedikit sejarah perkebunan teh ini, dan sedikit pengetahuan teh umum. Proses pembuatan teh juga dicantumkan, tetapi hanya photo belaka tanpa keterangan teks sedikitpun.

Teh Malino dihasilkan dari kebun teh di dataran tinggi moncong, Gowa, Sulawesi Selatan. Pendirian perusahan teh ini ini merupakan hasil kerja sama dari Mitsui Norin Co. Ltd dan PT. Dharma Incharcop Coy, sebagai share holder, dengan bendera PT. Nittoh Malino Tea.

Sampai di kantor, saya tak sabar untuk mencoba teh ini. Dengan menggunakan tea infuser, tampak jelas banyaknya grade dust yang dicampurkan. Ini tampak dari banyaknya butiran teh seperti debu yang keluar dari tea infuser. Tidak jauh beda dengan aroma teh keringnya, setelah diseduh juga tidak terasa aroma apa-apa. Rasanya cenderung agak flat, hampir mirip dengan teh Kajoe Aro dalam kemasan.

Ah, seandainya saja saya bisa mendapatkan kualitas BOP murninya, tentu ceritanya akan berbeda.

Terima kasih ya Ervita, untuk sharing tehnya.